Selasa, 23 Oktober 2012

GADIS BERDARAH BIRU



Lombok pada masa 1961
Aku dilahirkan pada tanggal 21 Agustus 1944 dengan nama Baiq Sri Murti. Aku terlahir dengan predikat sebagai keluarga bangsawan sehingga ada kata ‘Baiq’ di awal namaku. Aku dibesarkan di dusun kecil bernama Bremis di pelosok kabupaten Lombok Tengah. Umurku sekarang sudah beranjak ke 16 tahun. Aku baru saja menyelesaikan sekolahku di Sekolah Rakyat dan ingin melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Pada saat itu aku sangat teringat ketika bapak sedang duduk di bangku aula rumahku. Ibuku dan aku disuruh untuk segera menghadap bapak. Kami duduk dengan posisi tegak menghadap ke arah bapak yang duduk di atas kursi terlapisi emas. Budaya kami memang seperti demikian. Para lelaki apalagi yang memiliki status bangsawan sangat dihormati di daerah kami. Aku tak habis pikir saat orang-orang begitu menghargai keluarga kami.
Tidak jarang aku melihat saat bapak diiringi oleh pengawalnya, banyak dari warga yang menunduk dengan hormat kepada beliau. Saat acara syukuran. Hanya golongan bangsawanlah yang difasilitasi dengan piring yang terbuat dari perak dan terhimbun oleh banyak makanan hingga menggunung. Sedangkan bagi rakyat biasa hanya disediakan wadah besar yang dimakan oleh 4-5 orang.
“Kamu itu sudah memasuki usia yang sudah matang. Mamik memanggilmu di sini untuk memberitahumu bahwa sebentar lagi kamu akan dikawinkan oleh seorang laki-laki yang sederajat dengan keluarga kita,” ujar Ayahku.
Aku  tak bisa menggambarkan bagaimana rasa terkejutnya saat mendengar kabar tersebut. Dunia laki-laki masih jauh dari angan-anganku. Sekalipun usiaku sudah akan menginjak enam belas tahun, tapi aku ingin melanjutkan sekolahku.
“Saya ndak mau menikah. Saya masih terlalu muda Mamik. Saya mau melanjutkan sekolah.”
“Untuk apa kamu sekolah. kamu itu adalah seorang wanita yang kerjaannya mengurus suami dan anak-anaknya. Wanita tidak pantas disekolahkan tinggi-tinggi.”
“Tidak MamikMamik keliru menanggapi hal itu. Setiap orang berhak mencari ilmu setinggi-tingginya,” aku membantah pernyataan bapak.
“Justru karena ilmu itulah yang membuat kamu berani membantah perintah Mamik. Kamu mau sekolah agar kamu menjadi orang kafir seperti di negara penjajah. Pokoknya Mamik tidak mau tahu. 2 minggu lagi kamu akan menikah. Sudah cukup! Sekarang kembali ke kamar.”
Tidak ada yang bisa membantah perintah ayah, bahkan ibuku sekalipun. Aku melihat rasa keibaan ibuku namun beliau tidak memiliki daya apa-apa untuk membantuku
Setelah mengetahui calon suamiku adalah Lalu Arya Dinata, aku bisa membayangkan sosoknya seperti apa dia. Sosok yang banyak dikagumi di dusunku. Setiap orang yang melihatnya menyatakan bahwa dia pria idaman setiap wanita. Terlebih karena predikat bangsawan yang masih melekat di dirinya.
Sebagai gadis kencur sepertiku, aku tidak tahu menahu apa yang harus aku lakukan saat menikah. Aku hanya mengikuti perintah Ayahku untuk keluar rumah sehabis maghrib. Aku berdiri di luar dengan jarak yang cukup jauh dari rumah. Dengan berbekal beberapa lembar pakaian di dalam tas kain yang kubawa. Saat itu calon suamiku datang mendekatiku. Raden Arya, begitulah nama panggilan untuk calon suamiku. Kini ia menawarkan diri untuk mengajakku ke rumahnya. Aku tak kuasa menolaknya karena itu perintah dari Ayah. Aku menggangguk pelan kepadanya.
Kami segera melangkah menuju ke rumahnya dengan berjalan kaki. Adat yang dianut oleh orang sasak ini wajib dilakukan sebelum menikah. Laki-laki yang ingin menikah dengan seorang wanita harus mengambil resiko melarikan diri calon istrinya. Atau istilahnya mencuri (memaling) calon istrinya. Hal ini dilakukan untuk mengukur seberapa jantan dia di hadapan para wanita. Sifat jantan merupakan simbolisasi sosok suami yang bertanggungjawab dalam segala kondisi terhadap keberlangsungan keluarganya. Sebagaimana telah diatur dalam ketentuan adat sasak, seorang suami harus bisa menghadapi bahaya dibunuh apabila ditangkap oleh calon mempelai wanita.
Dengan jarit yang masih melilit di kakiku. Kami berjalan di kegelapan malam melewati pematangan sawah. Aku yang belum terbiasa berjalan pada malam hari di tengah sawah, mulai berjalan dengan agak terpincang-pincang. Aku berjalan amat pelan, takut jika tercebur ke sawah. Tiba-tiba hal yang paling kutakutkan terjadi. Sreetttt…!!! Aku terjatuh. Tangan Raden Arya segera meraih tubuhku. Tangannya kini tetap menahan pundakku. Aku merasa kaget dengan perlakuannya namun aku tak kuasa menolaknya.
Kini kami sudah tidak berada di sawah namun tangannya masih memegang pundakku. Aku melihat ke arah wajahnya yang tenang. Aku sampai bertanya-tanya. Bisakah aku sehidup semati dengan lelaki di dekatku ini. Aku masih terlalu belia untuk memikirkan rumah tangga. Aku masih ingin sekolah, ingin melanjutkan cita-citaku untuk menjadi wanita yang setidaknya tidak bekerja di rumah.
Selama perjalanan hanya keheninganlah yang menemani kami hingga menuju rumah persembunyian. Rumah persembunyian berada di rumah kerabat Raden Arya. Tujuannya agar keluargaku tidak mencurigai atau tidak tahu tempatku berada saat ini. Sejenak aku melihat kediaman rumahnya dari luar. Nyala lampu teplok dari dalam aula tampak bergoyang. Bayangan sosok orang ramai terlihat sedikit. Di sana kami disambut dengan amat meriah. Beberapa hidangan makanan yang sudah tersaji.
Berita pernikahan kami akan disebarkan oleh calon suamiku beserta kepala dusun kepada keluargaku. Setelah acara makan-makan di rumahku, dimulailah acara nyelabar yang memberitakan dengan lisan bahwa aku telah diculik oleh Raden Arya. Begitulah adat yang harus kami jalani pra nikah. Kedua keluarga mempelai kemudian akan membahas mengenai mas kawin atau kami menyebutnya dengan pisuke. Setelah sepakat dengan harga mas kawin, maka barulah membicarakan mengenai kapan hari yang tepat untuk dinikahkan.
            Kami pun dinikahkan. Bukankah hari pernikahan adalah hari yang membahagiakan? Tapi bagaimana dengan perasaanku. Aku hanya terlalu pasrah untuk menerima segala peraturan yang ditanamkan oleh keluargaku. Jika aku menolak peraturan ini. Tidak segan-segan bapak akan mengusirku dari rumah dan bahkan aku sudah tidak dianggap sebagai anak kandungnya sendiri. Pernah aku berpikir untuk kabur, meninggalkan segala peraturan ini. Namun, sekali lagi aku diajarkan untuk patuh dalam menjalani hidup sebagai gadis berdarah biru.
            Ini adalah malam pertama. Pada malam ini aku justru menanti kedatangannya bukan karena cinta melainkan sebuah aturan yang harus dijalankan. Dengan selimut jarit tipis aku menelungkupkan seluruh badanku. Aku sesekali melihat jam dinding kamarku. Sekarang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Aku mendengar langkah kaki. Aku mengenal pemilik suara langkah kaki itu. Kini langkahnya mendekati ke arah kamarku. Aku merasakan ia kini mulai merebahkan badannya di atas kasur. Ia mendekat dengan sangat hati-hati. Tangan kekarnya perlahan-lahan mengusap pundakku. Kemudian beralih melingkarkan tangannya ke perutku. Ia kini mengusap lembut perutku seolah mengeloni seorang anak kecil. Aku sama sekali tidak merubah posisi tidurku. Aku tetap membelakanginya. Aku tak memiliki keberanian menatap wajahnya. Aku merasakan hembusan nafasnya yang menerpa belakang telinga kiriku. Tangannya kini satu persatu membuka kain penutup tubuhku bagian atas.
            Kupejamkan mata ini seolah untuk mengurangi rasa takutku. Aku bisa merasakan kenyerian saat bagaimana suatu benda terus menerus menghujam organ vitalku. Begitulah, hampir setiap malam aku meladeni nafsu suamiku. Sekali lagi bukan karena cinta melainkan karena tuntutan menjadi seorang istri dari suami berdarah biru.
            Seminggu setelah acara pernikahanku. Masih akan ada rangkaian acara yang harus kami jalani. Sekarang aku sedang menjalani prosesi serah terima aji krame. Acara ini dilaksanakan sebelum acara iring-iringan pengantin. Sekelompok utusan dari pengantin pria akan datang terlebih dahulu ke rumahku untuk memberitakan iring-iringan (nyongkolan). Utusan itu yang nantinya akan saling berhadapan untuk berbalaskan pantun.
            Setelah proses aji krame saatnya melakukan prosesi nyongkolan. Nyongklan di sini berarti dari keluarga Raden Arya beserta utusannya akan menggunakan pakaian adat sasak. Jika wanita menggunakan pakaian adat lambung, maka laki-laki harus menggunakan godek nongkek. Aku, suami, keluarga suami dan 50 pengiringnya siap menuju rumahku. Tak lupa diiringi oleh musik sasak yaitu gendang belek. Pada hari itulah kami melakukan pesta besar-besaran. Setelah iring-iringan itu tiba di rumahku dengan berjalan kaki. Kami kemudian bertemu dengan keluargaku beserta iring-iringannya yang siap menyambut kedatangan kami.
            Sungguh rasa rindu muncul dibenakku saat melihat keadaan orang tuaku dan rumahku. Sepertinya aku enggan untuk meninggalkan tempat ini. Tak lama setelah kami sungkeman dari pihak keluarga Raden Arya mempersilahkanku untuk meninggalkan rumah. Aku tak kuasa menahan tangisku. Aku melihat Ibuku yang terlihat seperti berusaha menahan tangisnya.
            Acara terakhir adalah ritual bales nae yang artinya balas kaki yaitu iring-iringan suamiku mengunjungi keluargaku untuk mempererat hubungan silaturahmi. Dikatakan bales nae karena membalas jejak kaki mereka setelah melakukan prosesi nyongkolan.
            Rumah tanggaku kujalani dengan hal biasa saja. Aku harus bangun pagi-pagi untuk membantu mertuaku membersihkan rumah dan menyiapkan makanan. Malam harinya aku harus menuruti permintaan suamiku. Hal itu justru yang aku benci. Kenapa seorang wanita selalu terjerat oleh pekerjaan seperti itu. Mungkin hidupku sekarang ini berubah namun tidak dengan pemikiranku. Aku wanita yang ingin bertolak belakang dengan aturan keluarga, ingin menyongsong karirku. Aku bahkan tidak meminta bergelinang emas kepada suamiku, yang kuinginkan adalah ruangan khusus tempat aku belajar.
            Suamiku tidak menolak saat aku mengajukan permintaan itu. Ia paham dengan sifat keras kepalaku. Rasa sedikit lega saat apa yang kuinginkan diwujudkan oleh suamiku. Kini, aku dengan bebas bisa belajar di ruanganku. Di ruangan itu sudah terisi dengan buku-buku lapuk mengenai pengetahuan umum. Kesenanganku adalah membaca. Buku apa saja pasti kubaca. Dengan membaca aku bisa mengenali dunia lebih luas lagi.
            Dari bacaan-bacaan itu aku banyak menulis tentang ketidakadilan perlakuan wanita di tempatku. Apa yang aku tulis tidak kusimpan dengan sendirinya. Aku akan berbagi dengan para wanita lain yang tentunya secara diam-diam. Kesenanganku dalam menegakkan keadilan para perempuan bisa tercium oleh suamiku.
“Dinda, usahakan kamu jangan terlalu menjadi wanita pemberontak,” ujar suamiku di suatu malam.
“memangnya ada apa dengan saya, kanda,” jawabku. Tidak mengerti ke mana arah pertanyaannya.
“Kanda tahu bagaimana sepak terjang dinda selama ini. Kamu tidak suka kan jika wanita tidak diberlakukan sama dengan kaum laki-laki,” jelasnya.
“Wajar jika saya bertolak belakang dengan perlakuan wanita saat ini. Saya rasa dunia wanita sangat gelap.”
“Justru karena sikap itulah yang akan membahayakan dirimu, dinda. Raden tidak mau kehilangan dirimu. Hanya kaulah satu-satunya wanita yang ada di hati kanda. Percayalah!”
“Iya saya tahu, kanda. Saya tahu hal itu, kanda hanya cintakan saya. Saya hanya meminta kepercayaan dari Kanda bahwa saya bisa jaga diri, percayalah!”
“Apakah Dinda menyadari bagaimana Kanda menanti kapan kita akan bersatu. Sebenarnya sejak saya sudah beranjak dewasa keluarga kita berencana  menikahkan kita berdua namun saya disuruh menunggu hingga Dinda cukup umur. Saya terus menunggu dan memohon kepada gusti Allah dan Alhamdulillah permintaan saya dikabulkan. Jauh dilubuk hati saya, Kanda sangat mencintai dinda. Saya mohon tetaplah setia kepada saya hingga maut memisahkan kita.”
“Apa daya saya menjadi istri Kanda, saya hanya akan mengikuti segala aturan. Pun jika itu tentang perasaan. Saya berjanji akan berusaha mencintai kanda,” jelasku. Benarkah perasaan cinta sudah menjalar ke lubuk hatiku. Aku sama sekali belum menemukan rasa itu. Setiap kali berada di sisinya bukan kenyamanan yang kudapatkan melainkan ketakutan. Aku selalu menangis di dalam kamar setelah memuaskan hawa nafsunya.
“Asal kamu tetap setia di sisi saya. Itu sudah menjadi anugerah terindah bagi saya.”
Cukup tersentuh mendengar pernyataan suamiku. Ukuran kesetiaan bagi laki-laki bangsawan sangat tipis. Banyak laki-laki bangsawan memiliki selir hingga belasan orang, tujuannya hanya untuk menanamkan benih-benih anak bangsawan. Para wanita pun akan bangga menjadi selir sebab mereka berpikir menyerahkan kehormatan di depan laki-laki bangsawan adalah sebuah kehormatan. Kehormatan itu akan dibuktikan dengan lahirnya anak mereka menjadi anak berdarah biru.
            Sekitar sebulan suamiku tidak pernah meminta dimanjakan di atas kasur. Aku tak tahu mengapa ia berkelakuan demikian. Suamiku akan pulang jika sudah malam saja dan dengan kondisi tidak karuan. Bau minuman keras begitu menyengat di mulutnya. Aku ingin mencari tahu penyebabnya, tapi keinginan itu aku segera telan mengingat gerak langkahku sangat dibatasi saat ini.
            Aku hidup bersama dengan suamiku sudah menginjak 1 tahun 2 bulan dan ibu mertuaku masih menagih-nagih seorang cucu. Aku tak mengerti maksudnya. Aku menjalani peraturan di rumah ini dengan seikhlasnya. Mengapa harus aku yang disalahkan atas kejadian ini. Jika memang Tuhan belum memberikan momongan, bisakah mereka menunggu sejenak. Atau paling tidak mereka bisa menungguku hingga aku sudah siap memiliki seorang anak.
            Malam itu aku dan Raden Arya bertengkar dengan sengit. Ketika aku mendengar kabar tak sedap tentang Raden Arya. Aku melihat dengan nyata bagaimana seorang wanita jangkung itu dengan santainya memasuki rumahku. Memiliki paras cantik campuran Indonesia Belanda. Melihat Noni Belanda itu aku segera keluar dari ruanganku. Saat melihatku, ia kemudian melepas topi besar dari kepalanya.
“Maaf dik, sekarang Raden Arya sudah resmi menjadi suami saya. Jangan berharap Raden Arya akan setiap malam ke kamarmu. Sekarang Raden Arya juga berhak menjadi milikku. Jadi Raden Arya akan membagi ranjang secara adil. Sudah ya, aku hanya mengingatkan. Jangan sampai kamu protes jika Raden Arya tak kunjung-kunjung pulang.”
Aku tak bisa mencerna perkataan wanita itu. Bagaimana bisa ia berbicara selantang itu. Bukankah ia yang menggoda suamiku hingga terjerumus ke jeratannya. Aku tak bisa menerima perlakuan Raden Arya seperti ini. Aku akan meminta penjelasan kepadanya.
Pernyataan dari Noni Belanda itulah yang membuat kami bertengkar. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Suamiku dengan tenangnya mengajak bercinta denganku.
“Apa maksudmu, kanda. Tega-teganya kamu menduakanku. Apakah tidak cukup satu wanita di hati kanda,” ucapku dengan luapan emosi.
“Jadi dinda sudah tahu kejadiannya? Jadi begini…”
Belum selesai Arya menyambung kalimatnya. Aku segera membalasnya dengan berkata, “Hanya itu tanggapan kanda? Dengan entengnya kanda berkata seperti itu? Apa kanda tidak mengerti perasaan saya. Saya merasa menjadi wanita hina.” Aku tak bisa menahan emosiku.
“Bukan seperti itu maksudku dinda….”
“Kalau tahu begini dari dulu aku ndak akan pernah percaya dengan perkataan kanda. Perkataan busuk yang berjanji akan berada di sampingku selamanya.”
“Apa dinda sadar. Saya ini putra bangsawan. Saya berhak memiliki istri berapa pun. Memiliki istri banyak itu berarti saya telah membantu para perempuan untuk mengangkat derajatnya karena mampu melahirkan keturunan bangsawan. Apakah itu salah?”
“Lelaki boleh seratus kali menyeleweng. Perempuan sekali pun jangan. Itu prinsip keluarga bangsawan yang terus kanda banggakan, bukan? Apakah kanda tidak memikirkan perasaan saya? Apakah kanda tidak pernah berpikir bagaimana perasaan saya diduakan bahkan ditigakan?”
“Kalau dinda menanyakan perasaan. Apa dinda ndak memikirkan saya. Saya sudah menikahi dinda lebih dari setahun tapi mana buah hati yang dinda hasilkan? Lalu siapakah yang akan meneruskan keturunan bangsawan kita?”
“Kalau kanda merasa saya sudah tidak bisa diharapkan lagi. Lebih baik kanda ceraikan saya sekarang juga,” bentakku tambah emosi. Aku sudah tidak bisa membendung air mataku. Kenapa perempuan begitu lemah. Bahkan di saat seperti ini Raden Arya sama sekali tidak merasa sedih. Dia tetap tegar. Dirinya sebagai seorang lelaki gagah perkasa tetap terpancar.
“Keluarga kita tidak ada yang menganut sistem bercerai. Lebih baik saya mati dari pada menceraikanmu?”
“Jadi kanda mempertahankan saya di sini karena peraturan. Bukan karena kanda sayangkan saya?”
“Sudah.. sudah saya ndak mau bertengkar dengan dinda lagi. Lebih baik saya pergi saja.”
Aku hanya menghela nafas panjang saat melihat kepergiannya. Aku memecahkan tangisku dalam diam. Aku mungkin tidak mencintainya atau tidak akan pernah mencintainya. Namun, jika aku diduakan. Aku seperti wanita hina. Kalau aku boleh memilih, lebih baik aku tidak terlahir sebagai gadis berdarah biru. Dengan begitu aku bebas memilih jalan hidup sesuai dengan pilihanku.
Semua semakin terasa berat. Saat aku pulang dari diskusi dengan perempuan di sekitar dusun, kerap kali aku mendapati seorang perempuan lagi-lagi mengaku sebagai istri Raden Arya. Perempuan itu bahkan menunjukkan perutnya yang buncit. Calon buah hati yang dia buat bersama suamiku. Dengan bangganya perempuan itu menceritakan bagaimana ia merasa terhormat karena telah dikawini oleh suamiku.
Apa yang dipikirkan oleh perempuan saat ini. Kenapa hidup mereka begitu sempit. Begitu agungkah derajat manusia jika mereka bisa melahirkan generasi bangsawan. Kekecewan-kekecewaan itu aku tuangkan ke dalam bentuk tulisan. Secara diam-diam dan hati-hati aku mendiskusikan tulisanku itu kepada perempuan lain yang sadar dengan penindasan yang dialami kaum perempuan saat ini.
Tidak ada keharmonisan dalam rumah tanggaku. Mungkin hanya seperti itu yang terbaik. Aku bisa bebas memilih jalan hidupku. Jalan hidup yang berusaha untuk menegakkan keadilan. Menyamaratakan derajat perempuan dan laki-laki. Mendorong perempuan-perempuan yang tertindas agar mereka bangkit dan tidak terkukung oleh sistem yang selama ini dianut oleh para perempuan pada umumnya. Begitu pula kehidupan suamiku. Ia hanya pulang dua kali dalam seminggu. Tidur bersamaku namun tidak pernah lagi menagih untuk menggauliku.
Aku merasa senang dengan banyaknya dukungan dari para perempuan mengenai perlawan terhadap penindasan yang dialami oleh mereka. Namun aku sering kali mendapat hambatan dalam menyuarakan pendapatku di luar. Belakangan ini banyak sekali bermunculan PKI. Salah sedikit dianggap PKI, setelah divonis sebagai PKI, maka mereka akan dibuang ke pembuangan dan bahkan langsung dibunuh.
Aku mungkin menyerahkan seluruh hidupku demi memperjuangkan hak-hak perempuan. Namun aku tak sebodoh itu untuk menyerahkan nyawaku hanya demi hal tersebut. Untuk itu secara diam-diam aku melakukannya. Sampai tiba saatnya setelah banyanknya perempuan yang senang diajak diskusi dan mulai berpikir. Mereka sepakat untuk menyuarakan hak-haknya di depan umum.
Tepat pada tanggal 16 April 1961 kami berorasi di depan puluhan orang. Kami ingin menuntut hak-hak kami sebagai perempuan. Saat itu aku berbicara di atas mimbar. Menuntut agar perempuan dinaikkan dearajatnya, perempuan harus memiliki pendidikan yang tinggi seperti halnya para laki-laki. Semoga dengan begitu akan ditegakkan keadilan di pribumi ini.
Hal yang paling kutakutkan terjadi. Di mana puluhan aparat datang menembak satu persatu rekan-rekanku. Mereka segera melahap tulisan-tulisan yang kami buat dengan si jago merah. Aku tak tahu harus berbuat apa. Sepertinya nyawaku sudah di ujung. Aku menyembunyikan tubuhku di balik tembok. Aku bisa merasakan ada orang yang menarik tubuhku dengan cepat dan membawaku keluar. Raden Arya lah yang menyelamatkanku. Aku bisa merasakan sentuhan tubuhnya saat mendekapku. Ia melepas dekapannya saat kami berhasil melarikan diri.
“Dinda tenanglah.. aku akan selalu di sampingmu,” ujarnya.
Aku hanya diam antara gugup dan ketakutan. Kami berjalan menyusuri sawah. Hal ini terulang kembali, di mana aku harus berjalan dengan jarit ketat yang melilit kakiku. Karena merasa ketakutan aku berjalan dengan cepat dan. Sreeeettttttttt, hampir saja aku terjatuh. Raden Arya segera menyambar tubuhku. Aku bisa merasakan perasaan itu, perasaan bahagia yang datang secara tiba-tiba. Aku baru merasakan rasa kenyamanan saat suamiku mendekapku.
Raden Arya menuntunku hingga menuju sepeda motornya. Baru kali aku berani menatap wajahnya secara langsung. Aku bisa melihat tatapan matanya yang berbinar jenih. Wajahnya teduh dan sabar. Motor berjalan pelan, tak ada pembicaraan di antara kami berdua. Aku terkejut ketika dia menanyakan sesuatu kepadaku. Pertanyaan itu membuyarkan segala lamunanku.
“Dinda sudah makan?”
“Maaf kanda saya masih kenyang”
“Kebetulan di daerah sini ada warung makan. Saya sudah rindu ingin makan pelecing. Sudah lama kanda tidak memakan pelecing buatan Dinda,”
Pelecing adalah makanan khas sasak yang terbuat dari kankung dan jambah yang sudah direbus dan dibumbui dengan sambal tomat mentah.
Tanpa disadari, motor suamiku telah berhenti di warung makan yang cukup sederhana. Sungguh luar biasa jika seorang bangsawan rela makan di warung yang amat sederhana itu. Kembali aku menundukkan kepalaku. Seolah leherku menjadi lemah sehingga tak mampu mengangkat wajahku secara langsung di hadapannya. Saat itu, aku bahkan merasakan tubuhku gemetar, jantungku meletup-letup serasa ingin keluar.
Ketika ia melihatku, sekilas aku dapat melihat sinar matanya yang bening. Mungkinkah sorot mata mencerminkan segala sesuatu di dalam hatinya? Aku ingin melepaskan sepuas-puasnya udara dalam dadaku yang setelah sekian lama kutahan karena siksaan gelisahku sendiri.
Malam itu kami merasakan kedamaian. Aneh, aku merasakan kasih yang begitu besar meluap dari dalam diriku. Aku merasakan sebuah aliran kasih kami berdua mengalir deras tak terbendung. Raden Arya menangkap rasa kasih itu, dan malam itu kami bercinta. Aku mendapat rasa kasih sayang yang amat mendalam sampai aku menitikkan air mata. Mungkinkah ini kemesraan terakhir yang akan aku rasakan bersama dengannya?
Garis hidup seseorang ternyata sudah ditentukan oleh Gusti Allah sejak sebelum anak manusia dilahirkan. Tepat pada tanggal 26 April 1961 aku diasingkan ke Bangka dengan alasan diduga sebagai PKI.
Perasaan menyanyaat hati saat aku melihat suamiku melambaikan tangan ketika aku telah duduk di kapal. Mukaku memanas, air mata sudah tidak bisa kubendung lagi. Aku melihat sudut mata suamiku, setetes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Belum pernah aku melihat bangsawan laki-laki yang meneteskan air mata, bahkan Ayahku sendiri. Aku baru menyadari betapa cintanya suamiku kepadaku.

THE END