Sejak
kejadian itu Rumantik telah memutuskan untuk hidup sendiri. Ia tak mungkin
mengharapkan cinta dari sosok Nur Salsa. Ia tahu pasti komitmen Nur Salsa
seperti apa dan komitmen itu tak mungkin dilanggar. Ia juga tak bisa
menggantungkan hidup kepada lelaki lain.
Sudah
5 kali Desember Rumantik tidak pernah bertatap dengan kedua pria itu dan
mungkin Ijan telah memutuskan dirinya berada di pangkuan orang lain. Entahlah…
itu sudah berlalu namun hatinya kenapa terus-terusan mengingat Nur Salsa??
Segelas
coffemix cukup menghibur Rumantik bermain dengan laptopnya. Meluangkan waktu
berdiam diri berjam-jam untuk mengutak-atik keyboard adalah aktivitasnya setiap
hari. Sudah 3 bulan ia menetap di Jakarta namun ia belum mendapat pekerjaan
tetap. Ia akan mendapat uang hanya jika ia sudah menyelesaikan tender-nya
sebagai penulis. 5 tahun cukup untuk membuat dirinya tambah matang dan bisa
terus maju ke depan.
“Kamu
Rumantik bukan?” ujar seseorang di belakang punggung Rumantik. Suara itu
berhasil membuat Rumantik terkejut dan merasakan aliran dingin itu. Suara itu
lagi… suara itu yang terus mengerubuni hari-hari Rumantik setiap kali ia akan
meredupkan matanya. 5 tahun ia menyembunyikan dirinya dari bayangan lelaki itu,
kini gagal hanya karena mendengar dengan suara nyata itu.
“Hey,”
ujar Rumantik sembari membalikkan badan.
“Boleh
aku duduk di sini?” tawar Nur Salsa
“Iya…”
“Ke
mana saja kamu selama ini? sepertinya kamu sengaja menghilang?”
“Aku
hanya tidak mau terbelenggu dengan masa lalu.”
“Aku
mengerti perasaanmu, pasti hatimu sakit saat keputusan Ijan yang secara
mendadak dan sepihak.”
“Bukan
itu yang ku maksud, aku tidak mau terbelenggu oleh bayang-bayangmu. Aku lebih
tersiksa melihat bayanganmu dibandingkan diputuskan oleh Ijan. Ku mohon kamu mengerti,”
batin Rumantik.
Nur
Salsa melambaikan tangannya untuk menyadarkan Rumantik dari lamunannya.
Sepertinya Rumantik memiliki luka yang amat dalam jika membahas laki-laki itu.
“Aku
hanya bercanda, sudahlah jangan bahas masa lalu,” sela Nur Salsa. “Sekarang
kita bahas masa depan. Ngomong-ngomong kamu berbeda sekarang.” Nur Salsa
memperhatikan penampilan Rumantik dari atas sampai bawah. Ia bahkan tidak
melepas pandangannya dari wajah Rumantik.
“Bukannya
wajahku tidak berubah. Aku tidak melakukan operasi plastik,” canda Rumantik.
“Kamu
sekarang terlihat lebih anggun dan cantik, itu yang menjadi pembeda. Dulu kamu
terlalu cuek dengan penampilan. Hanya memakai celana jeans yang dibeli waktu
kamu SMP, memakai kaos oblong dan dilapisi oleh kardingan bolong, bukan?”
Penjelasan Nur Salsa membuat Rumantik tersipu. Tak terbayang betapa culunnya
Rumantik dulu.
“Diam-diam
ternyata kamu memperhatikan penampilanku. Apakah kamu seorang psikopat?” Ucapan
Rumantik berhasil membuat Nur Salsa tertawa. Tak hanya Rumantik yang berubah
Nur Salsa juga seperti itu. Dia terlihat lebih tampan dari sebelumnya dan
terlihat lebih matang. Wajahnya yang dulu berminyak dan dikelilingi jerawat
tidak terlihat lagi. Sifatnya juga berbeda. Dulu dia amat kaku, tidak pernah
berani untuk berbincang dengan perempuan lebih dari 1 jam. Dia seakan
menghindar dari godaan perempuan yang terpuji. Sekarang dia amat berbeda,
sebelumnya dia hanya menghabiskan 5 menit untuk tertawa setiap harinya sekarang
ia akan menghabiskan berjam-jam waktunya untuk tertawa. Semua memang sudah
berubah.
“Sepertinya
kamu sudah lama di tempat ini. Apakah
ini tempat tongkronganmu? Tapi kenapa harus nongkrong sendirian?” bahkan
sekarang Nur Salsa lebih banyak memiliki perbendaharaan kata untuk memulai
sebuah percakapan.
“Aku
memang senang menyendiri untuk sekedar mencari inspirasi.”
“Inspirasi
apa?”
“Menulis..”
“Kamu
sekarang jadi penulis ya? Kamu sudah tidak menggambar lagi?”
“Menggambar
itu jiwaku.”
“Coba
aku lihat hasil gambarmu.”
Rumantik
segera menyodorkan buku gambanya. Nur salsa segera membuka satu persatu hasil
gambar Romantik. Tatapannya memperhatikan satu persatu makna gambar tersebut.
Tangan Nur Salsa terhenti saat membuka lembaran pertengahan di mana gambar itu
tidak asing lagi bagi dirinya.
“Bukankah
gambar ini dari Novel
Tiga Kali Desember?”
“Kamu
pernah baca novel itu?” Tanya Rumantik dengan penuh antusias.
“Pernah,
aku bahkan sampai tiga kali membaca novel itu.”
“Yakin,
kenapa sampai sebanyak itu,” Rumantik tambah penasaran mendengar penjelasan Nur
Salsa.
“Karena
aku bisa merasakan apa yang dirasakan oleh penulis.” Bibir Rumantik bergetar.
Dia tidak memiliki kekuatan lagi untuk hanya sekedar menggigit bibirnya.
Kegugupannya membuatnya juga tak mampu
untuk berkata.
“Sekarang
apa aktivitasmu di Jakarta,” tanya Nur Salsa berusaha mencairkan suasana.
“Aktivitasku
sekarang ini hanya seperti ini saja. Nongkrong seharian di kafe dan menulis.”
Mendengar
pengakuan Rumantik, Nur Salsa menawarkan pekerjaan kepada Rumantik sebagai
notaries di tempat ia bekerja. Kebetulan Koran Kompas sedang membutuhkan
seorang notaris yang ramah dan bisa berbaur dengan para staf yang lain.
Menurutnya Rumantik telah memenuhi
kriteria tersebut terlebih ia tahu bagaimana kinerja Rumantik sewaktu menjadi
anggota Nuansa.
“Yakin,
kamu bisa memperkerjakan aku di tempatmu?”
“Asal
saat kamu kerja,
kamu harus memanggil aku bapak…”
*****
Takdir
Tuhan siapa yang dapat memprediksinya. Manusia hanya bisa menyusun puzzle untuk
mengetahui jalan hidup mereka. Kini Nur Salsa dan Rumantik ditakdirkan bersama
lagi sebagai rekan
kerja. Nur Salsa baru-baru ini diangkat sebagai pimred di Koran Kompas atas
sikap kepemimpinannya yang mampu membimbing para karyawan yang lain, selain itu
juga ia termasuk orang yang tegas. Tak dapat dipungkiri dia juga menang dalam
hal penampilan. Dengan begitu Nur Salsa dengan mudah merekrut Rumantik sebagai
notaris. Intensitas mereka bertemu juga semakin sering. Ada rasa senang yang
terus membanjiri perasaan mereka saat bertemu, pun itu hanya sekedar saling
tatap saat bertemu di jalan.
“Rumantik…
tolong tulis respon kita terhadap kerja sama yang ditawarkan oleh pihak
unilever. Poinnya sudah saya simpan di draft. Satu lagi tolong tulis hasil
publik hearing kemarin supaya saya tahu hal apa yang perlu dibenahi,” pinta Nur
Salsa panjang lebar.
“Baik
pak,” jawab Rumantik. Ia segera membalikkan badan hendak keluar dari ruangan
Nur Salsa untuk segera menyelesaikan tugasnya. Belum sempat ia memegang knop
pintu, tangannya sudah terhenti mendengar panggilan dari Nur Salsa.
“Kalau
ini permintaan khusus. Buatkan aku susu putih,” ujar Nur Salsa sambil
mengangkat kedua alisnya dan memperlebar bibirnya.
“Baiklah,
tuan resek,” jawab Rumantik menunjukkan gaya pasrahnya yaitu melebarkan
peredaran giginya, melalui mengirikan gigi bawahnya dan menganankan gigi
atasnya,
seraya menggoyangkan lehernya. Begitu puasnya tawa Nur Salsa melihat aksi
Rumantik.
“Jika
kamu sudah menjadi partnerku, otomatis kamu sudah siap menjadi budakku,” ucap
Nur Salsa penuh kepuasan.
Nur
Salsa sepertinya memiliki kepribadian ganda. Saat sedang memimpin rapat ia bisa
memerankan perannya sebagai tokoh pemimpin. Berani memberikan keputusan dan
berani mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah ia buat. Sangat berbeda jika
ia sedang berada di hadapan Rumantik. Dia akan berani berani bermanja-manja
dengannya. Rumantik sudah mengetahui hal itu, bahkan sebelum rapat Rumantik
menyempatkan dirinya membekali Nur Salsa dengan segelas susu putih. Rumantik
bagaikan kakak perempuan, sahabat, dan partner kerja bagi Nur Salsa. Tak heran
jika sewaktu-waktu ia mencuri-curi waktu untuk mengunjungi ruang kerja
Rumantik.
“Mohon
maaf ada yang bisa dibantu pak?” sapa Rumantik saat melihat Nur Salsa berada di
depan meja kerjanya.
“Kamu
tidak mempersilahkan aku duduk?”
“Silahkan
pak, dengan senang hati. Apakah
bapak perlu bantuan?”
“Jangan
ngomong formal gitu dong. Aku merasa risih sekali jika kamu berkata seperti
itu.”
“Bukankah
ini aturan selama masih berada di atap kantor bukan?”
“Peraturan
itu tidak berlaku jika kita hanya sedang berdua.”
“Begitu,
baiklah… lalu ngapain kamu ke sini. Ini belum jadwal istiahat.”
“Atasan
bisa kerja dan istirahat kapan saja,” senyum manis terukir dari bibir seksi Nur
Salsa.
“Resek,”
respon Rumantik. Ia mengubah posisi duduknya dengan menyenderkan kepalanya ke
kursi.
“Tidak... aku ke sini aku hanya ingin
berbincang-bincang saja.”
Begitulah
yang dilakukan Nur Salsa setiap kali ia memiliki waktu luang. Sengaja menggoda
Rumantik yang sedang bekerja keras melakukan pekerjaan yang diperintahkannya.
Nur Salsa akan puas menggoda jika Rumantik sudah kesal dan menunjukkan ekpresi
kekesalannya.
“Kamu
mau ngapain lagi ke sini?”
“Begitu
ya… sekarang sudah mulai tidak sopan dengan bosmu.”
“Nur
Salsa resek, sudah keluar dari ruangan ini!”
“Jika
aku tidak mau?” pancing Nur Salsa.
“Aku
yang akan mengusirmu..”
“Coba
saja.”
“Baiklah
jika itu maumu..”
Dengan
segenap Rumantik mengeluarkan gaya taekwondo-nya untuk mengusir Nur Salsa dari
ruangannya. Nur Salsa yang masih memiliki sifat feminim dapat dikeluarkan dari
ruangan dengan mudah.
“Sial,” batinnya.
Kata
orang banyak jalan menuju Roma. Istilah tersebut juga berlaku untuk Nur Salsa,
ada banyak taktik dia untuk sekedar menganggu Rumantik dari pekerjaannya.
“Rumantik…”
“Hmmm,”
respon Rumantik seadanya.
“Boleh
berbincang?”
“Saya
lagi banyak kerjaan, bisakah Anda keluar jika bukan perihal yang mendesak.”
“Cetus
amat.” Sepertinya Rumantik sudah terpancing emosinya.
“Kalau
kamu bukan bos-ku, aku sudah pampang di depan pintu kalau yang bernama Nur
Salsa dilarang masuk di ruangan ini,” ujar Rumantik dengan volume yang agak
ditinggikan.
“Kalau
aku ganti nama pada saat itu gimana? Dan aku juga sudah membuat beras merah
agar namaku sudah ganti,” ujar Nur Salsa mengangkat kedua alisnya.
“Resek…..”
Nur
Salsa tertawa puas setelah melihat ekpresi Rumantik.
“Ini
serius, aku ke sini hanya ingin bernostalgia tentang Nuansa. Apa kamu tidak
rindu dengan anak Nuansa?”
“Kamu
masih berhubungan dengan mereka.” Wajah Rumantik seketika sumringah saat
mengenang Nuansa.
“Aku
masih chating-an di group facebook,” jawab Nur Salsa.
“Aku
juga lumayan sering kontak mereka. Kira-kira kak Ahlul sudah memiliki facebook
tidak? Bahkan aku sama sekali tidak pernah mendengar kabarnya, gara-gara dia
tidak facebook.”
“Dia
memang orang yang memiliki komitmen teguh, sekali tidak ya tidak… dengar kabar
dia bekerja di Republika.”
“Waow
keren juga… kamu masih ingat Kiki?”
“Cewek
macho nan perkasa itu?”
“Sekarang
sudah jadi feminim, bahkan sekarang dia sudah menjadi ustadzah… tiap hari pakai
gamis terus.” Rumantik tambah bersemangat membicarakan keluarga Nuansa.
“Jika
begitu Ahlul
dan Kiki sangat cocok dijodohkan. Kan mereka sama-sama akhi-ukhti.”
Mereka
semakin bersemangat bergosip.
“Kamu
tahu kak Fikar? Sampai sekarang dia belum memiliki hubungan asrama dengan
perempuan mana pun. Dia terlalu sibuk memikirkan karirnya.”
“Mereka
semua memiliki sejarah sendiri dan unik untuk dikaji,” respon Nur Salsa di akhir perbincangannya.
*****
Beberapa
hari ini Rumantik sudah mengabaikan kertas-kertas di mejanya yang minta untuk
diisi. Kanvas dan pewarnanya pun sudah mulai mengering tanpa ada yang menyentuhnya. Tak
hanya itu, cerita fiksi yang ia biasa kerjakan hampir separuh dari harinya
tidak pernah ia kerjakan lagi. Kesibukan terus melanda dirinya. Hanya di kantor-lah dia sesekali mengecek tulisannya.
Masih banyak tagihan novel yang masih mengawang dan perlu dibuatkan ending yang
indah. Sore ini ia berniat untuk mengerjakannya hingga tanggal berganti. Ia
hendak membuat segelas coffemix namun segera mengurungkan niatnya akibat stok
gelas di rak piring sudah habis. Terpaksa ia mencuci satu-persatu gelas yang
masih berserakan di atas meja.
“Semuanya
sudah selesai, saatnya menulis,” ucap Rumantik dengan penuh antusias.
Sepertinya
ia sudah dibius oleh kantuk saat setelah menyelesaikan beberapa lembar halaman.
Ia tuangkan lagi coffemix ke dalam gelas dan mengambil air panas dari
dispenser. 3 gelas coffemix tak mempan, matanya tetap merekat. Alisnya terus
menempel ke pipi. Akhirnya tanpa ba bi bu segera ia meluncurkan badannya di
atas kasur. Barang-barang yang masih berserakan di sana satu persatu dibuangnya
agar tidurnya nyaman. Badan yang gatal akibat keringat pun tak mampu menghalangi nafsu
tidurnya.
Berkali-kali
suara ponsel-nya bordering mengusik tidur Rumantik. Sebal dengan suara itu, ia
meraih bantal untuk menutup telinganya. Suara ponsel itu bisa menembus bantal hingga
membuatnya menyerah. Dia meraba-raba satu persatu benda yang tergeletak di
kasurnya. Dia baru teringat bahwa sebelumnya dia pernah membuang benda-benda
tersebut yang sepertinya sekarang berceceran di lantai. Dengan susah payah ia
meraih ponselnya ke lantai karena malas berpindah dari tempat tidurnya dia
berusaha memanjang-manjangkan badannya untuk bisa menggapai benda berisik itu.
Dia
segera membuka flip ponselnya dan melihat wajah penuh Nur Salsa dari layar
ponselnya.
“Ada
apa?” tanya Rumantik tanpa basa-basi. Suaranya terdengar masih parau
“Bisa
kita bertemu di taman malam ini?”
“Aku
sangat ngatuk sekarang ini, bisakah bertemunya di lain waktu saja,” pinta
Rumantik. Dia sudah tidak bisa lagi menelanjangkan matanya. Sepertinya matanya
sudah di lem dengan lem super lengket.
“Aku
mohon..” Mendengar permintaan Nur Salsa yang tulus, Rumantik pun mengikuti permintannya. Dengan setengah
tenaga yang dimilikinya ia melangkahkan kakinya untuk meraih motornya.
Sepertinya bumi saat ini sedang ditemani oleh percikan air, jika seperti ini
Rumantik tidak berani membawa Nathan keman-mana. Menggunakan taxi adalah
alternatif yang tepat untuk membimbingnya ke taman.
“Terima
kasih sudah datang,” ucap Nur Salsa saat melihat kedatangan Rumantik.
“Apakah
ada hal yang penting sehingga kamu mendesakku untuk menemuimu.”
Nur
Salsa hanya tersenyum kecil. Sebenarnya tidak ada kepentingan maupun perihal
yang mendesak tetapi ia hanya ingin melihat wajah Rumantik. Ia rindu dengan
senyumannya, rindu dengan tingkahnya saat dirayu. Ia kini memindahkan tangannya
ke kepala Rumantik kemudian membelainya.
“Sebenarnya
ada perihal apa?”
tanya Rumantik. Sentuhan itu berhasil membuat dingin yang terus menjalar di
sekujur tubuhnya. Nur Salsa terlihat tampan dari biasanya. Dia terlihat lebih
muda dengan pakaian santainya. Menggunakan kaos berwarna pink dengan corak
garis horizontal ditambah celana yang bolong di mana-mana. Dia terlihat berbeda
jika dibandingkan pakaian formalnya saat di kantor.
Mendengar
pertanyaan itu Nur Salsa segera membimbing Rumantik untuk menuju sebuah pohon.
Nur Salsa membekap mata Rumantik. Rumantik ingin melepaskan tangan Nur Salsa
namun ia mengurungkan niatnya. Nur Salsa melepaskan daun-daun dari rantainya
sampai pada akhirnya ia membuka sebuah tulisan.
“Nur
Salsa & Rumantik?” ujar Rumantik setelah membuka matanya.
Tanpa
berkata Nur Salsa mengangguk sambil memperlihatkan senyum dari bibirnya.
Rumantik meraba tulisan tersebut tanpa sadar ia menangis terharu.
Jari-jemarinya merah tertempel oleh tulisan itu. Tulisan merah itu tak lain
hanya berasal dari getah pohon berdasarkan penjelasan dari Nur Salsa.
“Nur
Salsa & Rumantik… akan selalu terkenang oleh bumi Indonesia. Namaku dan
namamu takkan pernah terpisahkan, meskipun di kehidupan nyata Tuhan menakdirkan
kita untuk untuk memilih jalan yang berbeda namun pohon ini saksi bisu bahwa
kita akan selalu bersatu,” jelas Nur Salsa. Jemarinya yang panjang membasuh air
yang terus mengalir di pipi Rumantik. Nur Salsa selalu membuat kejutan yang di
luar prediksi Rumantik, seperti halnya malam ini. Tak ada kata cinta yang
terlontar di antara mereka namun tatapan mata dan bahasa tubuh bukankah itu
sudah menandakan adanya perasaan itu.
Ketika
sedang menelusuri jalan yang dingin diiringi bulir-bulir air dari langit sambil
bersama-sama bercengkrama di dalam mobil Nur Salsa, Rumantik sudah merasa jalan
yang dituju sudah hampir sampai. Rumantik memanfaatkan kesempatan itu dengan
berpura-pura mengungkit penyakit masa lalunya. Ia menggeliat-liat sembari
mengerang. Nur Salsa sempat ingin memberhentikan mobilnya namun Rumantik
melaranganya. Mobil itu berhenti saat setelah mencapai tempat yang dituju. Nur
Salsa membuka pintu mobilnya dan mempersilahkan Rumantik untuk keluar. Mengerti
dengan isyarat yang Rumantik berikan, Nur Salsa menggendongnya menuju kontrakan
Rumantik.
“Aku
menunggu momen ini,” ucap Rumantik dengan paras memerah.
“Berarti
sakit migrain yang kamu idap jaman dulu itu hanya sekedar pura-pura?” Rumantik
semakin mengerat pegangannya.
“Beruntung
sekarang beratmu sudah berkurang banyak,” ledek Nur Salsa
Lambat-lambat
Nur Salsa menurunkan Rumantik dari gendongannya. Segera dia berpamit untuk
pulang tanpa berdiam sejenak di tempat Rumantik. Dia melambaikan tangan dengan
amat berat seolah tak ada waktu tersisa bertemu dengannya. Nur Salsa memandangi
wanita itu dari belakang dan menyadari betapa tubuhnya menjadi mungil. Dia
mempercepat langkah lalu menenggelamkan tubuhnya dalam rengkuhan kedua
lengannya. Jika dia memeluk Rumantik dari belakang, dia bisa menyandarkan
kepala wanita itu di dadanya.
Rumantik
bisa merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Apa yang dipikirkan oleh Nur
Salsa, kelakuannya sungguh aneh. Rumantik merenggangkan tangan Nur Salsa namun
tangannya semakin erat memeluk Rumantik.
“Beri
aku sejenak waktu untuk seperti ini. aku mohon!!!” Rumantik tidak mampu
berkata. Bahkan mulutnya seakan terkunci rapat. Dia hanya memalingkan wajahnya,
menyembunyikan air matanya.
*****
“Halo?”
sapa Rumantik di telpon saat sedang berada di kantor.
“Rumantik,
kamu ditugaskan oleh Pak Nur Salsa. Poinnya ada di draft tolong garap tugas
itu,” ujar seorang staf dengan suara tertelan.. “Aneh” batin Rumantik. Ia
segera mengecek di draft dan membaca tulisan
“Tolong
buatkan undangan pernikahan saya segera. Berikut poin-poinnya…………….”
Rumantik
tersentak memundurkan kursinya ke belakang. Jantungnya berdebar-debar. Keringat
dingin membasahi sekujur tubuhnya. Refleks tangannya meraba-raba kembali tulisan yang tertera di
layar komputer. Tangannya berhenti meraba. Menjenjang dalam kehampaan. Dengan
tangan bergetar ia memainkan kata di pembuat kata. Nur Salsa lelaki yang ia
harapkan selama ini, selama 5 tahun ternyata penantiannya tak berujung apa-apa.
Di manakah ia sekarang? Tak terasa air mata meleleh ke atas keyboard. 5 kali Desember ia
merindukan belaian lelaki itu. Rumantik menggigit bibir menahan tangis sambil
terus menangis. Sempat terbersit untuk menulis kalimat di mana pasangan
perempuan bukanlah Putri Salsabila melainkan namanya sendiri, Rumantik. Tetapi
ia dengan cepat menekan backspace.
Kembali lagi ia ingin di akhir undangan
menuliskan. Dari orang tua mempelai laki-laki Yordan Gunawan &
Rabba’ah turut mengucapkan terima kasih & f**k you.
“Bagaimana
undangannya? Sudah selesaikah?” ujar Nur Salsa secara tiba-tiba menghampiri
Rumantik. Mendengar suara yang tidak dinginkannya itu, Rumantik segera
membalikkan kursinya.
“Sebentar
lagi akan selesai. Nanti saya akan kirimkan ke email bapak hasilnya.” Ketika
kabut duka yang terus menggumpal, pelukan itu segera dibutuhkan. Ingin sekali
Nur Salsa mendekap Rumantik seperti yang telah ia lakukan semalam.
“Bisakah
kita berbicara sebentar?” tawar Nur Salsa dengan suara berat.
“Jika
bapak sudah tidak memiliki kepentingan lagi. Tolong keluar dari ruangan saya!”
perintah Rumantik dengan penuh sesal.
Nur
Salsa terenyuh melihat sikap Rumantik demikian tegar. Padahal laki-laki yang
dikasihinya itu pergi ke pelukan perempuan lain. Rumantik jelas sedih. Tetapi
berusaha keras menutupinya. Paling tidak terlihat tegar di depan lelaki yang
dikasihinya sejak 5 kali berlalunya Desember. Sikapnya justru itu justru
membuat Nur Salsa semakin didera rasa bersalah.
*****
Hari-hari
yang kemudian mendatangi memang bukan hari yang mudah. Tetapi Rumantik berjuang
keras untuk menyelamatkan dirinya dari keruntuhan mental. Dia berusaha
melupakan kesedihannya. Kesepiannya. Dia menyerahkan dirinya secara total untuk
terus mengejar karir. Begitu banyak hari-hari indah yang telah mereka lewati
bersama, begitu banyak kenangan yang tak terlupakan. Yang pahit, apalagi manis.
Rumantik
lebih banyak berkhayal dari pada menulis. Lebih banyak berdiam diri dari pada
ngobrol dengan rekannya. Matanya lebih banyak melihat ke sekeliling ruangan,
seakan-akan Nur Salsa akan kembali lagi ke ruangan itu. Harapan itu tidak
mungkin lagi terjadi. Nur Salsa sudah bahagia dengan pelukan Salsabila di
tempat kelahirannya, Aceh. Kabar terakhir yang didapat Rumantik, alasan mereka menikah karena dijodohkan. Hanya itu yang dia tahu dan cukup hanya itu. Semakin banyak
mendengar namanya semakin banyak pula duri yang terus menggerogoti hatinya.
Rumantik
mengalihkan jemarinya ke amplop yang terletak di mejanya. Sebuah surat untuknya
dari Nur Salsa. Sudah behari-hari surat itu tergeletak manis tanpa sentuhan
jemarinya. Sempat ia memegangnya untuk segera membuangnya namun rasa penasaran
itu masih terlalu tinggi. Setelah berperang
dengan egonya sendiri akhirnya
ia memberanikan diri untuk membuka kapas
terukir itu. Sebuah buku harian terdapat di dalamnya.
“Kisahku
dan kisahmu…”
Hey.. Rumantik, mungkin setelah
kamu baca ini aku sudah bisa tidak di pelukanmu lagi. Dan seperti waktu
sebelumnya aku lelaki yang terlalu bodoh yang tidak akan pernah bisa
menggapaimu. Aku mohon kamu tersenyum. Aku rindu dengan senyuman manismu dan
aku sangat merindukan ekpresi jelekmu saat aku menggodamu. Kalau kamu tidak
tersenyum. Jangan harap kamu
bisa membuka lembaran berikutnya. Oke semoga kamu tersenyum.
12
Desember 2012
Malam itu kau meruntuhkan hatiku
dengan berbagai getaran dingin saat mata kita beradu melihat dua pasangan
dengan penuh bumbu romantisme. Bibirku terlalu kaku untuk mengucapkan kata.
Tanganku sangat dingin namun aku tak punya kekuatan untuk sekedar
menggenggamnya. Aku berhasil mencairkan suara dengan berkata…. “Jika Ahlul
melihat adegan ini, maka kita berdua akan segera dirajam.” Ingat tidak
omongangku ini. Ungkapan ini sengaja terucap untuk mengurangi rasa kerisauan
hati saat berada di dekatmu. Aku menggeliat di atas kasur entah itu aku
tersadar atau sedang tertidur tetapi tanpa ku sadari aku tersenyum. Senyum
bahagia saat membayangkan wajahmu. Naluriku berputar lagi. Aku tidak mungkin
mendekatinya.. dia.. dia… dia yang berhasil membuat telapak tanganku basah saat
di dekatnya
telah
dimiliki orang lain. Naluri itulah yang
membuatku sebisa mungkin untuk terdiam.
17
Februari 2013
Perasaanku sangat tidak karuan saat
mendengar suara paraunya dan mengabarkan bahwa dia tersesat di Hutan Waduk
Sermo. Pada saat itu aku sangat panik. Aku dengan segala ketidawarasanku
bertanya kepada setiap orang yang kulihat. Bibirku selalu bergetar dan
mengucapkan lafadz agar kau baik-baik saja di sana. Sampai aku melihat
punggungmu, entah rasa bahagia apa yang menggerogoti relung hatiku. Lagi-lagi
aku tersadar bahwa wanita itu milik orang lain. Aku mengajaknya pulang tanpa
membimbingnya. Aku ingin sekali memegang tangan dingin itu.
11
April 2013
Kami hari akan berangkat ke pantai
bersama anak Nuansa. Aku berharap aku mendapat ketenangan di sana. Aku
mencari-cari tempat di mana aku bisa menyendiri. Sebuah lambaian tangan wanita
itu sanggup mendorong langkahku ke hadapannya. Senyum puas terukir dari bibir
manisnya. Aku senang sekali diberi kesempatan untuk bisa berdua dengannya. Aku
baru sadar dia hobi menggambar sama halnya denganku. Kami banyak memberi cerita
tentang pengalaman selama menekuni dunia gambar. Saatku melihat matahari hendak
ditutupi oleh awan,
aku mengajaknya
balik. Tubuhnya begitu lunglai, lagi-lagi perasaanku tidak karuan saat
melihatnya berusaha mengurangi rasa sakitnya. Tanpa pikir panjang aku segera
menggendongnya. Dia ternyata memiliki berat badan yang terlampau dari
pikiranku. Tunggu dulu… kok tiba-tiba lahar dingin itu kembali menggerogotiku.
Detaran jantungku tidak karuan. Bisakah aku terselamatkan dari perasaan ini.
Aku tidak mau terbelenggu dengan perasaan yang menyiksa ini.
18 Oktober 2012
Aku sangat merindukannya. Kamu tahu
kan siapa yang kurindukan? Sudah sekian lama kami tidak pernah bertemu lagi.
Kegiatan Nuansa tidak pernah mengharuskan kami untuk datang. Padahal aku ingin
sekali ke sana untuk sejenak memandang wajahnya. Kami terlalu sibuk
menyelesaikan tugas akhir kami. Atau mungkin dia lebih nyaman berada dekat
dengan lelaki yang setia di sisinya.
3 Desember 2013
Hari ini adalah hari kelulusan
kami. Aku melihat rona merah dari secuil pipi berisinya. Aku sungguh senang
melihat wajah bahagianya. Tapi kenapa tiba-tiba wajah bahagia itu berubah menjadi
risau. Ternyata lagi-lagi pacarnya menyuruhnya untuk bertemu. Benar-benar iri
melihat itu. Dia segera pergi ke taman. Tanpa dia sadari aku memunggunginya.
Aku mendengar semua percakapannya. Aku meraihnya ke dalam tubuhku saat lelaki
yang menyakitinya pergi. Dia nyaman dengan pelukanku tetapi aku heran kenapa
dia tidak menangis. Dia hanya tersenyum dan memintaku lagi untuk memeluknya.
Aku semakin yakin dengan perasaanku jika aku mencintainya.
27
Desember 2013
Kenapa dia tiba-tiba menghilang.
Aku dibuat tidak karuan dengan keberadaanya. Ke mana dia pergi. Tolong beri aku
petunjuk untuk menemukannya. Aku sangat merindukannya. Aku mengontak nomernya
tapi tidak aktif. Mungkin ia telah membuang kartu selulernya ke aquarium
raksasa. Aku mencarinya di facebook tetap juga tidak bertemu. Aku mencari dia,
bahkan aku sampai bertanya-tanya kepada teman terdekatnya, pencarian itu nihil.
19
Desember 2018
Hey… aku kembali lagi membuka buku
ini. Setelah 5 tahun berlalu. Saat ku buka, ternyata banyak kisah yang mampu membuat
tawa. Kamu tahu? Malam ini aku bertemu dengannya. Harapannya yang aku kubur
selama lebih dari 5 tahun itu kini terwujud. Aku tidak mau melepaskannya begitu
saja. Untuk itu aku menawarkan dia bekerja di tempatku. Kamu pasti tahu kan
perasaanku saat ini…?
27
Desember 2018
Setiap hari aku lebih banyak
tersenyum dari biasanya. Apalagi sekarang aku sudah memiliki berbagai cara
untuk menggodanya. Menjadikannya budakku meskipun hanya sekedar membuatkanku
susu putih. Aku senang sekali melihat ekpresinya saat cemberut. Dia terlihat
menggemaskan. Aku membuka lagi “Tiga Kali Desember” novel yang ku baca berulang
kali adalah karangan dia. Meskipun sebelumnya aku tidak tahu siapa pengarang
aslinya tetapi saat membaca novel itu aku merasa jiwaku ada di sana. Aku semakin
hari semakin jatuh cinta terhadapnya.
5
januari 2019
Aku mungkin orang yang paling bodoh
sedunia. Kenapa aku tidak mengungkapkan perasaanku terhadap wanita itu yang
jelas-jelas juga menaruh hati padaku. Semua orang mungkin akan menganggapku
bodoh. Tapi tahukah kamu wanita itu tidak ingin aku jadikan sebagai kekasihku
melainkan sebagai istriku.
Itulah alasanku selama ini. Menjadi teman tapi mesra lebih baik bukan?
18
Januari 2019
Sudah kumantapkan hatiku untuk
segera melamar dia. Aku yakin dia pasti akan terima lamaranku. Bertahun-tahun
kami mengenal dan aku sudah ahli perasaannya. Aku meminta restu dari orang
tuaku. Hal yang tidak ingin ku dengar dari dulu mau tidak mau harus ku dengar.
Bahwa ternyata aku sudah dijodohkan oleh orang tuaku. Dari dulu aku selalu
mengabaikan perjodohan itu. Sampai akhirnya semua persiapan sudah tertata rapi.
Hanya tinggal menunggu kedatanganku. Aku berkali-kali menepuk pipiku supaya
tersadar. Ini bukan mimpi tapi kenyataan. Aku cepat-cepat mengendarai mobilku.
Aku terus mengemudi tanpa tahu arah. Aku memberhentikan lajuku di taman tempat
aku dan wanita yang dari dulu ingin aku panggil adinda bertemu. Aku mengukir
kata Nur Salsa & Rumantik dengan pisau. Aku menggores jariku dengan pisau
sampai warna merah itu menetes. Aku menajamkan tulisan itu dengan darahku.
Kuharap bumi tidak akan menghapus romantisme kami berdua. Kali ini aku mengakui
bahwa aku memang bodoh. Aku menelponnya, aku memaksanya untuk datang. Dia
datang dengan jaket tebal
yang melilit badanmu, menemuiku padahal gerimis berusaha menghalangimu. Namun,
sepertinya ada kekuatan yang membuatmu
terus melaju menghampiri seonggok daging yang lemah ini. Aku berusaha untuk
tidak terlihat di depanmu. Waktu yang selalu memaksa untuk didatangi itu yang
paling ku benci saat dia melambaikan tanganmu. Berat rasanya kaki ini untuk
meninggalkanmu. Aku kembali menggapaimu. Aku tidak mau kehilanganmu lagi.
Tiba-tiba
saja tetesan hujan jatuh di atas buku Nur Salsa. Rumantik memutuskan untuk
melangkahkan kakinya menuju ruangan drama itu. Dia meneruskan membacanya di
kursi tempat di mana seseorang itu menggodanya. Melihat satu persatu
barang-barang yang masih tertata rapi di mejanya. Tinggal kenangan.
19
Januari 2019
Aku lelaki yang paling bodoh dan
juga paling kejam. Aku tahu pasti bagaimana perasaannya saat membuat undangan
pernikahanku. Mungkin dia berpikir waktu aku mendatanginya aku akan tertawa dan
berhasil bahagia dalam kesedihannya. Tapi perlu kamu ketahui aku hanya ingin
memastikan apakah kamu baik-baik saja. Aku ingin kamu menghalangiku untuk
jangan menikahinya. Aku hanya ingin mendengar itu. Tetapi aku mungkin terlalu
percaya diri. Bisa saja yang di hatimu masih Ijan bukan aku. Aku terlalu
percaya diri untuk mengatakan bahwa dia mencintaiku. Aku berharap kamu memiliki
perasaan yang sama denganku. Sama-sama menyayangi. Meskipun di dunia nyata kita
akan bisa terus bersama namun aku berharap Nur Salsa & Rumantik akan
dijodohkan di Surga…..
Air
mata terus menggenangi buku Nur Salsa.
“Aku
selalu berusaha untuk membuatmu tersenyum meskipun kamu takkan pernah berusaha
membuatku tersenyum karena sejatinya tanpa kusadari saat kamu tersenyum aku
juga ikut tersenyum. Nur Salsa & Rumantik semoga dijodohkan di Surga,”
ungkap Rumantik di sembari menutup kisah mereka
THE END
*Kisah
ini terinspirasi dari mencomot-comot kisah orang lain
Dalam
bagian karakter yang tertulis di atas mengisahkan sebuah kisah
-
Nur Salsa : Menikah dengan Salsabila dan
menjadi pimred di Kompas.
-
Rumantik menjadi marketing di Koran
kompas dan telah menjadi penulis. Beberapa tulisannya telah diterbitkan di
Gramedia, di antaranya: Tiga Kali
Desember, Sepucuk Harapan, Menunggu Hujan, Insomniac, dan Langit di Sore Ini.
-
Ahlul : Dengan wajah surganya menjadi Pimred di Republika.
-
Kiki : Gadis perkasa namun berubah
menjadi wanita solehah. Profesinya selain jadi ustadzah, dia juga aktif menulis
di majalah Ummi.
-
Fikar : Lelaki yang tidak pernah
bersentuhan dengan romantisme berhasil meraih gelar doctor di Monash
University.
-
Mujib : Wajah polos yang mampu
menajamkan mata setiap wanita ini telah berhasil membangun pesantren di
Jombang. Dia dianggap menjadi kiayi tersohor di desanya meskipun usianya
terbilang muda.
- Said : membaca namanya selayaknya membaca Alquran dengan pasih. Sosok yang memiliki gigi sempurna ini juga
memiliki toko publishing sendiri. Kabarnya dia telah menikah dengan gadis yang
hiperaktif di organisasi.
-
Dan yang menulis ini telah dikontrak
menjadi Reporter VOA… Our Wish (^_^)