Senin, 07 Januari 2013

Nur Salsa & Rumantik Part 2 (The 1st Sequel of Nuansa's Family)



Sejak kejadian itu Rumantik telah memutuskan untuk hidup sendiri. Ia tak mungkin mengharapkan cinta dari sosok Nur Salsa. Ia tahu pasti komitmen Nur Salsa seperti apa dan komitmen itu tak mungkin dilanggar. Ia juga tak bisa menggantungkan hidup kepada lelaki lain.
Sudah 5 kali Desember Rumantik tidak pernah bertatap dengan kedua pria itu dan mungkin Ijan telah memutuskan dirinya berada di pangkuan orang lain. Entahlah… itu sudah berlalu namun hatinya kenapa terus-terusan mengingat Nur Salsa??
Segelas coffemix cukup menghibur Rumantik bermain dengan laptopnya. Meluangkan waktu berdiam diri berjam-jam untuk mengutak-atik keyboard adalah aktivitasnya setiap hari. Sudah 3 bulan ia menetap di Jakarta namun ia belum mendapat pekerjaan tetap. Ia akan mendapat uang hanya jika ia sudah menyelesaikan tender-nya sebagai penulis. 5 tahun cukup untuk membuat dirinya tambah matang dan bisa terus maju ke depan.
“Kamu Rumantik bukan?” ujar seseorang di belakang punggung Rumantik. Suara itu berhasil membuat Rumantik terkejut dan merasakan aliran dingin itu. Suara itu lagi… suara itu yang terus mengerubuni hari-hari Rumantik setiap kali ia akan meredupkan matanya. 5 tahun ia menyembunyikan dirinya dari bayangan lelaki itu, kini gagal hanya karena mendengar dengan suara nyata itu.
“Hey,” ujar Rumantik sembari membalikkan badan.
“Boleh aku duduk di sini?” tawar Nur Salsa
“Iya…”
“Ke mana saja kamu selama ini? sepertinya kamu sengaja menghilang?”
“Aku hanya tidak mau terbelenggu dengan masa lalu.”
“Aku mengerti perasaanmu, pasti hatimu sakit saat keputusan Ijan yang secara mendadak dan sepihak.”
“Bukan itu yang ku maksud, aku tidak mau terbelenggu oleh bayang-bayangmu. Aku lebih tersiksa melihat bayanganmu dibandingkan diputuskan oleh Ijan. Ku mohon kamu mengerti,” batin Rumantik.
Nur Salsa melambaikan tangannya untuk menyadarkan Rumantik dari lamunannya. Sepertinya Rumantik memiliki luka yang amat dalam jika membahas laki-laki itu.
“Aku hanya bercanda, sudahlah jangan bahas masa lalu,” sela Nur Salsa. “Sekarang kita bahas masa depan. Ngomong-ngomong kamu berbeda sekarang.” Nur Salsa memperhatikan penampilan Rumantik dari atas sampai bawah. Ia bahkan tidak melepas pandangannya dari wajah Rumantik.
“Bukannya wajahku tidak berubah. Aku tidak melakukan operasi plastik,” canda Rumantik.
“Kamu sekarang terlihat lebih anggun dan cantik, itu yang menjadi pembeda. Dulu kamu terlalu cuek dengan penampilan. Hanya memakai celana jeans yang dibeli waktu kamu SMP, memakai kaos oblong dan dilapisi oleh kardingan bolong, bukan?” Penjelasan Nur Salsa membuat Rumantik tersipu. Tak terbayang betapa culunnya Rumantik dulu.
“Diam-diam ternyata kamu memperhatikan penampilanku. Apakah kamu seorang psikopat?” Ucapan Rumantik berhasil membuat Nur Salsa tertawa. Tak hanya Rumantik yang berubah Nur Salsa juga seperti itu. Dia terlihat lebih tampan dari sebelumnya dan terlihat lebih matang. Wajahnya yang dulu berminyak dan dikelilingi jerawat tidak terlihat lagi. Sifatnya juga berbeda. Dulu dia amat kaku, tidak pernah berani untuk berbincang dengan perempuan lebih dari 1 jam. Dia seakan menghindar dari godaan perempuan yang terpuji. Sekarang dia amat berbeda, sebelumnya dia hanya menghabiskan 5 menit untuk tertawa setiap harinya sekarang ia akan menghabiskan berjam-jam waktunya untuk tertawa. Semua memang sudah berubah.
“Sepertinya kamu sudah lama di tempat ini. Apakah ini tempat tongkronganmu? Tapi kenapa harus nongkrong sendirian?” bahkan sekarang Nur Salsa lebih banyak memiliki perbendaharaan kata untuk memulai sebuah percakapan.
“Aku memang senang menyendiri untuk sekedar mencari inspirasi.”
“Inspirasi apa?”
“Menulis..”
“Kamu sekarang jadi penulis ya? Kamu sudah tidak menggambar lagi?”
“Menggambar itu jiwaku.”
“Coba aku lihat hasil gambarmu.”
Rumantik segera menyodorkan buku gambanya. Nur salsa segera membuka satu persatu hasil gambar Romantik. Tatapannya memperhatikan satu persatu makna gambar tersebut. Tangan Nur Salsa terhenti saat membuka lembaran pertengahan di mana gambar itu tidak asing lagi bagi dirinya.
“Bukankah gambar ini dari Novel Tiga Kali Desember?”
“Kamu pernah baca novel itu?” Tanya Rumantik dengan penuh antusias.
“Pernah, aku bahkan sampai tiga kali membaca novel itu.”
“Yakin, kenapa sampai sebanyak itu,” Rumantik tambah penasaran mendengar penjelasan Nur Salsa.
“Karena aku bisa merasakan apa yang dirasakan oleh penulis.” Bibir Rumantik bergetar. Dia tidak memiliki kekuatan lagi untuk hanya sekedar menggigit bibirnya. Kegugupannya membuatnya juga tak mampu untuk berkata.
“Sekarang apa aktivitasmu di Jakarta,” tanya Nur Salsa berusaha mencairkan suasana.
“Aktivitasku sekarang ini hanya seperti ini saja. Nongkrong seharian di kafe dan menulis.”
Mendengar pengakuan Rumantik, Nur Salsa menawarkan pekerjaan kepada Rumantik sebagai notaries di tempat ia bekerja. Kebetulan Koran Kompas sedang membutuhkan seorang notaris yang ramah dan bisa berbaur dengan para staf yang lain. Menurutnya Rumantik telah memenuhi kriteria tersebut terlebih ia tahu bagaimana kinerja Rumantik sewaktu menjadi anggota Nuansa.
“Yakin, kamu bisa memperkerjakan aku di tempatmu?”
“Asal saat kamu kerja, kamu harus memanggil aku bapak…”
*****
Takdir Tuhan siapa yang dapat memprediksinya. Manusia hanya bisa menyusun puzzle untuk mengetahui jalan hidup mereka. Kini Nur Salsa dan Rumantik ditakdirkan bersama lagi sebagai rekan kerja. Nur Salsa baru-baru ini diangkat sebagai pimred di Koran Kompas atas sikap kepemimpinannya yang mampu membimbing para karyawan yang lain, selain itu juga ia termasuk orang yang tegas. Tak dapat dipungkiri dia juga menang dalam hal penampilan. Dengan begitu Nur Salsa dengan mudah merekrut Rumantik sebagai notaris. Intensitas mereka bertemu juga semakin sering. Ada rasa senang yang terus membanjiri perasaan mereka saat bertemu, pun itu hanya sekedar saling tatap saat bertemu di jalan.
“Rumantik… tolong tulis respon kita terhadap kerja sama yang ditawarkan oleh pihak unilever. Poinnya sudah saya simpan di draft. Satu lagi tolong tulis hasil publik hearing kemarin supaya saya tahu hal apa yang perlu dibenahi,” pinta Nur Salsa panjang lebar.
“Baik pak,” jawab Rumantik. Ia segera membalikkan badan hendak keluar dari ruangan Nur Salsa untuk segera menyelesaikan tugasnya. Belum sempat ia memegang knop pintu, tangannya sudah terhenti mendengar panggilan dari Nur Salsa.
“Kalau ini permintaan khusus. Buatkan aku susu putih,” ujar Nur Salsa sambil mengangkat kedua alisnya dan memperlebar bibirnya.
“Baiklah, tuan resek,” jawab Rumantik menunjukkan gaya pasrahnya yaitu melebarkan peredaran giginya, melalui mengirikan gigi bawahnya dan menganankan gigi atasnya, seraya menggoyangkan lehernya. Begitu puasnya tawa Nur Salsa melihat aksi Rumantik.
“Jika kamu sudah menjadi partnerku, otomatis kamu sudah siap menjadi budakku,” ucap Nur Salsa penuh kepuasan.
Nur Salsa sepertinya memiliki kepribadian ganda. Saat sedang memimpin rapat ia bisa memerankan perannya sebagai tokoh pemimpin. Berani memberikan keputusan dan berani mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah ia buat. Sangat berbeda jika ia sedang berada di hadapan Rumantik. Dia akan berani berani bermanja-manja dengannya. Rumantik sudah mengetahui hal itu, bahkan sebelum rapat Rumantik menyempatkan dirinya membekali Nur Salsa dengan segelas susu putih. Rumantik bagaikan kakak perempuan, sahabat, dan partner kerja bagi Nur Salsa. Tak heran jika sewaktu-waktu ia mencuri-curi waktu untuk mengunjungi ruang kerja Rumantik.
“Mohon maaf ada yang bisa dibantu pak?” sapa Rumantik saat melihat Nur Salsa berada di depan meja kerjanya.
“Kamu tidak mempersilahkan aku duduk?”
“Silahkan pak, dengan senang hati. Apakah bapak perlu bantuan?”
“Jangan ngomong formal gitu dong. Aku merasa risih sekali jika kamu berkata seperti itu.”
“Bukankah ini aturan selama masih berada di atap kantor bukan?”
“Peraturan itu tidak berlaku jika kita hanya sedang berdua.”
“Begitu, baiklah… lalu ngapain kamu ke sini. Ini belum jadwal istiahat.”
“Atasan bisa kerja dan istirahat kapan saja,” senyum manis terukir dari bibir seksi Nur Salsa.
“Resek,” respon Rumantik. Ia mengubah posisi duduknya dengan menyenderkan kepalanya ke kursi.
“Tidak... aku ke sini aku hanya ingin berbincang-bincang saja.”
Begitulah yang dilakukan Nur Salsa setiap kali ia memiliki waktu luang. Sengaja menggoda Rumantik yang sedang bekerja keras melakukan pekerjaan yang diperintahkannya. Nur Salsa akan puas menggoda jika Rumantik sudah kesal dan menunjukkan ekpresi kekesalannya.
“Kamu mau ngapain lagi ke sini?”
“Begitu ya… sekarang sudah mulai tidak sopan dengan bosmu.”
“Nur Salsa resek, sudah keluar dari ruangan ini!”
“Jika aku tidak mau?” pancing Nur Salsa.
“Aku yang akan mengusirmu..”
“Coba saja.”
“Baiklah jika itu maumu..”
Dengan segenap Rumantik mengeluarkan gaya taekwondo-nya untuk mengusir Nur Salsa dari ruangannya. Nur Salsa yang masih memiliki sifat feminim dapat dikeluarkan dari ruangan dengan mudah. “Sial,” batinnya.
Kata orang banyak jalan menuju Roma. Istilah tersebut juga berlaku untuk Nur Salsa, ada banyak taktik dia untuk sekedar menganggu Rumantik dari pekerjaannya.
“Rumantik…”
“Hmmm,” respon Rumantik seadanya.
“Boleh berbincang?”
“Saya lagi banyak kerjaan, bisakah Anda keluar jika bukan perihal yang mendesak.”
“Cetus amat.” Sepertinya Rumantik sudah terpancing emosinya.
“Kalau kamu bukan bos-ku, aku sudah pampang di depan pintu kalau yang bernama Nur Salsa dilarang masuk di ruangan ini,” ujar Rumantik dengan volume yang agak ditinggikan.
“Kalau aku ganti nama pada saat itu gimana? Dan aku juga sudah membuat beras merah agar namaku sudah ganti,” ujar Nur Salsa mengangkat kedua alisnya.
“Resek…..”
Nur Salsa tertawa puas setelah melihat ekpresi Rumantik.
“Ini serius, aku ke sini hanya ingin bernostalgia tentang Nuansa. Apa kamu tidak rindu dengan anak Nuansa?”
“Kamu masih berhubungan dengan mereka.” Wajah Rumantik seketika sumringah saat mengenang Nuansa.
“Aku masih chating-an di group facebook,” jawab Nur Salsa.
“Aku juga lumayan sering kontak mereka. Kira-kira kak Ahlul sudah memiliki facebook tidak? Bahkan aku sama sekali tidak pernah mendengar kabarnya, gara-gara dia tidak facebook.”
“Dia memang orang yang memiliki komitmen teguh, sekali tidak ya tidak… dengar kabar dia bekerja di Republika.”
“Waow keren juga… kamu masih ingat Kiki?”
“Cewek macho nan perkasa itu?”
“Sekarang sudah jadi feminim, bahkan sekarang dia sudah menjadi ustadzah… tiap hari pakai gamis terus.” Rumantik tambah bersemangat membicarakan keluarga Nuansa.
“Jika begitu Ahlul dan Kiki sangat cocok dijodohkan. Kan mereka sama-sama akhi-ukhti.”
Mereka semakin bersemangat bergosip.
“Kamu tahu kak Fikar? Sampai sekarang dia belum memiliki hubungan asrama dengan perempuan mana pun. Dia terlalu sibuk memikirkan karirnya.”
“Mereka semua memiliki sejarah sendiri dan unik untuk dikaji, respon Nur Salsa di akhir perbincangannya.
*****
Beberapa hari ini Rumantik sudah mengabaikan kertas-kertas di mejanya yang minta untuk diisi. Kanvas dan pewarnanya pun sudah mulai mengering tanpa ada yang menyentuhnya. Tak hanya itu, cerita fiksi yang ia biasa kerjakan hampir separuh dari harinya tidak pernah ia kerjakan lagi. Kesibukan terus melanda dirinya. Hanya di kantor-lah dia sesekali mengecek tulisannya. Masih banyak tagihan novel yang masih mengawang dan perlu dibuatkan ending yang indah. Sore ini ia berniat untuk mengerjakannya hingga tanggal berganti. Ia hendak membuat segelas coffemix namun segera mengurungkan niatnya akibat stok gelas di rak piring sudah habis. Terpaksa ia mencuci satu-persatu gelas yang masih berserakan di atas meja.
“Semuanya sudah selesai, saatnya menulis,” ucap Rumantik dengan penuh antusias.
Sepertinya ia sudah dibius oleh kantuk saat setelah menyelesaikan beberapa lembar halaman. Ia tuangkan lagi coffemix ke dalam gelas dan mengambil air panas dari dispenser. 3 gelas coffemix tak mempan, matanya tetap merekat. Alisnya terus menempel ke pipi. Akhirnya tanpa ba bi bu segera ia meluncurkan badannya di atas kasur. Barang-barang yang masih berserakan di sana satu persatu dibuangnya agar tidurnya nyaman. Badan yang gatal akibat keringat pun tak mampu menghalangi nafsu tidurnya.
Berkali-kali suara ponsel-nya bordering mengusik tidur Rumantik. Sebal dengan suara itu, ia meraih bantal untuk menutup telinganya. Suara ponsel itu bisa menembus bantal hingga membuatnya menyerah. Dia meraba-raba satu persatu benda yang tergeletak di kasurnya. Dia baru teringat bahwa sebelumnya dia pernah membuang benda-benda tersebut yang sepertinya sekarang berceceran di lantai. Dengan susah payah ia meraih ponselnya ke lantai karena malas berpindah dari tempat tidurnya dia berusaha memanjang-manjangkan badannya untuk bisa menggapai benda berisik itu.
Dia segera membuka flip ponselnya dan melihat wajah penuh Nur Salsa dari layar ponselnya.
“Ada apa?” tanya Rumantik tanpa basa-basi. Suaranya terdengar masih parau
“Bisa kita bertemu di taman malam ini?”
“Aku sangat ngatuk sekarang ini, bisakah bertemunya di lain waktu saja,” pinta Rumantik. Dia sudah tidak bisa lagi menelanjangkan matanya. Sepertinya matanya sudah di lem dengan lem super lengket.
“Aku mohon..” Mendengar permintaan Nur Salsa yang tulus, Rumantik pun mengikuti permintannya. Dengan setengah tenaga yang dimilikinya ia melangkahkan kakinya untuk meraih motornya. Sepertinya bumi saat ini sedang ditemani oleh percikan air, jika seperti ini Rumantik tidak berani membawa Nathan keman-mana. Menggunakan taxi adalah alternatif yang tepat untuk membimbingnya ke taman.
“Terima kasih sudah datang,” ucap Nur Salsa saat melihat kedatangan Rumantik.
“Apakah ada hal yang penting sehingga kamu mendesakku untuk menemuimu.”
Nur Salsa hanya tersenyum kecil. Sebenarnya tidak ada kepentingan maupun perihal yang mendesak tetapi ia hanya ingin melihat wajah Rumantik. Ia rindu dengan senyumannya, rindu dengan tingkahnya saat dirayu. Ia kini memindahkan tangannya ke kepala Rumantik kemudian membelainya.
“Sebenarnya ada perihal apa?” tanya Rumantik. Sentuhan itu berhasil membuat dingin yang terus menjalar di sekujur tubuhnya. Nur Salsa terlihat tampan dari biasanya. Dia terlihat lebih muda dengan pakaian santainya. Menggunakan kaos berwarna pink dengan corak garis horizontal ditambah celana yang bolong di mana-mana. Dia terlihat berbeda jika dibandingkan pakaian formalnya saat di kantor.
Mendengar pertanyaan itu Nur Salsa segera membimbing Rumantik untuk menuju sebuah pohon. Nur Salsa membekap mata Rumantik. Rumantik ingin melepaskan tangan Nur Salsa namun ia mengurungkan niatnya. Nur Salsa melepaskan daun-daun dari rantainya sampai pada akhirnya ia membuka sebuah tulisan.
“Nur Salsa & Rumantik?” ujar Rumantik setelah membuka matanya.
Tanpa berkata Nur Salsa mengangguk sambil memperlihatkan senyum dari bibirnya. Rumantik meraba tulisan tersebut tanpa sadar ia menangis terharu. Jari-jemarinya merah tertempel oleh tulisan itu. Tulisan merah itu tak lain hanya berasal dari getah pohon berdasarkan penjelasan dari Nur Salsa.
“Nur Salsa & Rumantik… akan selalu terkenang oleh bumi Indonesia. Namaku dan namamu takkan pernah terpisahkan, meskipun di kehidupan nyata Tuhan menakdirkan kita untuk untuk memilih jalan yang berbeda namun pohon ini saksi bisu bahwa kita akan selalu bersatu,” jelas Nur Salsa. Jemarinya yang panjang membasuh air yang terus mengalir di pipi Rumantik. Nur Salsa selalu membuat kejutan yang di luar prediksi Rumantik, seperti halnya malam ini. Tak ada kata cinta yang terlontar di antara mereka namun tatapan mata dan bahasa tubuh bukankah itu sudah menandakan adanya perasaan itu.
Ketika sedang menelusuri jalan yang dingin diiringi bulir-bulir air dari langit sambil bersama-sama bercengkrama di dalam mobil Nur Salsa, Rumantik sudah merasa jalan yang dituju sudah hampir sampai. Rumantik memanfaatkan kesempatan itu dengan berpura-pura mengungkit penyakit masa lalunya. Ia menggeliat-liat sembari mengerang. Nur Salsa sempat ingin memberhentikan mobilnya namun Rumantik melaranganya. Mobil itu berhenti saat setelah mencapai tempat yang dituju. Nur Salsa membuka pintu mobilnya dan mempersilahkan Rumantik untuk keluar. Mengerti dengan isyarat yang Rumantik berikan, Nur Salsa menggendongnya menuju kontrakan Rumantik.
“Aku menunggu momen ini,” ucap Rumantik dengan paras memerah.
“Berarti sakit migrain yang kamu idap jaman dulu itu hanya sekedar pura-pura?” Rumantik semakin mengerat pegangannya.
“Beruntung sekarang beratmu sudah berkurang banyak,” ledek Nur Salsa
Lambat-lambat Nur Salsa menurunkan Rumantik dari gendongannya. Segera dia berpamit untuk pulang tanpa berdiam sejenak di tempat Rumantik. Dia melambaikan tangan dengan amat berat seolah tak ada waktu tersisa bertemu dengannya. Nur Salsa memandangi wanita itu dari belakang dan menyadari betapa tubuhnya menjadi mungil. Dia mempercepat langkah lalu menenggelamkan tubuhnya dalam rengkuhan kedua lengannya. Jika dia memeluk Rumantik dari belakang, dia bisa menyandarkan kepala wanita itu di dadanya.
Rumantik bisa merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Apa yang dipikirkan oleh Nur Salsa, kelakuannya sungguh aneh. Rumantik merenggangkan tangan Nur Salsa namun tangannya semakin erat memeluk Rumantik.
“Beri aku sejenak waktu untuk seperti ini. aku mohon!!!” Rumantik tidak mampu berkata. Bahkan mulutnya seakan terkunci rapat. Dia hanya memalingkan wajahnya, menyembunyikan air matanya.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  
*****
“Halo?” sapa Rumantik di telpon saat sedang berada di kantor.
“Rumantik, kamu ditugaskan oleh Pak Nur Salsa. Poinnya ada di draft tolong garap tugas itu,” ujar seorang staf dengan suara tertelan.. “Aneh” batin Rumantik. Ia segera mengecek di draft dan membaca tulisan
“Tolong buatkan undangan pernikahan saya segera. Berikut poin-poinnya…………….”
Rumantik tersentak memundurkan kursinya ke belakang. Jantungnya berdebar-debar. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Refleks tangannya meraba-raba kembali tulisan yang tertera di layar komputer. Tangannya berhenti meraba. Menjenjang dalam kehampaan. Dengan tangan bergetar ia memainkan kata di pembuat kata. Nur Salsa lelaki yang ia harapkan selama ini, selama 5 tahun ternyata penantiannya tak berujung apa-apa. Di manakah ia sekarang? Tak terasa air mata meleleh ke atas keyboard. 5 kali Desember ia merindukan belaian lelaki itu. Rumantik menggigit bibir menahan tangis sambil terus menangis. Sempat terbersit untuk menulis kalimat di mana pasangan perempuan bukanlah Putri Salsabila melainkan namanya sendiri, Rumantik. Tetapi ia dengan cepat menekan backspace. Kembali lagi ia ingin di akhir undangan  menuliskan. Dari orang tua mempelai laki-laki Yordan Gunawan & Rabba’ah turut mengucapkan terima kasih & f**k you.
“Bagaimana undangannya? Sudah selesaikah?” ujar Nur Salsa secara tiba-tiba menghampiri Rumantik. Mendengar suara yang tidak dinginkannya itu, Rumantik segera membalikkan kursinya.
“Sebentar lagi akan selesai. Nanti saya akan kirimkan ke email bapak hasilnya.” Ketika kabut duka yang terus menggumpal, pelukan itu segera dibutuhkan. Ingin sekali Nur Salsa mendekap Rumantik seperti yang telah ia lakukan semalam.
“Bisakah kita berbicara sebentar?” tawar Nur Salsa dengan suara berat.
“Jika bapak sudah tidak memiliki kepentingan lagi. Tolong keluar dari ruangan saya!” perintah Rumantik dengan penuh sesal.
Nur Salsa terenyuh melihat sikap Rumantik demikian tegar. Padahal laki-laki yang dikasihinya itu pergi ke pelukan perempuan lain. Rumantik jelas sedih. Tetapi berusaha keras menutupinya. Paling tidak terlihat tegar di depan lelaki yang dikasihinya sejak 5 kali berlalunya Desember. Sikapnya justru itu justru membuat Nur Salsa semakin didera rasa bersalah.
*****
Hari-hari yang kemudian mendatangi memang bukan hari yang mudah. Tetapi Rumantik berjuang keras untuk menyelamatkan dirinya dari keruntuhan mental. Dia berusaha melupakan kesedihannya. Kesepiannya. Dia menyerahkan dirinya secara total untuk terus mengejar karir. Begitu banyak hari-hari indah yang telah mereka lewati bersama, begitu banyak kenangan yang tak terlupakan. Yang pahit, apalagi manis.
Rumantik lebih banyak berkhayal dari pada menulis. Lebih banyak berdiam diri dari pada ngobrol dengan rekannya. Matanya lebih banyak melihat ke sekeliling ruangan, seakan-akan Nur Salsa akan kembali lagi ke ruangan itu. Harapan itu tidak mungkin lagi terjadi. Nur Salsa sudah bahagia dengan pelukan Salsabila di tempat kelahirannya, Aceh. Kabar terakhir yang didapat Rumantik, alasan mereka menikah karena dijodohkan. Hanya itu yang dia tahu dan cukup hanya itu. Semakin banyak mendengar namanya semakin banyak pula duri yang terus menggerogoti hatinya.
Rumantik mengalihkan jemarinya ke amplop yang terletak di mejanya. Sebuah surat untuknya dari Nur Salsa. Sudah behari-hari surat itu tergeletak manis tanpa sentuhan jemarinya. Sempat ia memegangnya untuk segera membuangnya namun rasa penasaran itu masih terlalu tinggi. Setelah berperang dengan egonya sendiri akhirnya ia memberanikan diri untuk  membuka kapas terukir itu. Sebuah buku harian terdapat di dalamnya.
“Kisahku dan kisahmu…”
Hey.. Rumantik, mungkin setelah kamu baca ini aku sudah bisa tidak di pelukanmu lagi. Dan seperti waktu sebelumnya aku lelaki yang terlalu bodoh yang tidak akan pernah bisa menggapaimu. Aku mohon kamu tersenyum. Aku rindu dengan senyuman manismu dan aku sangat merindukan ekpresi jelekmu saat aku menggodamu. Kalau kamu tidak tersenyum. Jangan harap kamu bisa membuka lembaran berikutnya. Oke semoga kamu tersenyum.
12 Desember 2012
Malam itu kau meruntuhkan hatiku dengan berbagai getaran dingin saat mata kita beradu melihat dua pasangan dengan penuh bumbu romantisme. Bibirku terlalu kaku untuk mengucapkan kata. Tanganku sangat dingin namun aku tak punya kekuatan untuk sekedar menggenggamnya. Aku berhasil mencairkan suara dengan berkata…. “Jika Ahlul melihat adegan ini, maka kita berdua akan segera dirajam.” Ingat tidak omongangku ini. Ungkapan ini sengaja terucap untuk mengurangi rasa kerisauan hati saat berada di dekatmu. Aku menggeliat di atas kasur entah itu aku tersadar atau sedang tertidur tetapi tanpa ku sadari aku tersenyum. Senyum bahagia saat membayangkan wajahmu. Naluriku berputar lagi. Aku tidak mungkin mendekatinya.. dia.. dia… dia yang berhasil membuat telapak tanganku basah saat di dekatnya telah dimiliki orang lain. Naluri itulah yang membuatku sebisa mungkin untuk terdiam.
17 Februari 2013
Perasaanku sangat tidak karuan saat mendengar suara paraunya dan mengabarkan bahwa dia tersesat di Hutan Waduk Sermo. Pada saat itu aku sangat panik. Aku dengan segala ketidawarasanku bertanya kepada setiap orang yang kulihat. Bibirku selalu bergetar dan mengucapkan lafadz agar kau baik-baik saja di sana. Sampai aku melihat punggungmu, entah rasa bahagia apa yang menggerogoti relung hatiku. Lagi-lagi aku tersadar bahwa wanita itu milik orang lain. Aku mengajaknya pulang tanpa membimbingnya. Aku ingin sekali memegang tangan dingin itu.
11 April 2013
Kami hari akan berangkat ke pantai bersama anak Nuansa. Aku berharap aku mendapat ketenangan di sana. Aku mencari-cari tempat di mana aku bisa menyendiri. Sebuah lambaian tangan wanita itu sanggup mendorong langkahku ke hadapannya. Senyum puas terukir dari bibir manisnya. Aku senang sekali diberi kesempatan untuk bisa berdua dengannya. Aku baru sadar dia hobi menggambar sama halnya denganku. Kami banyak memberi cerita tentang pengalaman selama menekuni dunia gambar. Saatku melihat matahari hendak ditutupi oleh awan, aku mengajaknya balik. Tubuhnya begitu lunglai, lagi-lagi perasaanku tidak karuan saat melihatnya berusaha mengurangi rasa sakitnya. Tanpa pikir panjang aku segera menggendongnya. Dia ternyata memiliki berat badan yang terlampau dari pikiranku. Tunggu dulu… kok tiba-tiba lahar dingin itu kembali menggerogotiku. Detaran jantungku tidak karuan. Bisakah aku terselamatkan dari perasaan ini. Aku tidak mau terbelenggu dengan perasaan yang menyiksa ini.
18 Oktober 2012
Aku sangat merindukannya. Kamu tahu kan siapa yang kurindukan? Sudah sekian lama kami tidak pernah bertemu lagi. Kegiatan Nuansa tidak pernah mengharuskan kami untuk datang. Padahal aku ingin sekali ke sana untuk sejenak memandang wajahnya. Kami terlalu sibuk menyelesaikan tugas akhir kami. Atau mungkin dia lebih nyaman berada dekat dengan lelaki yang setia di sisinya.
3 Desember 2013
Hari ini adalah hari kelulusan kami. Aku melihat rona merah dari secuil pipi berisinya. Aku sungguh senang melihat wajah bahagianya. Tapi kenapa tiba-tiba wajah bahagia itu berubah menjadi risau. Ternyata lagi-lagi pacarnya menyuruhnya untuk bertemu. Benar-benar iri melihat itu. Dia segera pergi ke taman. Tanpa dia sadari aku memunggunginya. Aku mendengar semua percakapannya. Aku meraihnya ke dalam tubuhku saat lelaki yang menyakitinya pergi. Dia nyaman dengan pelukanku tetapi aku heran kenapa dia tidak menangis. Dia hanya tersenyum dan memintaku lagi untuk memeluknya. Aku semakin yakin dengan perasaanku jika aku mencintainya.
27 Desember 2013
Kenapa dia tiba-tiba menghilang. Aku dibuat tidak karuan dengan keberadaanya. Ke mana dia pergi. Tolong beri aku petunjuk untuk menemukannya. Aku sangat merindukannya. Aku mengontak nomernya tapi tidak aktif. Mungkin ia telah membuang kartu selulernya ke aquarium raksasa. Aku mencarinya di facebook tetap juga tidak bertemu. Aku mencari dia, bahkan aku sampai bertanya-tanya kepada teman terdekatnya, pencarian itu nihil.
19 Desember 2018
Hey… aku kembali lagi membuka buku ini. Setelah 5 tahun berlalu. Saat ku buka, ternyata banyak kisah yang mampu membuat tawa. Kamu tahu? Malam ini aku bertemu dengannya. Harapannya yang aku kubur selama lebih dari 5 tahun itu kini terwujud. Aku tidak mau melepaskannya begitu saja. Untuk itu aku menawarkan dia bekerja di tempatku. Kamu pasti tahu kan perasaanku saat ini…?
27 Desember 2018
Setiap hari aku lebih banyak tersenyum dari biasanya. Apalagi sekarang aku sudah memiliki berbagai cara untuk menggodanya. Menjadikannya budakku meskipun hanya sekedar membuatkanku susu putih. Aku senang sekali melihat ekpresinya saat cemberut. Dia terlihat menggemaskan. Aku membuka lagi “Tiga Kali Desember” novel yang ku baca berulang kali adalah karangan dia. Meskipun sebelumnya aku tidak tahu siapa pengarang aslinya tetapi saat membaca novel itu aku merasa jiwaku ada di sana. Aku semakin hari semakin jatuh cinta terhadapnya.
5 januari 2019
Aku mungkin orang yang paling bodoh sedunia. Kenapa aku tidak mengungkapkan perasaanku terhadap wanita itu yang jelas-jelas juga menaruh hati padaku. Semua orang mungkin akan menganggapku bodoh. Tapi tahukah kamu wanita itu tidak ingin aku jadikan sebagai kekasihku melainkan sebagai istriku. Itulah alasanku selama ini. Menjadi teman tapi mesra lebih baik bukan?
18 Januari 2019
Sudah kumantapkan hatiku untuk segera melamar dia. Aku yakin dia pasti akan terima lamaranku. Bertahun-tahun kami mengenal dan aku sudah ahli perasaannya. Aku meminta restu dari orang tuaku. Hal yang tidak ingin ku dengar dari dulu mau tidak mau harus ku dengar. Bahwa ternyata aku sudah dijodohkan oleh orang tuaku. Dari dulu aku selalu mengabaikan perjodohan itu. Sampai akhirnya semua persiapan sudah tertata rapi. Hanya tinggal menunggu kedatanganku. Aku berkali-kali menepuk pipiku supaya tersadar. Ini bukan mimpi tapi kenyataan. Aku cepat-cepat mengendarai mobilku. Aku terus mengemudi tanpa tahu arah. Aku memberhentikan lajuku di taman tempat aku dan wanita yang dari dulu ingin aku panggil adinda bertemu. Aku mengukir kata Nur Salsa & Rumantik dengan pisau. Aku menggores jariku dengan pisau sampai warna merah itu menetes. Aku menajamkan tulisan itu dengan darahku. Kuharap bumi tidak akan menghapus romantisme kami berdua. Kali ini aku mengakui bahwa aku memang bodoh. Aku menelponnya, aku memaksanya untuk datang. Dia datang dengan jaket tebal yang melilit badanmu, menemuiku padahal gerimis berusaha menghalangimu. Namun, sepertinya ada kekuatan yang membuatmu terus melaju menghampiri seonggok daging yang lemah ini. Aku berusaha untuk tidak terlihat di depanmu. Waktu yang selalu memaksa untuk didatangi itu yang paling ku benci saat dia melambaikan tanganmu. Berat rasanya kaki ini untuk meninggalkanmu. Aku kembali menggapaimu. Aku tidak mau kehilanganmu lagi.
Tiba-tiba saja tetesan hujan jatuh di atas buku Nur Salsa. Rumantik memutuskan untuk melangkahkan kakinya menuju ruangan drama itu. Dia meneruskan membacanya di kursi tempat di mana seseorang itu menggodanya. Melihat satu persatu barang-barang yang masih tertata rapi di mejanya. Tinggal kenangan.
19 Januari 2019
Aku lelaki yang paling bodoh dan juga paling kejam. Aku tahu pasti bagaimana perasaannya saat membuat undangan pernikahanku. Mungkin dia berpikir waktu aku mendatanginya aku akan tertawa dan berhasil bahagia dalam kesedihannya. Tapi perlu kamu ketahui aku hanya ingin memastikan apakah kamu baik-baik saja. Aku ingin kamu menghalangiku untuk jangan menikahinya. Aku hanya ingin mendengar itu. Tetapi aku mungkin terlalu percaya diri. Bisa saja yang di hatimu masih Ijan bukan aku. Aku terlalu percaya diri untuk mengatakan bahwa dia mencintaiku. Aku berharap kamu memiliki perasaan yang sama denganku. Sama-sama menyayangi. Meskipun di dunia nyata kita akan bisa terus bersama namun aku berharap Nur Salsa & Rumantik akan dijodohkan di Surga…..
Air mata terus menggenangi buku Nur Salsa.
“Aku selalu berusaha untuk membuatmu tersenyum meskipun kamu takkan pernah berusaha membuatku tersenyum karena sejatinya tanpa kusadari saat kamu tersenyum aku juga ikut tersenyum. Nur Salsa & Rumantik semoga dijodohkan di Surga,” ungkap Rumantik di sembari menutup kisah mereka

THE END
*Kisah ini terinspirasi dari mencomot-comot kisah orang lain
Dalam bagian karakter yang tertulis di atas mengisahkan sebuah kisah
-          Nur Salsa : Menikah dengan Salsabila dan menjadi pimred di Kompas.
-          Rumantik menjadi marketing di Koran kompas dan telah menjadi penulis. Beberapa tulisannya telah diterbitkan di Gramedia, di antaranya: Tiga Kali Desember, Sepucuk Harapan, Menunggu Hujan, Insomniac, dan Langit di Sore Ini.
-          Ahlul : Dengan wajah surganya menjadi Pimred di Republika.
-          Kiki : Gadis perkasa namun berubah menjadi wanita solehah. Profesinya selain jadi ustadzah, dia juga aktif menulis di majalah Ummi.
-          Fikar : Lelaki yang tidak pernah bersentuhan dengan romantisme berhasil meraih gelar doctor di Monash University.
-          Mujib : Wajah polos yang mampu menajamkan mata setiap wanita ini telah berhasil membangun pesantren di Jombang. Dia dianggap menjadi kiayi tersohor di desanya meskipun usianya terbilang muda.
-        Said : membaca namanya selayaknya membaca Alquran dengan pasih. Sosok yang memiliki gigi sempurna ini juga memiliki toko publishing sendiri. Kabarnya dia telah menikah dengan gadis yang hiperaktif di organisasi.
-          Dan yang menulis ini telah dikontrak menjadi Reporter VOA… Our Wish (^_^)


Nur Salsa & Rumantik Part 1 (The 1st Sequel of Nuansa's Family)



Nur Salsa POV
Mungkin banyak yang akan berpikir bahwa pemilik nama Nur Salsa adalah seorang perempuan tapi tidak dengan diriku. Aku ditakdirkan menjadi lelaki jantan yang dikelilingi oleh tiga perempuan yaitu saudara kandungku. Setiap kali aku dipanggil oleh guru maupun siapa pun, orang di sekitarku akan tertawa karena namaku sangat identik dengan perempuan. Namun tahukah kamu, aku ini benar-benar jantan, untuk membuat orang percaya jika aku jantan, aku menutupinya dengan berpenampilan sebagai cowok metroseksual. Selalu wangi, rapi, berbaju yang pas di badan meskipun terkadang agak nge-pas karena perutku terisi penuh dengan susu. Tetapi jika kalian tahu aku juga memiliki sisi feminim karena aku pecinta warna pink.
Kembali lagi aku ceritakan mengenai namaku. Alkisah dulu namaku bukan Nur Salsa tetapi Akbar Agung. Ayahku memberikan nama itu karena beliau ingin aku tumbuh menjadi pohon besar. Besar harapan ayahku kelak jika aku sudah besar, aku akan menjadi orang besar. Besar dalam arti menjadi dokter maupun insinyur. Selain itu ayahku memberi nama itu karena aku terlahir dengan motif hidung yang besar. Tapi jangan salah, dengan hidung yang besar justru yang membuat hati perempuan terpikat olehku. Saking besarnya hidungku ini, aku bisa menampung upilku hinggu 8 bongkah. Hahaha memang jorok bukan?
Memiliki nama Akbar Agung benar-benar memberikan beban selama 1 tahun dua bulan aku hidup, selama itulah aku memiliki penyakit. Sepertinya hanya beberapa hari saja Tuhan memberikanku kesehatan selebihnya mendapat sakit yang berkepanjangan. Akhirnya setelah mufakat dengan kepala desa, camat, maupun bupati ayahku mengganti namaku menjadi Ridho Sihah. Nama itu diperuntukkan agar aku menjadi orang yang sehat. Perubahan nama itu pun tak merubah banyak di diriku. Aku masih tetap memiliki penyakit yang berkepanjangan. Ibuku gerah melihat keadaanku seperti begitu terus akhirnya beliau sendiri yang mengubah namaku menjadi Nur Salsa artinya cahaya ketiga. Nah… perubahan nama itu sangat mujarab karena aku sudah tidak pernah sakit lagi sampai aku sudah beranjak dewasa secara hukum.

Rumantik POV
Aku selalu bermasalah dengan nama. Setiap orang yang menulis namaku pasti akan salah. Dulu waktu aku kecil ayahku yang selalu jeli dengan namaku, berapa kali akte kelahiran dirubah hanya karena kesalahan penulisan nama. Aku tidak ambil pusing pada zaman itu karena apalah arti sebuah nama. Namun sekarang ini aku benar-benar kalang kabut dengan kesalahan penulisan namaku. Jelas-jelas namaku Rumatika kenapa orang-orang menulis Rumantika. Huhhh.. kesalahan yang sepele itu benar-benar menyebalkan.
Sosok gadis yang selalu bermasalah dengan nama ini diam-diam memiliki pacar. Aku sudah menjalin kasih dengan teman kelasku, Faizan yang kerap disapa Ijan. Kami sudah menjalin hubungan istimewa itu semenjak 3 bulan yang lalu. Hubungan kami berawal dari sebuah persahabatan. Saat berpacaran teman-temanku bahkan kami sendiri bingung itu dikatakan berpacaran atau hanya sekedar sahabat. Hubungan kami tidak jelas seperti ketidakjelasan-nya namaku.
Author POV
“Tunggu aku lima menit lagi.” Rumantik membaca pesan dari Ijan tersebut di lobi kampus. Sambil menunggu lima menit ala Ijan. Rumantik mulai merangkai garis-garis menjadi gambar. Hari ini dia menggambar posisi wajahnya yang seperti benang kusut dikarenakan pagi ini dia belum menyentuh setetes air.
“Ayo buruan. Aku buru-buru mau latihan basket,” ungkap Ijan saat mendatangi Rumantik.
“Oke…”
Hari ini di mana Rumantik harus berlaga untuk memenangkan sayembara yang diadakan oleh Pimred Nuansa.
Di dalam kantor sudah banyak peserta yang telah mempersiapkan mentalnya secara matang. Secara Nur Salsa sang pimred adalah orang yang perfeksionis. Telah tercatat sudah 6 orang peserta yang telah mengambil posisi duduk, di antaranya: Rumantik, Kiki, Fikar, Ahlul, Mujib, dan Said. Mereka semua adalah bagian dari keluarga Nuansa.
Sedikit bercerita tentang profil Nuansa. Nuansa adalah lembaga pers mahasiswa terbesar di UMY. Organisasi yang berada di bawah naungan Rektor III Sri Atmaja ini memiliki 4 produk yaitu, Nuansa Online (tulisan nuansa dimuat di web resmi Nuansa), Nuansa Majalah (Sesuai dengan slogan UMY muda mendunia. Jenis tulisan di majalah ini menggunakan bahasa renyah dan gak bikin sakit kepala. Sangat tepat untuk anak-anak muda), ada lagi Nuansa Kabar (produk ini menggunakan jenis tulisan yang tua mengakherat karena pemilihan bahasa yang berat dan selalu bikin sakit kepala), terakhir adalah Nuansa Qolbu (Nahhh produk ini yang bertujuan untuk menjunjung nilai keislamian kampus sesuai dengan bekas logo UMY yaitu Unggul dan Islami).
Organisasi ini diketuai oleh Sentimental Ahlul, Sweet Nur Salsa yang berfungsi sebagai pimred, di bawahnya redaktur pelaksana Eyes Center Mujib dan Flaming Pearls Said. Selain itu ada divisi Litbang yang diketuai oleh kunyuk2 Rumantik. Sedangkan Sexy Kiki menjabat sebagai bendahara dan Panda China Fikar sebagai sekretaris. *Selebihnya masih banyak lagi anggota lainnya namun saya tidak sebutkan karena bukan pemain dari fiksi ini*
Kembali lagi dengan ajang sayembara. Di sini peserta memiliki misi untuk membuat logo Nuansa kabar dan pemenangnya akan mendapat tawaran langsung untuk nge-date bareng Nur Salsa dalam menonton Breaking Dawn.
Di dalam hati Rumantik sudah harap-harap cemas dan sudah membayangkan bagaimana indahnya bisa menonton adegan romantis bersama Nur Salsa. Ada rasa bangga bisa jalan berdua bersamanya, secara Nur Salsa adalah maskot UMY terpilih dan tentunya dia memiliki ketampanan di atas rata-rata.
“Waaiiittttss buat apa aku membayangkan Nur Salsa, bukankah aku masih memiliki Ijan???” batin Rumantik.
1 jam berlalu, kini saatnya momen yang paling dinantikan di mana Nur Salsa akan mengumumkan pemenangnya. Besar harapan Nur Salsa jika pemenangnya adalah perempuan. Berdasarkan data, peserta perempuan hanya dua orang saja dan yang paling nalar diajak kencan hanya Rumantik. Seenggaknya Rumantik lebih kewanitaan dibandingkan Kiki. Tidak bisa dibayangkan jika Nur Salsa bersanding dengan kiki, bisa-bisa Nur Salsa babak belur dihantam Kiki saking perkasanya. Setelah menimbang-nimbang akhirnya Nur Salsa memilih…
“Ahlul, adalah pemenang sayembara ini. Ahlul berhak menonton Film Breaking Dawn bareng saya,” ungkap Nur Salsa.
Bisa diakui Ahlul memang paling jago mendesain, tapi semua orang tidak akan bisa membayangkan bagaimana orang yang sesentimental Ahlul bisa berkencan dengan seorang laki-laki. Apakah dia memiliki sikap feminim juga dengan menyukai seorang laki-laki.
Keputusan yang diambil Nur Salsa menyebabkan pro kontra di berbagai kalangan keluarga Nuansa. Sebagian yang pro adalah para lelaki normal, karena mereka memiliki lebih banyak peluang untuk mengikat para perempuan. Sedangkan para perempuan hanya bisa gigit bibir dan tidak setuju dengan kencan mereka. Sebagian ada yang tidak rela Nur Salsa direbut oleh siapa pun. Mereka berpikir Nur Salsa hanya miliknya seorang. Ada juga para gadis yang tidak rela jika sampai pujaan hatinya Ahlul direbut oleh orang lain.
Kasus itu berdasarkan perspektif dari orang lain. Lain lagi dengan Nur Salsa dan Ahlul. Bukankah mereka lagi memerangi dirinya agar tidak disebut pemudi.
“Waiitt bukankah selama ini aku sudah berusaha agar aku dipandang sebagai lelaki jantan??” batin Nur Salsa.
“Bukankah selama ini aku memerangi diriku agar aku tidak disebut pemudi bahkan aku sampai mengharamkan diriku untuk memakai sandal perempuan, semendesak apa pun keadaanya. Tapi sekarang aku harus dihadapkan untuk berkencan dengan seorang laki-laki? Iyuhhh deh,” batin Ahlul.
Dengan berbagai macam pertimbangan seperti itu dan pada kenyataannya lebih banyak yang kontra dari pada pro. Akhirnya pada tanggal 12 Desember Ahlul menyerukan kepada bawahannnya untuk rapat konsolidasi.
*****
“Aku persembahkan makanan kesukaanmu, ini lele spesial buatan ibu pecel lele,” ungkap Ijan dengan bangganya mempersembahkan ikan lele kepada Rumantik.
Mereka kini sedang menikmati makan malamnya di pecel lele seberang kampus. Dengan ditemani es teh dan alunan lagu roma irama berjudul piano siap menemani makan malam mereka. Nongkrong di pecel lele adalah tongkrongan favorit mereka, selain karena bisa membantu keuangan mahasiswa juga masakan pecel lele sangat pas untuk lidah mereka.
“Terima kasih sayang. Aku sungguh berterimakasih karena kamu bersanding di sisiku.”
“Dan karena kamu tercipta untukku,” balas Ijan.
 “Sayang, dari tadi kenapa HP-mu ribut terus. Apa kamu punya agenda hari ini,” Tanya Ijan saat menyadari ponsel Rumantik yang terus berdering.
“Yang nelpon itu kak Ahlul, aku rasa bukan perihal yang penting. Lagian ini malam minggu jadi tidak mungkin Nuansa memiliki agenda,” jawab Rumantik.
“Coba liat memo kamu dulu. Mungkin saja kamu memiliki agenda penting,” saran Ijan.
“Yakin,” tanya Rumantik.
Ijan hanya menganggukkan kepala tanda memastikan. Setelah mengecek memo di tas-nya. Ternyata apa yang diprediksi ijan benar adanya. Hari ini adalah rapat konsolidasi yang Rumantik lupakan.
“Hahhh aku hari ini ada rapat konsolidasi. Yang… antarkan aku ke Nuansa sekarang. Aku sudah telat banyak ni,” bujuk Rumantik.
“Seperti yang ku duga sebelumnya. Lain waktu jangan mengabaikannya lagi yaaa,” respon Ijan sambil membelai lembut kepala Rumantik.
Sesampai di Nuansa, Rumantik sudah diberitahu mengenai pengumuman besar terkait keberlangsungan visi misi Nuansa yang muda dan berkarakter.
“Kita jangan menjadi generasi labil. Laki-laki berlakulah jantan dan perempuan berlakulah betina. Itu yang disebut generasi berkarakter,” ujar Ahlul.
Semua anggota Nuansa yang hadir hanya bisa membentuk huruf O dari mulutnya.
“Terkait sayembara itu, ketika pemenangnya adalah saya. Saya merasakan kebanggaan, karena apa? Karena saya memiliki kompetisi di bidang itu. Namun ada hal yang paling kontra di dalam benak saya yaitu pemenangnya harus nonton di bioskop dengan didampingi oleh seorang laki-laki. Perbuatan itu tidak jantan dan bisa dibilang banci. Sangat berlawan dengan misi Nuansa yang ingin membentuk generasi yang berkarakter. jadi mulai detik ini saya memutuskan pemenang sayembara itu tidak sah,” ungkap Ahlul dengan gaya Hitler-nya.
“Alhamdulillah…” ungkap yang lain dengan serentak.
 “Tetap jadi pemuda dan perangi menjadi pemudi,” koar Said sambil menunjuk gigi pepsodentnya.
            Dinginnya malam sudah menusuk ke tulang kering anak Nuansa sehingga sebagian orang memutuskan untuk tetap tinggal di Nuansa. Pada saat itu yang masih menampakkan batang hidung hanya Rumantik, Kiki, Nur Salsa, Ahlul, dan Fikar. Jam dinding sudah mulai merujuk ke angka 00.00. Fikar memutuskan dirinya untuk terlebih dahulu terjun ke alam mimpi begitu juga dengan Ahlul. Tinggal kiki, Rumantik dan Nur Salsa. Kiki lebih memilih untuk mengerjakan materi presentasinya. Sedangkan Rumantik masih sibuk mencari film yang menarik untuk ditonton.
“Kenapa kita tidak menonton Breaking Dawn saja,” pinta Nur Salsa dengan sumringahnya.
“Ide bagus. Tapi kamu yakin kita akan menonton adegan seperti itu tengah malam, berdua lagi,” ungkap Rumantik ragu.
“Justru itu yang bikin seru, kalau aku asal ditemani dengan susu putih, hehee,” rayu Nur Salsa. Mengerti dengan ucapan Nur Salsa, Rumantik segera membuka langkahnya membuat susu untuk Nur Salsa dan menyeduh Coffemix untuk dirinya sendiri.
Di situlah kisah mereka terjalin…
Rumantik sudah minta izin kepada Ijan tentang rencana menginapnya di kantor. Menceritakan siapa saja temannya menginap dan aktivitas apa saja yang akan dilakukan.
“Iyaaaa apa pun yang kamu lakukan aku tahu itu yang terbaik. Kamu cukup tahu aku selalu menyayangimu dan jagalah pelabuhan ini di hatimu,” ucap Izan lewat saluran telepon.
“Ne… nado saranghe,” jawab Rumantik dalam bahasa Korea.

Sulit untuk menghindari getaran hati jika seseorang yang dulu dianggap biasa saja tetapi akan menjadi berbeda saat di mana dua insan berlawan jenis dihadapkan dengan adegan penuh kemesraan. Rumantik selalu mengingatkan dirinya, dia masih memiliki Ijan. Rumantik sudah berkomitmen untuk selalu menjaga kesucian hati Ijan yang bartender di hatinya. Begitu pula dengan Nur Salsa, dia akan selalu menjaga teguh prinsip orang tuanya untuk tidak menodai karirnya dengan asmara.
*****
Rumantik POV
Siapa lagi tempat aku berbagi duka, suka dan kasih selain orang yang kini selalu berada di sisiku. Dia bisa memposisikan dirinya sebagai seorang sahabat. Dia selalu bisa mengkondisikan dirinya untuk mendengarkan curhatku yang panjang setebal 400 halaman jika dibukukan. Aku bisa merasakan sentuhan keikhlasan saat aku sedang haus cinta. Dia juga akan selalu bisa menjadi sosok ayah dengan kata-katanya yang selalu dibumbui kata-kata bijak. Tetapi orang-orang berkata jika tidak ada yang sempurna. Namun selama 3 bulan kujalani cinta bersamanya dia terlalu sempurna untukku bersanding dengannya. Aku selalu merasa membutuhkannya, sehari tanpa dia bagaikan masakan tanpa garam. Aku terlalu lemah jika tanpa sentuhan lembutnya.
Kenapa sekarang ini aku begitu melankolis. Heyy Rumantik… kamu hanya tidak bertemu dengannya sehari. Apakah duniamu begitu sempit. Kamu masih memiliki banyak teman di sini. Kamu bisa tertawa dengan mereka. Kamu bisa mengukir senyum kamu sendiri tanpa dia. Okehhh, sekarang jangan sedih lagi. 2 hari lagi bukan waktu yang lama untuk menunggunya.
“Rumantik, sudah jangan pikirkan Ijan lagi. Kamu bangun tidur, tidur lagi dan bangun lagi. Pada ujungnya juga akan bisa bertemu dengan Ijan,” kata Kiki mengagetkan Rumantik dari lamunannya.
“Yaa… yaaa… aku tahu,” jawabku seadanya.
“Oyaa, sekarang kamu, kak Ahlul, Nur Salsa dan Mujib survey track untuk acara jurit malam nanti,”
“Oke… aku bantu,” angguk Rumantik kembali.
Kami sudah membentuk tim untuk menyeleksi tempat mana yang cocok untuk melatih mental calon anggota baru di Nuansa. Dengan track yang sangat luas dan banyak pilihan kami terpaksa harus berbaur menjadi dua tim, di antaranya aku bersama Nur Salsa dan kak Ahlul bersama Mujib.
Kami berdua merasa canggung satu sama lain saat saling berhadapan. Entah apa yang aku rasakan saat ini. Aku kesal juga terhadap Nur Salsa karena seolah-olah dia mulai menghindar semenjak menonton film itu. Dia tidak akan membuka percakapan jika aku tidak mengajaknya untuk berbicara. Sakitnya lagi dia akan menjawab sesingkat-singkatnya pertanyaanku.
“Bagaimana bisa aku harus dipasangkan dengan orang yang sedingin dia,” gerutu Rumantik di dalam hati.
“Bisakah kita berhenti sebentar?” hanya kata itu yang dilontarkan Nur Salsa saat setelah selesai survey track.
“Usul yang bagus,” responku.
Meskipun kami istirahat untuk meraup kembali nafas yang tadinya hampir hilang. Namun bagiku itu bukan istirahat, karena aku harus memompa hatiku untuk bersikap biasa saja dengan sikapnya yang acuh. Fisikku mungkin sangat capek tapi hatiku lebih capek lagi menghadapi sikap dia seperti itu. Bagaimana mungkin kami berada dalam perahu yang sama. Sama-sama mengayuh perahu Nuansa untuk tetap eksis di mata kampus maupun nasional. Kita sama memiliki misi yang sama tetapi kenapa sikapnya seakan aku tidak berfungsi di mata dia.
Bosan dengan sikap angkuhnya, aku pun mengangkat tubuhku untuk meninggalkannya sendirian. Aku menunggu dia bertanya, mau ke mana hendak aku melangkahkan kakiku. Aku menunggu kejadian itu. Sayangnya ia sama sekali tidak mengindahkan tingkahku. Dia tetap datar seakan-akan aku tidak pernah ada. Dengan berbagai macam kesebalan yang menyelubungi hatiku. Aku terus menyusuri hutan-hutan di sekitaran daerah waduk sermo. Tanpa ku sadari aku sudah melangkah terlalu jauh. Aku tidak tahu arah jalan pulang. Aku butuh Ijan untuk membimbingku pulang. Aku butuh dia. Saking takutnya, aku bisa merasakan tetesan air mata terus memenuhi air mataku.
Tuhan di saat seperti ini kenapa aku merasakan sakit kepala. Tanganku sudah lemah untuk memegang pohon sebagai penopangku. Ketidakmampuanku untuk menopang tubuh membuatku terlentang di tanah. Aku segera mengambil ponsel-ku dan mencari kontak yang sekiranya bisa membantu aku. Aku tidak bisa meminta bantuan siapa-siapa kecuali dia… Nur Salsa.
“Halooo Nur,” sapaku
“Iya.. kenapa nada suaramu begitu janggal,” tanyanya.
“Aku tidak tahu arah jalan pulang, kepalaku pusing. Bantu aku keluar dari sini,” pintaku dengan suara tertelan.
“Apa kamu tersesat, kamu sekarang di mana?” tanyanya lagi
“Aku tidak tahu di mana sekarang?” jawabku tambah takut.
“Kamu sebut saja, kamu di dekat tempat apa yang kira-kira familiar. Ayo sebutkan jangan ragu-ragu,” ucapnya.
“Aku… aku berada di tempat pohon besar, di atas jurang. Aku dikelilingi pohon beringin.”
“Oke aku mengerti… tunggu aku di situ. Jangan ke mana-mana. Aku akan menyusulmu.”
“Apa kamu tahu tempatnya di mana?”
“Aku akan mencarinya.”
“Baiklah… aku menunggumu,” ucapku sedikit gugup.
“Och” lagi-lagi kepalaku sakit, aku menyentuhnya berharap itu bisa mengurangi rasa sakitnya. Kenapa di saat yang tidak tepat seperti ini aku harus merasakan sakit di kepalaku. Ijan… aku butuh kamu. Setidaknya kamu bisa menghiburku. Aku benar-benar butuh kamu.
“Kamu baik-baik saja?” sayup-sayup suara Nur Salsa bisa ditangkap oleh telingaku.
“Nur…. terima kasih atas kedatangamu. Aku sangat takut di sini. Bawa aku keluar dari tempat menyeramkan seperti ini. Aku mohon,” ucapku.
Kami pun jalan menuju villa. Aku mengambil kayu sebagai tongkatku untuk berjalan. Ingin rasanya aku memegang tangannya tapi sekali lagi aku mengingatkan diriku kalau dia bukanlah Ijan. Jangkankan untuk dipegang tangannya untuk sekedar membuka percakapan saja tidak. Lama-lama aku semakin kesal terhadapnya.
“Jangan mengulangi lagi,” ujarnya tiba-tiba
Aku terkekeh. Apa dia peduli denganku? Apa dia peduli denganku?”
“Iya, terima kasih.”
*****
Kami akhirnya pulang dari waduk sermo. Aku segera bergegas mengambil tasku lalu menghubungi Ijan untuk menjemputku. Sambil menunggu, aku berjalan menuju lapangan kampus. Hari mulai malam. Aku duduk di bangku panjang tempat tunggu jemputan, ketika aku melihat sekitar aku melihat sosok Nur Salsa. aku memberanikan diri untuk menyapanya.
“Nur Salsa?”
“Apa,” jawabnya dengan begitu dingin.
“Belum pulang?”
“Belum, kamu juga?”
“Iya, duduklah di sini,” kataku sambil menempelkan tanganku ke bangku sebelahku. Dia berjalan ke arah bangku yang ku maksud. Lalu tiba-tiba dia tersenyum.
“Ya! Baru kali ini aku melihatmu tersenyum seperti ini. Semenjak……”
“Hahaha,” dia hanya menjawabnya dengan tertawa.
Tin Tin Tin
Tiba-tiba seseorang mengklakson ke arahku lalu membuka helmnya.
“Rumantik, ayo masuk.”
Aku langsung menjawabnya senang. Syukurlah, Ijan segera menjemputku. Dia selalu ada ketika ku butuh. Aku langsung berjalan mendekatinya. Sebelum pergi, aku melambaikan tanganku ke arah Nur Salsa lalu dia menjawabnya dengan melambaikan tangan juga.
“Akhir-akhir ini, aku sering melihatmu bersamanya,” ucap Ijan dengan nada sedikit kesal.
“Maaf, aku hanya mengobrol sedikit sambil menunggumu.”
“Kau pasti bohong.”
“Percayalah padaku.”
“Bagaimana bisa? Kamu duduk dengan laki-laki yang tampan seperti dia?” tiba-tiba nada suaranya meninggi.
“Ya! Kau ini kenapa?”
“Kau yang kenapa!”
Aku hanya diam tidak mau memperkeruh suasana. Tiba-tiba Ijan memberhentikan motornya di pinggir jalan. Lalu memanggilku.
“Rumantik..” Aku hanya menorah ke arahnya tanpa menjawab karena kesal.
“Aku mencintaimu,” ungkapnya dengan raut muka yang langsung sumringah.
“Iya aku juga sangat mencintaimu,” bisikku
Kami sampai di Jembatan Kali Bedog. Ijan langsung mengajakku duduk sambil menikmati pemandangan sungai.
“Indah sekali,” gumamku.
“Iya, sangat indah,” jawab Ijan.
Perlahan tangan Ijan menuju ke wajahku dan membelainya dengan lembut. Kenapa aku? Aku sama sekali tidak merasakan jantungku berdetak lebih cepat seperti dulu saat pertama kali Ijan membelai wajahku. Akhirnya aku memutuskan untuk menarik tangannya dari wajahku.
“Kenapa?” tanyanya heran.
“Aku lapar, bisa kita pergi makan?” tanayaku mengalihkan pembicaraan.
“Baiklah ayo.”
*****
Author POV
Rumantik berdiri di depan kaca. Memperhatikan pantulan bayangannya lalu bergumam, “Hmmm, aku siap.” Setelah merasa siap, Rumantik berjalan menuruni tangga hendak keluar dari kos. Pada tangga terakhir, kepala Rumantik tiba-tiba saja terasa pusing. Spontan ia mengarahkan jarinya ke kepala. Seorang teman kos melihatnya dan menegurnya.
“Rumantik.. kamu tidak apa-apa?” katanya sambil memegang kepala Rumantik.
“Tidak apa-apa.” Rumantik langsung berjalan ke ruang tamu lalu duduk di kursi. Setelah beberapa jam duduk, akhirnya rasa sakit itu hilang dan ia memutuskan untuk langsung bergegas pergi. Belum sempat keluar ruangan teleponnya berbunyi. Dia segera membuka flip teleponnya terlihat ada wajah penuh Ijan yang terpampang di sana.
“Halooo.”
“Halooo Rumantik apakah kamu sudah mau pergi.”
“Iya sayang.. ada apa dengan suaramu. Apakah kamu baru bangun?”
“Aku akan menjemputmu sekarang,” katanya mengabaikan pertanyaan Rumantik.
“Tidak perlu. Aku akan berangkat bersama Kiki. Kamu lanjutkan tidur saja.”
Baiklah kalau begitu. Selamat bersenang-senang.”
“Iya.”
Hari ini adalah jadwal Rumantik jalan-jalan bersama Nuansa. Dengan berkendaraan sepeda motor menempuh sekitar 1 jam untuk mencapai pantai Indrayanti yang enak dipandang mata. Rumantik lebih memilih untuk menyendiri karena tujuannya ke pantai bukanlah untuk teriak atau pun bermain air tetapi untuk mencari ketenangan. Ketenangan yang dimaksudkan adalah saat di mana Rumantik bisa mencari inspirasi untuk menggambar. Gambaran alam luas dan bebas adalah gambar nyata yang bisa mewakili sifat anak muda.
Rumantik melihat Nur Salsa dari kejauhan ketika menikmati keasyikannya menggambar, tidak pikir panjang, Rumantik langsung melambaikan tangannya.
“Nur Salsa?” Rumantik memanggilnya untuk memastikan.
“Hey,” Nur Salsa menjawab lalu melebarkan langkahnya menuju Rumantik.
“Kamu sedang apa di sini?”
“Tidak, aku hanya sedang menggambar saja.”
“Memang kamu gambar apa? Sini aku lihat.” Rumantik segera menyodorkan gambarnya ke hadapan Nur Salsa.
“Gambarnya cukup memikat, kamu suka menggambar juga?”
“Iya sedikit.”
Nur Salsa baru menyadari bahwa Rumantik memiliki hobi dan bakat di bidang menggambar sejak berumur 5 tahun. Bahkan dia sempat heran dengan hasil gambar-gambar Rumantik yang hanya dipendam sendiri. Nur Salsa merasa senang menemukan orang yang memiliki hobi dengannya. Nur Salsa yakin, Rumantik sepantasnya juga dinobatkan sebagai ilustrator handal.
“Hasil gambarmu sangat bagus. Kenapa selama ini kamu menyimpan bakatmu itu?”
“Aku hanya belum siap malu,” jawab Rumantik dengan rona wajah yang sudah dikuasai warna tomat.
Mereka menikmati suasana pantai berdua. Tidak seperti pasangan lain yang beradu kasih tetapi lebih kepada berbagi cerita terkait hobi yang sama. Puas dengan pemandangan pantai, Nur Salsa lebih dulu mengajak Rumantik untuk menghampiri teman-temannya yang lain. Saat Rumantik hendak berdiri, lagi-lagi sakit itu menghampirinya.
“Och,” Rumantik segera memegang kepalanya.
“Kamu baik-baik saja.” Kepala itu terasa makin sakit.
“Apa kamu bisa berjalan?”
Rumantik berusaha berdiri namun ia tidak berhasil. Rasa sakit itu terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia hanya menjawabnya dengan menunduk. Nur Salsa kemudian meraih tubuh Rumantik dan menempatkannya di punggungnya. Nur Salsa menggendong Rumantik!! Rumantik terkejut dengan perlakuannya yang tiba-tiba. Ia tak bisa menolak karena ada kesenangan tersendiri yang terus bergejolak di hatinya. Rumantik hanya melihat wajah teduhnya dalam diam. Kini tubuhnya menempel di punggung Nur Salsa. Ia memegang detak jantungnya yang terus berdetak dengan cepat. Ia mengendorkan tubuhnya ke belakang agar membuat jarak dengan Nur Salsa. Dia takut jika Nur Salsa merasakan detak jantungnya.
“Kenapa kamu menjauh? Ayo pegang yang erat supaya kamu tidak terjatuh,” pinta Nur Salsa.
Sepertinya Nur Salsa sudah merasa nyaman dengan posisi sekarang ini. Rumantik kembali mengalungkan leher Nur Salsa dengan tangannya. Dia mempererat pegangannya sesuai dengan saran Nur Salsa.
“Huk huk,” Nur Salsa terbatuk. “Hey… jangan terlalu erat. Aku tidak bisa bernafas,” keluhnya.
“Hehee maafkan aku,” tersenyum nyengir.
“Kenapa kamu berat sekali. Apakah kamu memiliki berat badan hingga 60 kilo,” kelur Nur Salsa.
“Enak saja, berat badanku masih 50-an kok.” Membicarakan berat badan adalah hal yang sensitif bagi seorang perempuan bila diumbarkan kepada laki-laki.
“Iya, beratmu 59 bukan?” ujar Nur Salsa memecah tawa dari mulut mereka berdua.
Rumantik menoleh. Menatap wajahnya yang fokus menghadap ke depan. Dia tersenyum dan menyandarkan dagu-nya di pundak Nur Salsa. Matanya tak beralih melihat wajah tenangnya.
“Sadarlah Rumantik, di sampingmu kini bukanlah Ijan tetapi Nur Salsa. Dia adalah sosok yang jauh dari harapan kamu. Lalu, ada apa dengan detak jantungmu. Bukankah kamu tidak memiliki riwayat penyakit jantung, tetapi saat kamu menempelkan tubuhmu di pundaknya kenapa kamu merasa kamu sedang terkena penyakit jantung. Sadarlah Rumantik, kamu masih memiliki Ijan yang selalu ada di saat kamu butuh,” celoteh Rumantik dalam hati.
*****
Saat menanti waktu, terasa jarum jam amat lambat untuk bergerak. Namun sebaliknya saat waktu tidak ditunggu, terasa hari itu begitu cepat datang. Tidak terasa, hari ini adalah wisuda anggota Nuansa yaitu Rumantik dan Nur Salsa. Apakah hari itu benar-benar terjadi? Rumantik sama sekali tidak mengharap hari ini terjadi, dia masih berharap masih ada hari esok, esoknya lagi. Dia berharap semoga masih ada keajaiban yang membatalkan acara wisudanya itu atau….. Nur Salsa yang diwisudai sekarang langsung berubah menjadi wajah Ijan. Itulah harapan sebenarnya. Dia belum siap untuk tidak terus-terusan bersama Ijan. Rumantik harus memilih jalan di mana ia akan merambah karirnya untuk mencari kerja atau pun melanjutkan studinya. Sedangkan Ijan hanya masih sebatas mahasiswa pengejar gelar sarjana.
Ijan menghubungi Rumantik untuk bertemu dengannya selepas wisuda. Ada hal penting yang ia ingin katakan pada Rumantik. Ia meminta Rumantik untuk lekas pergi ke taman.
“Kamu memiliki agenda lain,” ujar Nur Salsa saat menyadari wajah Rumantik yang dikuasai oleh rasa kebingungan. Rumantik hanya mengangguk.
“Ke mana?”
“Ke taman.”
“Bertemu Ijan?” lagi-lagi Rumantik menunduk.
“Perlu ku antar,” tawar Nur Salsa
“Tidak perlu. Kamu lanjutkan saja aktivitasmu. Ini kan acara penting.”
“Baiklah.”
“Aku pergi.”
Rumantik segera bergegas menuju tempat parkir dan mengendarai Nathan menuju taman. Sesampainya di taman, ia melihat Ijan yang sedang duduk di bangku taman, ia memutuskan segera menghampirinya.
“Bagaimana perasaanmu Ibu Sarjana?” ungkap Ijan tersenyum.
“Perasaanku akan lebih bahagia lagi jika kamu bersanding dengaku. Untuk apa kamu menyuruhku ke sini,” ucap Rumantik tanpa butuh basa-basi.
“Hmmm. Kumohon kamu mau mengerti,” jawab ijan lalu menghela nafasnya, “Mungkin hubungan kita hanya sampai di sini. Aku akan kembali seperti dulu menjadi sahabatmu. Maaf, aku tau hal ini sangat menyakiti hatimu. Tetapi aku tidak bisa lagi mempertahankan hubungan ini. Jadi ku mohon mengertilah,” jelas Ijan panjang lebar.
            Rumantik kaget dengan perkataan Ijan. Apa kali ini adalah hari bahagianya. Apa Ijan hanya ingin memberikan kejutan? Rumantik terkekeh dan tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya diam seraya menatap wajah Ijan.
“Maaf,” kata Ijan lirih.
“Aku hanya butuh kepastian kenapa kamu memutuskan aku.” Rumantik berusaha tegar dan tersenyum ke arahnya. Rumantik sama sekali tidak meneteskan air matanya seperti kebanyakan orang lain saat diputuskan sang kekasih. Rumantik hanya merasa kecewa.
“Dari dulu aku sebenarnya tidak mau meneruskan jalinan asmara ini lagi namun lagi-lagi aku berpikir jika aku memutuskan kamu, maka karirmu akan usai. Aku menunggu saat yang tepat, saat di mana kamu telah menggapai karirmu sebagai sarjana,” jelas Ijan.
Mendengar penjelasan dari Ijan cukup membuat Rumantik terpancing tetapi tak sampai hati meruntuhkan air di matanya. Entah karena kebal atau mungkin karena ia sudah tidak mencintainya lagi. Hanya satu yang ia rasakan, kecewa.
Ijan bangun dari tempat duduknya, begitu juga dengan Rumantik.
“Terima kasih atas selama ini, aku tidak akan melupakannya,” ujar Ijan lalu berlalu meninggalkan Rumantik.
Ruamantik melihatnya naik ke atas motornya dan menghilang. Rumantik masih terpaku. Pengakuannya itulah yang membuat ia bersedih.
Tiba-tiba seseorang memeluk Rumantik dari belakang. Rumantik melepaskan pelukannya dan berbalik ke belakang.
“Nur Salsa???” tanyanya kaget.
“Yup. Jika kamu ingin menangis, menangislah.” Nur Salsa kembali memeluknya. Rumantik membenamkan kepalanya di dada bidangnya. Anehnya, Rumantik tidak menangis sama sekali, justru ia malah menikmati tubuh hangat Nur Salsa. Nur Salsa membelai rambut Rumantik. Perempuan itu merasa sangat nyaman dan ini yang dia tunggu dari dulu.
Cukup lama Nur Salsa memeluknya sampai akhirnya memutuskan untuk melepaskan pelukannya.
“Kenapa tidak menangis?” tanyanya sedikit tercengang.
“Tidak tahu. Aku tidak sedih,” jawab Rumantik seraya tersenyum. “Boleh ku pinjam lagi dadamu?” katanya sedikit ragu karena takut Nur Salsa tidak mengizinkannya.
“Tentu,” jawabnya lalu kembali memeluknya.
Dapat dipastikan sekarang jika Rumantik mencintai Nur Salsa. Sangat mencintainya.
Mereka berpelukan sangat lama. Nur Salsa terus membelai rambut Rumantik. Apakah Nur Salsa merasakan hal yang sama dengan Rumantik? Semoga jawabannya, iya.

To be continued

Click here to continue