(Sebuah Cerpen Karya
Dwi Tesna Andini)
Ada sesuatu yang tidak ingin kukatakan padanya sejak dulu.
Sampai sekarang aku belum berani mengatakannya. Karena yah aku belum siap dan
masih takut.
Seandainya aku mengatakannya, reaksi apa yang akan ia berikan?
Apakah dia bisa menerima pengakuanku?
Apakah dia masih akan menatapku seperti biasanya?
Tersenyum padaku?
Atau justru dia malah menjauh dariku dan meninggalkanku?
Apapun reaksinya. Aku berharap satu hal, dia tidak
meninggalkanku.
Dan benar sebelum aku sempat mengatakannya dia benar-benar
sudah meninggalkanku. Aku menyesal karena telah membuatnya menangis. Kuakui aku
terlalu kasar waktu itu. Karena sifat pemarahku kita bertengkar terhadap
hal-hal yang bodoh.
Pertemuan singkatku dengannya menyimpan sejuta kenangan yang mungkin
sulit untuk aku lupakan. Di sepanjang perjalananku menuju hari demi hari
wajahnya selalu terbayang di benakku, aku pikir diriku sendiri sudah gila.
Hari
Kamis kira-kira pukul setengah enam sore aku sedang berada di dalam bus. Saat
itu aku berdiri menghadap kaca jendela, menatap jalanan Shinjuku. Jalanan cukup
ramai, mobil-mobil yang berseliweran nampak basah dengan tetesan salju, pejalan
kaki menyusuri trotoar di pinggir jalan. Layaknya kota yang menghadapi musim
dingin, orang-orang akan berbalut dengan jaket tebal beraneka warna dan ini
yang buatku tidak suka dengan musim ini karena harus membebat badanku dengan
pakaian tebal. Tetapi aku juga sangat menantikan musim ini karena setiap kali
aku melihat bangunan, pohon, dan kota yang diselimuti oleh salju putih
berkilat-kilat. Rasanya hati terasa damai, aneh.
Tak
heran bila aku sangat menikmati waktuku di dalam bus sambil melihat sepanjang
jalan. Tak pernah ada keluhan bila mana aku harus sampai rumah sudah malam. Seperti
sekarang ini. Seusai pulang kerja aku sengaja tidak mampir dulu ke apartemen
tapi justru mengikuti bus ini sampai pemberhentkan terakhir. Entahlah mungkin
bagi banyak orang ketika musim salju lebih baik menghabiskan waktu di rumah.
Karena cuaca yang tidak cocok berada di luar rumah. Tapi itu tidak berlaku
bagiku. Musim dingin bagiku itu adalah hari-hari yang paling mengesankan
dibandingkan musim-musim lainnya.
Kendaraan
itu berhenti, itu berarti akan ada penumpang turun dan aku bisa mendapatkan
tempat duduk. Selamat Aku bergegas menuju tempat duduk yang belum berpenghuni.
Beruntungnya di sebelah adalah seorang gadis. Dari mana datangnya gadis
secantik ini? Parasnya begitu menawan. Wajahmu layaknya bunga mawar yang mulai
mekar, dengan aroma khasnya yang menggoda setiap insan yang berada di dekatnya.
Tubuh gadis itu mungil, bermata sipit dan rambut lurus sebahu tangannya yang
mungil memeluk tas ransel bewarna cokelat sembari menatap keluar jendela.
“Permisi,”
kataku kemudian.
“Boleh
aku duduk di sini?” ujarku menepuk kursi kosong di sebelahnya.
Dia
mendongak dan menatapku tanpa berkedip. Kupikir dia tidak berniat untuk
menjawab pertanyaanku, maka dari itu sebelum pandangannya beralih menghadap ke arah jendela, aku cepat-cepat berkata, “selamat
sore.”
“Eh?”
katanya kaget.
Gadis
itu menoleh lagi dan memastikan barangkali ia mengenaliku, nyatanya tidak ini
adalah kali pertama kami bertemu.
Dia terdiam sejenak, lalu bertanya ragu, “Kamu
mengenaliku?”
Aku
menatap matanya lumayan lama.
“Kamu
cantik,” kataku sesaat kemudian, dengan suara pelan tapi cukup bisa didengar
oleh gadis itu?
“Heh?”
Dia
pasti kaget. Aku lagi-lagi tersenyum. Mata sipitnya melebar.
“Makasih,”
akhirnya dia menjawab juga kemudian ia melemparkan pandangannya ke jendela.
“Namaku Ryo,” kataku sambil menggerakkan
tangan yang masih terulur, mengundang gadis itu menjabatnya. Gadis itu menunduk menatap tanganku, kemudian
ia meletakkan tas ransel yang di pelukanya ke sebelah kiri. Ia membungkuk sedikit
sebelum menjabat tanganku. Itu salah satu kebiasan sebagai orang Jepang yang
tidak bisa dihilangkannya.
“Akira
Matsu,” ujarnya
“Akira,”
kataku, senyumku melebar.
“Senang
berkenalan denganmu.”
Apa
yang bergetar? Kurasa bukan ponselku karena aku pastikan selama di kantor
ponselku berada pada mode diam dan aku belum mengganti menjadi mode dering.
Bila bukan ponselku yang bergetar kupastikan jantungkulah yang berdenyut
kencang. Terasa benar jantungku berdenyut. Aku masih belum percaya bagaimana
mungkin seorang bidadari duduk di sampingku. Ingin menjerit rasanya.
Di
sepanjang jalan diselimuti oleh keheningan, mungkin juga karena aku masih
terlena dengan suasana di luar. Memandangi pohon-pohon di sepanjang jalan diselimuti
oleh salju yang terlewati bis dengan kecepatan minimum. Sebentar lagi malam dan
dingin mulai menyapa tulang keringku. Cahaya matanya mulai redup, seakan ia tak
punya daya lagi untuk bergerak. Mungkin bagi dia saat ini paling enak adalah
berada di tumpukan kapuk yang nyaman.
Hatiku
semakin tak karuan semakin lama melihatnya tak diragukan lagi aku jatuh cinta.
Bodoh... aku hanya bertemu dengannya di dalam bis dan singkat. Aku hanya tahu
namanya Akira dan cantik. Kenapa aku harus berpikiran sejauh itu. Belum tentu
gadis yang di sampingku kini memperhatikan keberadaanku. Tidak ada jaminan pula
dia akan suka padaku. Benar kan?
Tak
lama bis itu berhenti di terminal menyadarkanku dari lamunan. Aku terpaku
melihatnya yang berpamitan dan meninggalkan aku bersama kursi kosong. Aku belum
percaya dia sudah tidak di sampingku. Pertemuan singkat itu menyimpan banyak
kenangan indah dan kupastikan sulit untuk kulupakan.
Lalu
apa yang harus aku lakukan? Mengejarnya? Ada apa denganku. Aku sudah tidak
waras? Dan benar aku sudah mengikuti langkah gadis itu. Angin bertiup agak
kencang malam itu. Hakura Matsu mengibaskan rambut pendeknya agar tidak
menghalangi pandangannya saat ia bergegas menyusuri jalan kecil dan sepi.
Mungkin itu adalah jalan menuju rumahnya. Aku bisa melihat gadis itu menggigil.
Jaket dan sweter tebalnya tak membantu menghalangi angin menusuk tubuhnya.
Gadis
itu berhenti saat ia menyadari ada yang mengikutinya. Tubuhnya berbalik ke
belakang Kamu mengerjap mengenali suara yang kamu kenali, mungkin.
Aku
melangkah mendekatinya sehingga tampak seperti sebuah bayangan gelap di bawah
sinar lampu jalan sambil mengangkat kedua tangan. Samar-samar aku melihat
mayamu melebar setelah melihat sosokku yang terlihat jelas.
“Kamu?”
Aku
menurunkan tangan dan tersenyum lebar.
“Sedang
apa kamu di sini?” tanyanya terlihat heran dan bercampur curiga. Ia mengedarkan
pandangan di sekelilingnya. Tenang kawan, aku tidak jahat. Matanya yang sipit
disipitkan sambil bertanya.
“”Kamu
mengikutiku?”
Aku
tidak langsung menjawab. Aku terdiam. Sebenarnya aku sedang berpikir kira-kira
kalimat apa yang pantas aku lontarkan agar gadis itu tidak lagi takut kepadaku.
Lalu
aku menjawab dengan nada merenung, “Aku hanya ingin memastikan kamu pulang
dengan selamat.”
Hakura
terdiam sejenak dan tetap menatap diriku yang berada di hadapannya. Lalu, tanpa
memperdulikan jawabanku, ia berujar lagi, “Aku menguasai gerakan bela diri.
Kamu jangan macam-macam denganku ya?”
Aku
tertawa mendengar jawabannya, membuat gadis itu tambah takut. Aku menjejalkan
kedua tangan ke saku jaket biru tua dan mengangkat bahu. “Karena tadi aku sudah
bilang selamat sore dan sekarang sudah malam. Jadi aku hanya ingin mengucapkan
selamat malam. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk mengikutimu.”
Lagi-lagi
gadis itu berkedip membuat wajahnya tambah manis. Setelah mengatakan itu, aku
langsung balik badan tanpa menoleh ke arahnya lagi. Satu hal yang penting, aku
sudah mengetahui alamat rumahnya.
* * *
Pagi-pagi
sekali aku sudah rapi di depan rumah Hakura, waktu itu kira-kira pukul tujuh
pagi.
“Kamu
mau berangkat sekarang?” tanyaku saat melihat Hakura keluar dari halaman
rumahnya. Terlihat jelas gadis itu kaget melihat keberadaanku.
Dia
menjawab dengan anggukan dan sedikit angkuh. Aku mengikuti langkahnya. Dia
tidak menggubris.
“Aku
antar kamu.”
“Buat
apa?” tanyanya tanpa menoleh.
“Untuk
memastikan kamu sampai kantor dengan selamat.”
“Terserah,”
jawabnya sambil memperlebar langkahnya.
“Aku
boleh kan berangkat bareng kamu?”
“Lebih
baik jangan.”
“Tapi
bis itu diperuntukkan untuk semua orang. Termasuk aku, aku juga bebas memasuki
kendaraan yang sama denganmu.”
Gadis
itu diam.
“Boleh
ya?”
“Terserah
deh.”
Begitulah
kira-kira kenekatanku saat mendekatinya. Dan gadis itu tidak menolak dengan
kehadiranku. Bahkan waktu hari libur, pagi-pagi aku sudah berada di depan
rumahnya dan menyuruhnya membuatkan kopi untukku.
Jangan
tanya perasaanku terhadapnya. Sudah jelas bahwa aku sudah jatuh cinta
dengannya. Menurtuku cinta adalah selera dan selera orang berbeda-beda. Dan
tentunya selama dua puluh tahun aku hidup kali ini aku merasakan cinta.
Tapi
cinta adalah selera. Dan selera orang berbeda-beda. Dan aku terperangkap pada
pesoan gadis itu. Dia benar-benar cantik. Tunggu dulu sebenarnya aku telah
bertemu gadis cantik, bahkan sering. Tapi kali ini aku benar-benar memuja
kecantikannya. Itulah seleraku. Selera itu muncul begitu saja dalam jiwa dan
susah untuk dimengerti. Sama seperti halnya dengan makan. Ada yang mengagumi
makan jengkol, dan ada juga yang tidak suka. Namanya juga selera. Beda orang
beda selera. Itu juga yang kualami saat ini. secantik-cantiknya Naomi Ishida
teman kelasku waktu kuliah tapi aku belum benar-benar memuji kecantikannya. Dia
bahkan gagal membuat aku tersenyum ketika melihatnya.
Aku
sendiri belum pernah jatuh cinta. Benar dan aku tidak pernah punya pacar. Kata
teman-temanku, aku adalah laki-laki dengan ketampanan yang sia-sia. Aku sendiri
belum paham kenapa mereka berkata demikian. Tapi aku akui aku memang tampan.
Setidaknya sedikit lebih tampan dari sahabatku, Tatsuya. Saat ini tampanku
mungkin berguna karena berhasil membuat Akira jatuh padaku. Semenjak berpacaran
dengannya aku benar-benar bahagia. Aku sudah terjajah oleh kecantikannya.
Membuatku terpenjara dalam suasana konyol. Biasanya aku menghabiskan waktuku
kumpul bersama teman-teman untuk bermain sepak bola atau sekedar menonton film
bersama. Tapi sekarang aku rela menghabiskan waktuku bersama Akira. Kehadiran
Akira membuat hidupku lebih teratur. Aku jarang telat pergi ke kantor karena
pagi harinya ada Akira yang membangunkan. Aku juga tidak pernah melewatkan
jadwal sarapanku karena ada Akira yang selalu rewel menyuruhku untuk sarapan.
Pernah
waktu itu Akira tiba-tiba saja bertanya padaku tentang bagaimana aku bisa jatuh
cinta kepadanya.
“Hmmm
jadi apa alasannya kamu jatuh cinta kepadaku?”
Aku
diam. Lalu aku justru melontarkan pertanyaan kepadanya.
“Kamu
mau lihat aku bahagia tidak? Ucapku sambil menatap matanya.
“Iya?”
“Kalau
begitu jangan tanyakan itu. Kamu bisa menanyakan tentang banyak hal. Tentang
apa saja. Misalnya kamu bisa menanyakan bagaimana senja begitu indah di
detik-detik kepergiannya. Atau bila perlu, kamu bisa bertanya berapa kali rupamu
tampil di mimpiku. Hanya saja jangan tanyakan padaku bagaimana aku bisa
mencintaimu. Sebab rasa itu tak terpahami. Dan nyatanya rasa itu gagal
terbuang.”
“Siap...”
Aku
tersenyum , Akira juga. Aku memandang matanya seperti dia memandang mataku. Aku
sempat menduga habis aku akan terkena diabetes. Hidupku terlalu manis kawan.
* * *
Hari
itu, aku menunggunya di toko buku.
Aku
berdiri di koridor lantai dua gedung pusat pemberlanjaan tempat kami janjian.
Di lantai dua ada sebuah toko yang lumayan besar di kota ini. Akira memintaku
untuk menemaninya ke toko buku kali ini.. Dia pernah cerita bahwa sejak kecil
ia gemar sekali membaca dan impiannya adalah bekerja di perpustakaan, tempat ia
bebas membaca buku sepuasnya tanpa harus mengeluarkan uang. Sudah satu jam
berlalu Akira belum juga muncul.
Sembari
menunggunya aku sempatkan diri untuk membeli kopi. Ini sudah kali kedua aku
minum kopi. Pertama tadi waktu baru sampai aku membelinya di mesin penjual kopi
di samping pintu toko buku. Dan kedua adalah sekarang ini.
Ngomong-ngomong
sekarang sudah bulan Desember dan itu berarti setiap tempat dipenuhi hiasan
Natal. Aku memegang cangkir kertas berisi kopi panas dengan sebelah tangan,
sementara tangan sebelah lainnya aku gunakan untuk memegang ponsel yang sedang
kutempelkan ke telinga.
“Ya,
aku tidak bisa datang sekarang,” kataku sambil memandang ke luar jendela kaca
besar yang menghadap depan gedung.
“Kamu
pulang jam berapa?” suara berat Tatsuya terdengar di ujung sana.
“Ketika
sore datang aku pastikan sudah berada di pintu rumahmu.”
“Tentu
saja. Aku tunggu.”
Minggu lalu aku tidak ikut ke bersama Tatsuya
dan lainnya. Kali ini Tatsuya memaksaku untuk datang ke acara kumpul
teman-teman kuliah. Mungkin kali ini dia kesal karena aku sering kali tidak
ikut. Padahal sebelumnya aku selalu menghabiskan liburanku bersama dia.
Pernah
sekali aku menyarankan dia untuk punya kekasih. Sehingga dia tak usah lagi
mengganggu waktuku bersama Akira. Hmmm Akira... ke mana sebenarnya gadis itu?
Sampai sekarang dia belum juga datang. Aku sudah bosan menunggu di sini,
sendirian! Aku juga tidak suka membaca buku. Tak ada satu buku pun yang menarik
perhatianku untukku baca.
“Apa?
Apa yang sebenarnya terjadi?” Gadis itu tiba-tiba tidak bisa dihubungi. Aku tak
tahu kenapa perasaan khawatir tiba-tiba saja datang. Ke mana dia? Dia baik-baik
saja kan? Apa yang sedang dia lakukan sekarang? Apakah dia sudah makan? Bila
saja dia mengangkat teleponnya, maka aku akan memberikan rentetan pertanyaan
yang demikian. Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia tidak mengangkat
teleponnya? Apa benar baterainya belum sempat diisi baterai sehingga ia tak mau
mengangkat teleponku?
Siang
itu aku datangi rumahnya. Rumah yang tidak asing ku datangi. Rumah Akira tidak
terlalu besar. Mirip seperti apartemen. Rumah itu ditempati oleh Akira
sendirian karena kedua orang tuanya tinggal di Hokaido. Karena Akira tinggal di
rumahnya sendirian menjadikan rumah tersebut sebagai base camp.
Ketika
sampai di sana. Kudapati Akira bersama laki-laki lain. gadis itu terkejut
melihat kedatanganku. Akira keluar dari rumah sambil tersenyum. Tanpa merasa
dia pernah melakukan kesalahan. Dan aku semakin muak melihatnya. Ketika dia
sudah tepat di depanku, aku langsung menamparnya. Aku tidak pernah berpikir
untuk melakukan hal itu sebelumnya. Tapi entahlah tanganku tiba-tiba saja tak
terkendali.
Akira
mengusap pipinya bekas tamparanku sambil menangis. Aku benar-benar ngeri
melihat kelakuan kasarku. Tamparan itu keras dan membuat pipinya merah. Tanpa
berkata Akira menghentakkan kakinya meninggalkanku. Saat wajahnya berbalik dan
hanya terlihat punggunya oleh mataku. Lagi-lagi monster itu merasuk jiwaku.
“Kita
putus,” kataku dengan suara tertelan tetapi cukup jelas didengar oleh Akira.
Bahkan suara mungkin bisa terdengar oleh laki-laki itu yang kini mengintip di
balik pintu depan rumah Akira.
Akira
tak menjawab. Dia masuk ke dalam rumah meninggalkanku. Aku tak berniat
mengejarnya untuk menghadang langkahnya. Aku masih diam berdiri memandang marah
kepadanya.
Aku baru menyadari diriku sepenuhnya saat aku
sudah sampai di dalam bis. Aku tak bisa berpikir kesadaranku kembali hilang
sepenuhnya dan air mata tiba-tiba saja jatuh dengan derasnya.
“Apa yang terjadi?”
Aku
bertanya pada diriku sendiri. Kejadian kita waktu itu benar-benar tak bisa
kulupakan. Itu meruapakan kenyataan pahit yang harus kutanggung sendiri. Dan semenjak
aku mengatakan kalimat terkutuk itu dia menghilang. Aku tak lagi melihat
pesannya di ponselku. Aku tak lagi punya teman mengobrol sepanjang malam hingga
bergantinya hari. Aku pun tak memiliki sandaran lagi. Aku merindukannya dan aku
masih mengharapkannya.
Oh,
betapa susahnya hidup tanpanya. Sudah tiga bulan semenjak kepergiannya. Saat makan
dan minum bahkan tidur sekalipun aku selalu teringat bahwa kisah kita sudah
berakhir. Berpisah dengannya tak membantu diriku menumbuhkan cinta kepada orang
lain. sekalipun aku bertemu dengan segelintir gadis di kantor maupun di media
sosial. Sekalipun Tatsuya mengenalkan banyak gadis cantik kepadaku.
Namun
sayang, senyum manis Akira tak pernah gagal menembuns batinku. Teringat aku suara
lembutnya terasa begitu istimewa. Wajahnya yang teduh membuatku semakin ingin
melihatnya. Hadirlah, hadirlah wahai gadisku. Aku ingin merasakan seperti apa
indahnya bersamanya lagi. Begitulah kira-kira jerit batinku yang menghentakkan
jiwa. Cinta yang kudamba bukannya mendekat, justru menjauh. Dia terus berlari
seakan tak ada kerikil yang menghalangi langkahnya.
Kata
orang cinta akan pudar seiring berjalannya waktu. Tapi pepatah itu tak berlaku
bagiku. Cintaku bukannya memudar justru semakin hari cinta itu semakin kuat.
Aku khawatir jangan-jangan aku sudah gila. Atau dari sejak mengenalnya aku
sudah gila?
Tidak
mungkin! Aku tidak gila. Aku bisa bekerja dengan baik. Mengerjakan semua tugas
secara rutin sebelum masa deadline
berlaku. Aku bisa menghadapi kebringasan ketua divisiku yang perintahnya tidak
pernah sedikit. Aku bahkan bisa mencapai target perusahaan. Benarkan aku
normal? Tapi bukankah dalam realita banyak orang yang gila yang kelihatannya
normal-normal saja. Banyak yang kelihatan aneh padahal sebenarnya mereka tidak
gila. Naasnya cinta yang salah menciptakan orang-orang gila. Begitu pula dengan
yang sudah kehilangan cinta. Aku tak tahu lagi apakah aku tercatat sebagai
daftar orang gila. Entahlah yang kutahu saat ini jiwaku memang sedang tidak
sehat.
Dan
sekarang perasaan pahit itupun aku rasakan kembali, hal yang sama setelah tiga
bulan kita tak jumpa. Tepat pada musim gugur aku melihatnya sedang menghabiskan
masa liburannya di taman. Aku tak perlu melihatnya terlalu dekat untuk
memastikan apakah gaya rambutnya yang terlihat berbeda, atau menggunakan sweter
merah muda favoritnya, dan tas ransel yang ia gunakan saat pertama kali kami
bertemu. Aku benar-benar melihatnya. Aku benar-benar terhentak pada kenyataan
bahwa kini dia yang dulu bukanlah dia yang sekarang. Dia yang dulu adalah
milikku dan dia yang sekarang adalah milik orang lain. tunggu dulu, benarkah
dia belum bertuan? Aku harap begitu.
Sebenarnya
aku sudah melihatnya beberapa kali semenjak kami putus. Dan aku masih ingat
semua detail cerintanya. Haruskah aku bercerita. Boleh ya!
Hari
itu, aku melihatmu sedang makan berempat bersama temannya di sebuah kedai makan
yang terletak tak jauh dari kantormu. Aku pikir mereka adalah teman sekantornya.
Akira begitu bahagia saat itu. Benarkah dia bahagia? Seberapa banyak?
Aku
juga pernah melihatnya di pusat perbelanjaan bersama laki-laki itu. Sampai
sekarang aku belum tahu namanya. Dan pemandangan itu cukup membuat hatiku tidak
lagi mempan dengan balutan plester.
Malam
setelah aku melihat kejadian itu aku tidak bisa tidur. Hatiku risau. Pagi
harinya wajahku berantakan dan hariku di kantor begitu suram. Yang aku pikirkan
adalah apakah Akira benar-benar telah memiliki kekasih? Meskipun aku tidak
melihat teman lelakinya menggenggam tangannya. Tapi aku bisa meyakinkan diriku
bahwa dia bahagia.
“Hai
orang asing, benarkah kamu melupakanku?” rutukku dalam hati.
Dan
sekarang aku bahkan menghadiri ulang tahun Ayame sahabatnya waktu kuliah. Hari-hari
waktu Akira menjadi milikku, Akira sering mengajak Ayame makan bersama. Bahkan
Akira pernah mengajakku ke acara ulang tahun Ayame. Kuberi tahu sedikit,
sebenarnya aku tidak diundang ke acara ulang tahun Ayame. Tapi aku menyuruhnya
supaya mengundangku. Untungnya Ayame mengiyakan kemauanku.
Antara
rasa senang dan rasa takut tiba-tiba menghampiriku. Senang karena bisa melihatnya
lagi dan takut karena haruskah aku melihat Akira bersamanya? Apakah ia datang
bersama laki-laki itu? Apa benar Akira mengenakan baju pesta yang dibelikan
oleh laki-laki itu, persis seperti yang kulakukan sebelumnya? Dan apakah
mungkin nantinya dia akan berdansa mesra bersamanya? Badanku langsung lemas
hanya dengan membayangkan yang demikian.
Tak
lama bermain dengan khayalanku gadis itu datang. Aku bisa melihatnya dari jauh.
Dan dia datang sendirian. Itu cukup mengibur. Aku terus melihatnya tanpa sadar
dia juga menatapku. Tatapan mata itulah yang kurindukan selama ini. sayangnya
tatapan itu tak berlangsung lama sebab laki-laki itu menyapanya. Shit!
Oke
kali ini aku tidak bisa berpikir jernih. Apa yang harus aku lakukan? Apakah
perlu aku mengikuti pesta ini sampai selesai dengan pemandangan yang akan
membuat hatiku kembali berserakan. Aku tidak mau. Lebih baik, sebaiknya aku
keluar dari ruangan ini. Selamat berpesta Akira.
Aku
sering berpikir bahwa semua hal bisa terjadi kapan saja. Semua hal bisa datang
dan juga pergi tanpa terpahami. Hidup iu misteri. Entah aku bertemu dengannya
hanya kebetulan, atau ada sebab sehingga aku dipertemukan. Dan mungkin dia
pergi juga ada sebabnya. Sayangnya kehilangannya menyisakkan rasa sakit yang
tak berdarah. Selagi Akira ada, kenapa aku tak bisa menjaganya? Apakah ini
murni kesalahanku karena aku lalai menjaga cinta itu, atau memang cinta itu
bukan untukku?
Aku
sendiri tidak tahu jawabannya. Karena rasa penasaran, aku pun menggali
jawabannya. Yah, aku sekali lagi mengikutinya. Waktu itu Akira baru pulang dari
tempat kerja. Mungkin saat itu dia lelah, tapi perasaanku jauh lebih lelah. Aku
bisa melihat bola matanya melebar saat melihat sosokku tepat di hadapanmu.
“Ada
apa?” tanyanya kaget.
“Tidak
apa-apa. Aku hanya ingin menjemputmu pulang.”
“Memangnya
kamu pikir kamu siapa?” ujarnya masih pada nada yang tidak bersahabat.
“Sudah
kubilang. Aku mau menjemputmu.”
“Buat
apa menjemputku?”
“Tidak
apa-apa.”
“Tidak
biasa.”
“Sekarang
akan aku biasakan.”
“Menjemputku
di sini?”
“Dan
mengantarkanmu pulang.”
“Memangnya
kamu tidak bekerja.”
“Aku
bisa mengatur waktu.”
“Memangnya
siapa yang memberi izin untuk menjemputku.” Wajahnya mendongak menatapku dengan
lantang.
“Sebenarnya
aku ingin mengajakmu makan malam.”
“Sekarang?”
“Memangnya
kapan lagi?”
“Aku
tak punya selera. Aku harus cepat-cepat sampai rumah sekarang.”
“Memangnya
sudah ada yang menunggu?” tanyaku.
“Bukan
urusanmu.”
“Tapi
kamu harus makan.”
“Aku
bisa makan di rumah. Kenapa kamu tiba-tiba mengurusi hidupku? Kita sudah tidak
udah ada hubungan lagi. Catat itu di kepalamu.”
“Aku
tahu itu. Tapi...”
Buru-buru
dia melanjutkan.
“Terima
kasih atas perhatianmu. Dan atas undangan makan malammu. Tapi aku lebih ingin
makan di rumah saja.”
“Aku
ingin berbicara denganmu.”
“Soal
apa?”
“Soal
kita.”
“Masih
adakah persoalan soal kita? Kupikir kita sudah cukup.”
“Aku
rasa kita bisa memperbaikinya.”
Sejenak
dia tidak bisa menjawab. Mungkinkah dia juga ingin kembali. Dapatkah dia
menerima aku, menerima kelemahanku. Dan memafkan kesalahanku yang dulu?”
Terimalah
aku kembali. Ini adalah permintaan keduaku. Pertama aku memintamu untuk menjadi
kekasihku, waktu itu dia langsung mau. Tetapi sekarang, dia sudah banyak
berubah. Sudah tidak seramah dulu lagi. Dia sudah berani menggunakan logika
untuk membuat sebuah kesepakatan antara otak dengan hatinya untuk memilih.
Tidak seperti dulu yang dia sangat penurut. Dia juga berubah sekarang. Dia
lebih berani berdandan. Lipstik tipis yang biasa membaluti bibir manisnya
sekarang lebih terlihat.
Sebuah
bis berhenti di depan halte. Tanpa pikir panjang Akira menaiki tangga halte.
Aku langsung mengikuti langkahnya. Gadis itu berdiam diri melihat kehadiranku
yang sudah dalam bis.
Mereka
terpaksa harus berdiri karena sudah tidak ada lagi kursi kosong.
“Ke
mana?” tanyanya kesal.
Wajahnya
sudah menyiratkan ketidaksenangan melihat keberadaanku.
“Sudah
ku bilang aku akan mengantarkanmu.”
“Tidak
bisakah kamu berhenti menggangguku?”
“Tidak
bisa,” sergahku buru-buru.
“Kenapa?”
tanyanya polos
“Karena
aku masih cinta.”
Bis
itu kembali berhenti di terminal membuat ruangannya tambah sesak. Aku mendesak
ke belakang Akira, melindungi dengan tubuhku. Hampir setengah jam kami
terguncang-gnncang oleh bis yang penuh sesak. Dan selama itu kami tidak
mengucapkan sepatah kata.
Lambat-labat
tubuhnya terdesak penumpang yang berjejal, melekat ke tubuhku. Dan sesaat aku
bisa merasakan sebuah sensasi yang tiba-tiba saja menjalar ke tubuhku. Belum
lagi saat sebuah guncangan cukup kuat membuat punggungnya terdorong ke dadaku.
Refleks aku semakin mencekram tiang lebih kuat lagi. Mengokohkan kedua kakiku
untuk melindungi gadis yang di depanku agar tidak terhempas ke belakang.
Tanganku sebelah kiri merangkul pinggang Akira. Aku tersenyum saat menyadari
dia tidak menolak tanganku menyentuh tubuhnya.
Saat
sudah sampai aku mengikuti dia hingga menuju rumahnya. Dia tak berucap tak juga
merespon. Seolah aku tidak ada.
“Akira...”
aku panggil namanya.
Dia
tidak menyahut. Kakiku semakin kaku saat sudah sampai di halaman rumahnya.
Akira membuka pintu depan rumahnya dan dia tidak menyuruhku masuk. Melihatku
saja tidak.
Tak
cukupkah dia menusukku dengan menjauhiku. Atau barangkali dia memutuskan untuk
menusukku kembali dengan mengabaikanku. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku
akan membabi buta membuka paksa pintu rumahnya. Baik. Kalau memang itu untuk
memperjuangkan cinta, akan aku lakukan. Tetapi kakiku mulai lemas. Aku takut
kehilangan. Meskipun kali ini aku telah kehilangan dirinya, tetapi aku takut
dia semakin menjauhiku. Parahnya dia akan takut bertemu denganku. Bertemu
dengan lelaki yang memiliki amarah paling maksimum.
Kembali
aku terdiam. Lalu bayangan masa lalu seperti segerombolan rampok datang
menyerbuku. Menghunuskan pedang ke arahku. Mereka berlomba-lomba menghunus pedang
ke arahku sehingga membuatku luka. Aku benci kejadian terlaknat itu. Mengapa
pula tanganku tak bisa dikembalikan. Andai ada satu cara untuk kembali
memilikimu, maka aku berjanji takkan ada air menggantung di rongga matanya.
Kini
sudah malam, salju turun dan membawa diriku pada kenangan yang manis. Tanpanya
aku berkata bahwa aku dapat hidup dengan baik mencoba menghibur diriku. Tapi
hal itu tidak membantu banyak. Tanpa Akira hari-hari yang kujalani begitu
panjang dan begitu membosankan. Aku sadar satu hal cinta dipersembahkan bagi
insan yang ingin patah hati. Aku tidak bisa melupakannya. Tidak, aku tidak
berpikir untuk melupakannya.
Kedatangan
Akira membuyarkan lamunan lamaku. Kali ini kedatangannya benar-benar berbeda
dari sebelumnya. Dia tersenyum padaku, senyumannya persis seperti saat kami
dibanjiri perasaan sayang. Tanpa ragu aku membalas senyumannya.
Gadis
itu keluar tanpa menutup pintu depan rumahnya. Dia terus memandangiku sambil
tersenyum. Kakiku bergetar entah karena dingin atau karena faktor lainnya.
Bibirku kaku tidak dapat bergerak. Aku ingin memanggil namanya tapi tak bisa.
“Kamu
merindukanku?” tanyanya memperlebar senyumannya.
“Iy...Iya.”
jawabku terbata-bata
“How much?”
“Tak
bisa dihitung pakai rumus Matematika,” jawabku lancar.
“Boleh
aku minta tolong?”
“Apa?”
“Jawab
dulu pertanyaanku.”
“Boleh.”
“Benar
ya?” tanyanya memastikan.
“Benar.
Katakan saja. Asal satu!”
“Kenapa
harus bersayarat?’
“Dengar
dulu.”
“Baiklah,
lalu apa?”
“Asal
kamu tidak meminta aku meninggalkanmu, berat. Aku tak kuat.”
“Kamu
terlalu banyak membaca novel,” celotehnya sambil tertawa.
“Lalu
apa yang kamu pinta?” kataku semakin penasaran.
Dia
berpikir sejenak.
“Bila
kamu berhasil melewati musim dingin yang paling dingin. Sampai pada hari-hari
berubah menjadi musim semi. Sampai hari-hari di mana kamu bisa melihat bunga bermekaran.
Tolong temui aku pada hari itu.”
END