Lombok pada masa 1961
Aku dilahirkan pada tanggal 21
Agustus 1944 dengan nama Baiq Sri Murti. Aku terlahir dengan predikat sebagai
keluarga bangsawan sehingga ada kata ‘Baiq’ di awal namaku. Aku dibesarkan di
dusun kecil bernama Bremis di pelosok kabupaten Lombok Tengah. Umurku sekarang
sudah beranjak ke 16 tahun. Aku baru saja menyelesaikan sekolahku di Sekolah
Rakyat dan ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Pada saat itu aku sangat teringat
ketika bapak sedang duduk di bangku aula rumahku. Ibuku dan aku disuruh untuk
segera menghadap bapak. Kami duduk dengan posisi tegak menghadap ke arah bapak
yang duduk di atas kursi terlapisi emas. Budaya kami memang seperti demikian.
Para lelaki apalagi yang memiliki status bangsawan sangat dihormati di daerah
kami. Aku tak habis pikir saat orang-orang begitu menghargai keluarga kami.
Tidak jarang aku melihat saat bapak
diiringi oleh pengawalnya, banyak dari warga yang menunduk dengan hormat kepada
beliau. Saat acara syukuran. Hanya golongan bangsawanlah yang difasilitasi
dengan piring yang terbuat dari perak dan terhimbun oleh banyak makanan hingga
menggunung. Sedangkan bagi rakyat biasa hanya disediakan wadah besar yang
dimakan oleh 4-5 orang.
“Kamu itu sudah memasuki usia yang sudah matang. Mamik
memanggilmu di sini untuk memberitahumu bahwa sebentar lagi kamu akan
dikawinkan oleh seorang laki-laki yang sederajat dengan keluarga kita,” ujar
Ayahku.
Aku
tak bisa menggambarkan bagaimana rasa terkejutnya saat mendengar kabar
tersebut. Dunia laki-laki masih jauh dari angan-anganku. Sekalipun usiaku sudah
akan menginjak enam belas tahun, tapi aku ingin melanjutkan sekolahku.
“Saya ndak mau menikah. Saya masih terlalu muda Mamik.
Saya mau melanjutkan sekolah.”
“Untuk apa kamu sekolah. kamu itu adalah seorang
wanita yang kerjaannya mengurus suami dan anak-anaknya. Wanita tidak pantas
disekolahkan tinggi-tinggi.”
“Tidak Mamik… Mamik keliru menanggapi
hal itu. Setiap orang berhak mencari ilmu setinggi-tingginya,” aku membantah
pernyataan bapak.
“Justru karena ilmu itulah yang membuat kamu berani
membantah perintah Mamik. Kamu mau sekolah agar kamu menjadi orang kafir
seperti di negara penjajah. Pokoknya Mamik tidak mau tahu. 2 minggu lagi
kamu akan menikah. Sudah cukup! Sekarang kembali ke kamar.”
Tidak ada yang bisa membantah perintah ayah, bahkan
ibuku sekalipun. Aku melihat rasa keibaan ibuku namun beliau tidak memiliki
daya apa-apa untuk membantuku
Setelah mengetahui calon suamiku
adalah Lalu Arya Dinata, aku bisa membayangkan sosoknya seperti apa dia. Sosok
yang banyak dikagumi di dusunku. Setiap orang yang melihatnya menyatakan bahwa
dia pria idaman setiap wanita. Terlebih karena predikat bangsawan yang masih
melekat di dirinya.
Sebagai gadis kencur sepertiku, aku
tidak tahu menahu apa yang harus aku lakukan saat menikah. Aku hanya mengikuti
perintah Ayahku untuk keluar rumah sehabis maghrib. Aku berdiri di luar dengan
jarak yang cukup jauh dari rumah. Dengan berbekal beberapa lembar pakaian di
dalam tas kain yang kubawa. Saat itu calon suamiku datang mendekatiku. Raden
Arya, begitulah nama panggilan untuk calon suamiku. Kini ia menawarkan diri
untuk mengajakku ke rumahnya. Aku tak kuasa menolaknya karena itu perintah dari
Ayah. Aku menggangguk pelan kepadanya.
Kami segera melangkah menuju ke rumahnya
dengan berjalan kaki. Adat yang dianut oleh orang sasak ini wajib dilakukan
sebelum menikah. Laki-laki yang ingin menikah dengan seorang wanita harus
mengambil resiko melarikan diri calon istrinya. Atau istilahnya mencuri
(memaling) calon istrinya. Hal ini dilakukan untuk mengukur seberapa jantan dia
di hadapan para wanita. Sifat jantan merupakan simbolisasi sosok suami yang
bertanggungjawab dalam segala kondisi terhadap keberlangsungan keluarganya.
Sebagaimana telah diatur dalam ketentuan adat sasak, seorang suami harus bisa
menghadapi bahaya dibunuh apabila ditangkap oleh calon mempelai wanita.
Dengan jarit yang masih melilit di
kakiku. Kami berjalan di kegelapan malam melewati pematangan sawah. Aku yang
belum terbiasa berjalan pada malam hari di tengah sawah, mulai berjalan dengan
agak terpincang-pincang. Aku berjalan amat pelan, takut jika tercebur ke sawah.
Tiba-tiba hal yang paling kutakutkan terjadi. Sreetttt…!!! Aku terjatuh. Tangan
Raden Arya segera meraih tubuhku. Tangannya kini tetap menahan pundakku. Aku
merasa kaget dengan perlakuannya namun aku tak kuasa menolaknya.
Kini kami sudah tidak berada di
sawah namun tangannya masih memegang pundakku. Aku melihat ke arah wajahnya
yang tenang. Aku sampai bertanya-tanya. Bisakah aku sehidup semati dengan
lelaki di dekatku ini. Aku masih terlalu belia untuk memikirkan rumah tangga.
Aku masih ingin sekolah, ingin melanjutkan cita-citaku untuk menjadi wanita
yang setidaknya tidak bekerja di rumah.
Selama perjalanan hanya
keheninganlah yang menemani kami hingga menuju rumah persembunyian. Rumah
persembunyian berada di rumah kerabat Raden Arya. Tujuannya agar keluargaku
tidak mencurigai atau tidak tahu tempatku berada saat ini. Sejenak aku melihat
kediaman rumahnya dari luar. Nyala lampu teplok dari dalam aula tampak
bergoyang. Bayangan sosok orang ramai terlihat sedikit. Di sana kami disambut
dengan amat meriah. Beberapa hidangan makanan yang sudah tersaji.
Berita pernikahan kami akan
disebarkan oleh calon suamiku beserta kepala dusun kepada keluargaku. Setelah
acara makan-makan di rumahku, dimulailah acara nyelabar yang
memberitakan dengan lisan bahwa aku telah diculik oleh Raden Arya. Begitulah
adat yang harus kami jalani pra nikah. Kedua keluarga mempelai kemudian akan
membahas mengenai mas kawin atau kami menyebutnya dengan pisuke. Setelah
sepakat dengan harga mas kawin, maka barulah membicarakan mengenai kapan hari
yang tepat untuk dinikahkan.
Kami
pun dinikahkan. Bukankah hari pernikahan adalah hari yang membahagiakan? Tapi
bagaimana dengan perasaanku. Aku hanya terlalu pasrah untuk menerima segala
peraturan yang ditanamkan oleh keluargaku. Jika aku menolak peraturan ini.
Tidak segan-segan bapak akan mengusirku dari rumah dan bahkan aku sudah tidak
dianggap sebagai anak kandungnya sendiri. Pernah aku berpikir untuk kabur,
meninggalkan segala peraturan ini. Namun, sekali lagi aku diajarkan untuk patuh
dalam menjalani hidup sebagai gadis berdarah biru.
Ini
adalah malam pertama. Pada malam ini aku justru menanti kedatangannya bukan
karena cinta melainkan sebuah aturan yang harus dijalankan. Dengan selimut
jarit tipis aku menelungkupkan seluruh badanku. Aku sesekali melihat jam
dinding kamarku. Sekarang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Aku mendengar langkah
kaki. Aku mengenal pemilik suara langkah kaki itu. Kini langkahnya mendekati ke
arah kamarku. Aku merasakan ia kini mulai merebahkan badannya di atas kasur. Ia
mendekat dengan sangat hati-hati. Tangan kekarnya perlahan-lahan mengusap
pundakku. Kemudian beralih melingkarkan tangannya ke perutku. Ia kini mengusap
lembut perutku seolah mengeloni seorang anak kecil. Aku sama sekali tidak
merubah posisi tidurku. Aku tetap membelakanginya. Aku tak memiliki keberanian
menatap wajahnya. Aku merasakan hembusan nafasnya yang menerpa belakang telinga
kiriku. Tangannya kini satu persatu membuka kain penutup tubuhku bagian atas.
Kupejamkan
mata ini seolah untuk mengurangi rasa takutku. Aku bisa merasakan kenyerian
saat bagaimana suatu benda terus menerus menghujam organ vitalku. Begitulah,
hampir setiap malam aku meladeni nafsu suamiku. Sekali lagi bukan karena cinta
melainkan karena tuntutan menjadi seorang istri dari suami berdarah biru.
Seminggu
setelah acara pernikahanku. Masih akan ada rangkaian acara yang harus kami
jalani. Sekarang aku sedang menjalani prosesi serah terima aji krame.
Acara ini dilaksanakan sebelum acara iring-iringan pengantin. Sekelompok utusan
dari pengantin pria akan datang terlebih dahulu ke rumahku untuk memberitakan
iring-iringan (nyongkolan). Utusan itu yang nantinya akan saling berhadapan
untuk berbalaskan pantun.
Setelah
proses aji krame saatnya melakukan prosesi nyongkolan. Nyongklan
di sini berarti dari keluarga Raden Arya beserta utusannya akan menggunakan
pakaian adat sasak. Jika wanita menggunakan pakaian adat lambung, maka laki-laki harus menggunakan godek nongkek.
Aku, suami, keluarga suami dan 50 pengiringnya siap menuju rumahku. Tak lupa
diiringi oleh musik sasak yaitu gendang belek. Pada hari itulah kami
melakukan pesta besar-besaran. Setelah iring-iringan itu tiba di rumahku dengan
berjalan kaki. Kami kemudian bertemu dengan keluargaku beserta iring-iringannya
yang siap menyambut kedatangan kami.
Sungguh
rasa rindu muncul dibenakku saat melihat keadaan orang tuaku dan rumahku.
Sepertinya aku enggan untuk meninggalkan tempat ini. Tak lama setelah kami
sungkeman dari pihak keluarga Raden Arya mempersilahkanku untuk meninggalkan
rumah. Aku tak kuasa menahan tangisku. Aku melihat Ibuku yang terlihat seperti
berusaha menahan tangisnya.
Acara
terakhir adalah ritual bales nae yang artinya balas kaki yaitu
iring-iringan suamiku mengunjungi keluargaku untuk mempererat hubungan
silaturahmi. Dikatakan bales nae karena membalas jejak kaki mereka
setelah melakukan prosesi nyongkolan.
Rumah
tanggaku kujalani dengan hal biasa saja. Aku harus bangun pagi-pagi untuk
membantu mertuaku membersihkan rumah dan menyiapkan makanan. Malam harinya aku harus
menuruti permintaan suamiku. Hal itu justru yang aku benci. Kenapa seorang
wanita selalu terjerat oleh pekerjaan seperti itu. Mungkin hidupku sekarang ini
berubah namun tidak dengan pemikiranku. Aku wanita yang ingin bertolak belakang
dengan aturan keluarga, ingin menyongsong karirku. Aku bahkan tidak meminta
bergelinang emas kepada suamiku, yang kuinginkan adalah ruangan khusus tempat aku
belajar.
Suamiku
tidak menolak saat aku mengajukan permintaan itu. Ia paham dengan sifat keras
kepalaku. Rasa sedikit lega saat apa yang kuinginkan diwujudkan oleh suamiku.
Kini, aku dengan bebas bisa belajar di ruanganku. Di ruangan itu sudah terisi dengan
buku-buku lapuk mengenai pengetahuan umum. Kesenanganku adalah membaca. Buku apa saja pasti kubaca.
Dengan membaca aku bisa mengenali dunia lebih luas lagi.
Dari
bacaan-bacaan itu aku banyak menulis tentang ketidakadilan perlakuan wanita di
tempatku. Apa yang aku tulis tidak kusimpan dengan sendirinya. Aku akan berbagi
dengan para wanita lain yang tentunya secara diam-diam. Kesenanganku dalam
menegakkan keadilan para perempuan bisa tercium oleh suamiku.
“Dinda, usahakan kamu jangan terlalu menjadi wanita
pemberontak,” ujar suamiku di suatu malam.
“memangnya ada apa dengan saya, kanda,” jawabku.
Tidak mengerti ke mana arah pertanyaannya.
“Kanda tahu bagaimana sepak terjang dinda selama
ini. Kamu tidak suka kan jika wanita tidak diberlakukan sama dengan kaum
laki-laki,” jelasnya.
“Wajar jika saya bertolak belakang dengan perlakuan
wanita saat ini. Saya rasa dunia wanita sangat gelap.”
“Justru karena sikap itulah yang akan membahayakan
dirimu, dinda. Raden tidak mau kehilangan dirimu. Hanya kaulah satu-satunya
wanita yang ada di hati kanda. Percayalah!”
“Iya saya tahu, kanda. Saya tahu hal itu, kanda
hanya cintakan saya. Saya hanya meminta kepercayaan dari Kanda bahwa saya bisa
jaga diri, percayalah!”
“Apakah Dinda menyadari bagaimana Kanda menanti
kapan kita akan bersatu. Sebenarnya sejak saya sudah beranjak dewasa keluarga
kita berencana menikahkan kita berdua
namun saya disuruh menunggu hingga Dinda cukup umur. Saya terus menunggu dan
memohon kepada gusti Allah dan Alhamdulillah permintaan saya dikabulkan. Jauh
dilubuk hati saya, Kanda sangat mencintai dinda. Saya mohon tetaplah setia
kepada saya hingga maut memisahkan kita.”
“Apa daya saya menjadi istri Kanda, saya hanya akan
mengikuti segala aturan. Pun jika itu tentang perasaan. Saya berjanji akan
berusaha mencintai kanda,” jelasku. Benarkah perasaan cinta sudah menjalar ke
lubuk hatiku. Aku sama sekali belum menemukan rasa itu. Setiap kali berada di
sisinya bukan kenyamanan yang kudapatkan melainkan ketakutan. Aku selalu
menangis di dalam kamar setelah memuaskan hawa nafsunya.
“Asal kamu tetap setia di sisi saya. Itu sudah
menjadi anugerah terindah bagi saya.”
Cukup tersentuh mendengar
pernyataan suamiku. Ukuran kesetiaan bagi laki-laki bangsawan sangat tipis.
Banyak laki-laki bangsawan memiliki selir hingga belasan orang, tujuannya hanya
untuk menanamkan benih-benih anak bangsawan. Para wanita pun akan bangga
menjadi selir sebab mereka berpikir menyerahkan kehormatan di depan laki-laki
bangsawan adalah sebuah kehormatan. Kehormatan itu akan dibuktikan dengan
lahirnya anak mereka menjadi anak berdarah biru.
Sekitar
sebulan suamiku tidak pernah meminta dimanjakan di atas kasur. Aku tak tahu
mengapa ia berkelakuan demikian. Suamiku akan pulang jika sudah malam saja dan
dengan kondisi tidak karuan. Bau minuman keras begitu menyengat di mulutnya.
Aku ingin mencari tahu penyebabnya, tapi keinginan itu aku segera telan
mengingat gerak langkahku sangat dibatasi saat ini.
Aku
hidup bersama dengan suamiku sudah menginjak 1 tahun 2 bulan dan ibu mertuaku
masih menagih-nagih seorang cucu. Aku tak mengerti maksudnya. Aku menjalani
peraturan di rumah ini dengan seikhlasnya. Mengapa harus aku yang disalahkan
atas kejadian ini. Jika memang Tuhan belum memberikan momongan, bisakah mereka
menunggu sejenak. Atau paling tidak mereka bisa menungguku hingga aku sudah
siap memiliki seorang anak.
Malam
itu aku dan Raden Arya bertengkar dengan sengit. Ketika aku mendengar kabar tak
sedap tentang Raden Arya. Aku melihat dengan nyata bagaimana seorang wanita
jangkung itu dengan santainya memasuki rumahku. Memiliki paras cantik campuran
Indonesia Belanda. Melihat Noni Belanda itu aku segera keluar dari ruanganku.
Saat melihatku, ia kemudian melepas topi besar dari kepalanya.
“Maaf dik, sekarang Raden Arya sudah resmi menjadi suami
saya. Jangan berharap Raden Arya akan setiap malam ke kamarmu. Sekarang Raden
Arya juga berhak menjadi milikku. Jadi Raden Arya akan membagi ranjang secara
adil. Sudah ya, aku hanya mengingatkan. Jangan sampai kamu protes jika Raden
Arya tak kunjung-kunjung pulang.”
Aku tak bisa mencerna perkataan
wanita itu. Bagaimana bisa ia berbicara selantang itu. Bukankah ia yang
menggoda suamiku hingga terjerumus ke jeratannya. Aku tak bisa menerima perlakuan
Raden Arya seperti ini. Aku akan meminta penjelasan kepadanya.
Pernyataan dari Noni Belanda itulah
yang membuat kami bertengkar. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Suamiku
dengan tenangnya mengajak bercinta denganku.
“Apa maksudmu, kanda. Tega-teganya kamu menduakanku.
Apakah tidak cukup satu wanita di hati kanda,” ucapku dengan luapan emosi.
“Jadi dinda sudah tahu kejadiannya? Jadi begini…”
Belum selesai Arya menyambung kalimatnya. Aku segera
membalasnya dengan berkata, “Hanya
itu tanggapan kanda? Dengan entengnya kanda berkata seperti itu? Apa kanda
tidak mengerti perasaan saya. Saya merasa menjadi wanita hina.” Aku tak bisa
menahan emosiku.
“Bukan seperti itu maksudku dinda….”
“Kalau tahu begini dari dulu aku ndak akan pernah percaya dengan
perkataan kanda. Perkataan busuk yang berjanji akan berada di sampingku selamanya.”
“Apa dinda sadar. Saya ini putra bangsawan. Saya
berhak memiliki istri berapa pun. Memiliki istri banyak itu berarti saya telah
membantu para perempuan untuk mengangkat derajatnya karena mampu melahirkan
keturunan bangsawan. Apakah itu salah?”
“Lelaki boleh seratus kali menyeleweng. Perempuan
sekali pun jangan. Itu prinsip keluarga bangsawan yang terus kanda banggakan,
bukan? Apakah kanda tidak memikirkan perasaan saya? Apakah kanda tidak pernah
berpikir bagaimana perasaan saya diduakan bahkan ditigakan?”
“Kalau dinda menanyakan perasaan. Apa dinda ndak memikirkan saya. Saya sudah
menikahi dinda lebih dari setahun tapi mana buah hati yang dinda hasilkan? Lalu
siapakah yang akan meneruskan keturunan bangsawan kita?”
“Kalau kanda merasa saya sudah tidak bisa diharapkan
lagi. Lebih baik kanda ceraikan saya sekarang juga,” bentakku tambah emosi. Aku
sudah tidak bisa membendung air mataku. Kenapa perempuan begitu lemah. Bahkan
di saat seperti ini Raden Arya sama sekali tidak merasa sedih. Dia tetap tegar.
Dirinya sebagai seorang lelaki gagah perkasa tetap terpancar.
“Keluarga kita tidak ada yang menganut sistem
bercerai. Lebih baik saya mati dari pada menceraikanmu?”
“Jadi kanda mempertahankan saya di sini karena
peraturan. Bukan karena kanda sayangkan saya?”
“Sudah.. sudah saya ndak
mau bertengkar dengan dinda lagi. Lebih baik saya pergi saja.”
Aku hanya menghela nafas panjang
saat melihat kepergiannya. Aku memecahkan tangisku dalam diam. Aku mungkin
tidak mencintainya atau tidak akan pernah mencintainya. Namun, jika aku
diduakan. Aku seperti wanita hina. Kalau aku boleh memilih, lebih baik aku
tidak terlahir sebagai gadis berdarah biru. Dengan begitu aku bebas memilih
jalan hidup sesuai dengan pilihanku.
Semua semakin terasa berat. Saat aku
pulang dari diskusi dengan perempuan di sekitar dusun, kerap kali aku mendapati
seorang perempuan lagi-lagi mengaku sebagai istri Raden Arya. Perempuan itu
bahkan menunjukkan perutnya yang buncit. Calon buah hati yang dia buat bersama
suamiku. Dengan bangganya perempuan itu menceritakan bagaimana ia merasa
terhormat karena telah dikawini oleh suamiku.
Apa yang dipikirkan oleh perempuan
saat ini. Kenapa hidup mereka begitu sempit. Begitu agungkah derajat manusia
jika mereka bisa melahirkan generasi bangsawan. Kekecewan-kekecewaan itu aku
tuangkan ke dalam bentuk tulisan. Secara diam-diam dan hati-hati aku
mendiskusikan tulisanku itu kepada perempuan lain yang sadar dengan penindasan
yang dialami kaum perempuan saat ini.
Tidak ada keharmonisan dalam rumah
tanggaku. Mungkin hanya seperti itu yang terbaik. Aku bisa bebas memilih jalan
hidupku. Jalan hidup yang berusaha untuk menegakkan keadilan. Menyamaratakan
derajat perempuan dan laki-laki. Mendorong perempuan-perempuan yang tertindas
agar mereka bangkit dan tidak terkukung oleh sistem yang selama ini dianut oleh
para perempuan pada umumnya. Begitu pula kehidupan suamiku. Ia hanya pulang dua
kali dalam seminggu. Tidur bersamaku namun tidak pernah lagi menagih untuk
menggauliku.
Aku merasa senang dengan banyaknya
dukungan dari para perempuan mengenai perlawan terhadap penindasan yang dialami
oleh mereka. Namun aku sering kali mendapat hambatan dalam menyuarakan
pendapatku di luar. Belakangan ini banyak sekali bermunculan PKI. Salah sedikit
dianggap PKI, setelah divonis sebagai PKI, maka mereka akan dibuang ke
pembuangan dan bahkan langsung dibunuh.
Aku mungkin menyerahkan seluruh
hidupku demi memperjuangkan hak-hak perempuan. Namun aku tak sebodoh itu untuk
menyerahkan nyawaku hanya demi hal tersebut. Untuk itu secara diam-diam aku
melakukannya. Sampai tiba saatnya setelah banyanknya perempuan yang senang
diajak diskusi dan mulai berpikir. Mereka sepakat untuk menyuarakan hak-haknya
di depan umum.
Tepat pada tanggal 16 April 1961
kami berorasi di depan puluhan orang. Kami ingin menuntut hak-hak kami sebagai
perempuan. Saat itu aku berbicara di atas mimbar. Menuntut agar perempuan
dinaikkan dearajatnya, perempuan harus memiliki pendidikan yang tinggi seperti
halnya para laki-laki. Semoga dengan begitu akan ditegakkan keadilan di pribumi
ini.
Hal yang paling kutakutkan terjadi.
Di mana puluhan aparat datang menembak satu persatu rekan-rekanku. Mereka
segera melahap tulisan-tulisan yang kami buat dengan si jago merah. Aku tak
tahu harus berbuat apa. Sepertinya nyawaku sudah di ujung. Aku menyembunyikan
tubuhku di balik tembok. Aku bisa merasakan ada orang yang menarik tubuhku
dengan cepat dan membawaku keluar. Raden Arya lah yang menyelamatkanku. Aku
bisa merasakan sentuhan tubuhnya saat mendekapku. Ia
melepas dekapannya saat kami berhasil melarikan diri.
“Dinda tenanglah.. aku akan selalu di sampingmu,”
ujarnya.
Aku hanya diam antara gugup dan
ketakutan. Kami berjalan menyusuri sawah. Hal ini terulang kembali, di mana aku
harus berjalan dengan jarit ketat yang melilit kakiku. Karena merasa ketakutan
aku berjalan dengan cepat dan. Sreeeettttttttt, hampir saja aku terjatuh. Raden
Arya segera menyambar tubuhku. Aku bisa merasakan perasaan itu, perasaan
bahagia yang datang secara tiba-tiba. Aku baru merasakan rasa kenyamanan saat
suamiku mendekapku.
Raden Arya menuntunku hingga menuju sepeda motornya. Baru kali aku berani menatap
wajahnya secara langsung. Aku bisa melihat tatapan matanya yang berbinar jenih.
Wajahnya teduh
dan sabar. Motor berjalan pelan, tak ada pembicaraan di antara kami berdua. Aku
terkejut ketika dia menanyakan sesuatu kepadaku. Pertanyaan itu membuyarkan
segala lamunanku.
“Dinda sudah makan?”
“Maaf kanda saya masih kenyang”
“Kebetulan
di daerah sini ada warung makan. Saya sudah rindu ingin makan pelecing. Sudah
lama kanda tidak memakan pelecing buatan Dinda,”
Pelecing adalah makanan khas sasak
yang terbuat dari kankung dan jambah yang sudah direbus dan dibumbui dengan
sambal tomat mentah.
Tanpa disadari, motor suamiku telah
berhenti di warung
makan yang cukup sederhana. Sungguh luar biasa jika seorang bangsawan rela
makan di warung yang amat sederhana itu. Kembali
aku menundukkan kepalaku. Seolah leherku menjadi lemah sehingga tak mampu
mengangkat wajahku secara langsung di hadapannya. Saat itu, aku bahkan
merasakan tubuhku gemetar, jantungku meletup-letup serasa ingin keluar.
Ketika ia melihatku, sekilas aku
dapat melihat sinar matanya yang bening. Mungkinkah sorot mata mencerminkan
segala sesuatu di dalam hatinya? Aku ingin melepaskan sepuas-puasnya udara
dalam dadaku yang setelah sekian lama kutahan karena siksaan gelisahku sendiri.
Malam itu kami merasakan kedamaian.
Aneh, aku merasakan kasih yang begitu besar meluap dari dalam diriku. Aku
merasakan sebuah aliran kasih kami berdua mengalir deras tak terbendung. Raden
Arya menangkap rasa kasih itu, dan malam itu kami bercinta. Aku mendapat rasa
kasih sayang yang amat mendalam sampai aku menitikkan air mata. Mungkinkah ini
kemesraan terakhir yang akan aku rasakan bersama dengannya?
Garis hidup seseorang ternyata
sudah ditentukan oleh Gusti Allah sejak sebelum anak manusia dilahirkan. Tepat
pada tanggal 26
April 1961 aku diasingkan ke Bangka
dengan alasan diduga sebagai PKI.
Perasaan
menyanyaat hati saat aku melihat suamiku melambaikan tangan ketika aku telah
duduk di kapal. Mukaku memanas, air mata sudah tidak bisa kubendung lagi. Aku
melihat sudut mata suamiku, setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Belum
pernah aku melihat bangsawan laki-laki yang meneteskan air mata, bahkan Ayahku
sendiri. Aku baru menyadari betapa cintanya suamiku kepadaku.
THE END