Senin, 04 Februari 2013

Alwi & Awaliyah Part 2 (The 2nd Sequel of Nuansa's Family)


“Hey… Alwi!!!” teriak Awaliyah saat ia melihat Alwi mengayuh sepedanya saat berbelok di depan air mancur.
Alwi menoleh kepalanya keasa suara tersebut. Ia tersenyum lalu melambaikan tangannya pada Awalilyah.
“Ayo kita balapan,” tantang Alwi sambil terus mengguncangkan sepedanya. Awaliyah mengangguk dan mengayuh sepedanya dengan kencang. Awalnya Alwi ingin memenangkan kompetisi itu, tetapi dia baru menyadari ada yang berbeda dari penampilan Awaliyah. Cewek itu kini menggunakan kaca mata. Benar, ini pertama kalinya ia melihat Awaliyah memakai kaca mata itu.
Sebelum berangkat Awaliyah memang menggantungkan kaca matanya. Dia merasa terlihat lebih manis jika menggunakan kaca mata itu. Bukankah Alwi juga memakai atribut yang sama. Jadi wajar saja dia memakainya. Meskipun Alwi kelihatan seperti lansia saat memakainya, namun dia di samping itu juga dia terlihat begitu bijaksana. Tutur katanya yang pelan dan lembut membuatnya begitu sejuk saat dilihat. 
“Hahaha kau kalah,” ucap Awaliyah sambil menjulurkan lidahnya ke arah Alwi lalu mengencangkan laju sepedahnya sebelum Alwi berhasil mensejajarinya.
Karena terlalu sibuk melamun, Alwi tidak menyadari bahwa Awaliyah telah berada jauh di hadapannya.
“Heiii tunggu…”
“Tidak akan bisa…”
“Yee…. Aku menang,” teriak Awaliyah kegirangan saat sampai di parkirn SC. Sambil berjingkrak-jingkrak kegirangan Awaliyah menuju ke sekre. Alwi menyusul langkah kaki Awaliyah.
“Aku hebat bukan. Goncanganku kuat bukan?”
“Bisa dibilang begitu.”
Merasa kegirangan mendengar jawaban Alwi. Untuk bisa berbagi kesenangannya, Awaliyah dengan refleks memegang tas Alwi. Alwi yang terkejut melihat perlakuan Awaliyah, bergerak mundur. Ceritanya doi kalau terlalu dekat dengan cewek, maka akan salting terus. Jika doi sudah begitu, maka doi akan segera menarik-narik bawah bajunya. Padahal bajunya biasa aja lo, bukan tipikal baju yang kekecilan seperti pakaian para kaum pagan.
Awaliyah membuka gagang pintu sekre.
“Hahaha…” tawanya meledak begitu saja, sampai Alwi melihat kejanggalan. Awaliyah kinimenutup mulutya dan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Sungguh!! Awaliyah tidak bisa menyembunyikan tawanya!
“Hahaha senganya.” Tawanya lagi.
Alwi melihat ke arah Awaliyah.
“Ketawamu kurang besar,” ucapnya dengan nada mengejek.
“Coba tunjukkan yang lebih besar lagi,” ucap Awaliyah padanya.
“Hahahaha!!!” Alwi tertawa dengan volume yang sangat besar membuat mata Said menuju kearahnya. Alwi menutup mulutnya lalu bertingkah biasa saja. Ia menatap Awaliyah yang saat itu memandangnya gugup, lalu mereka menunduk.
Said memicingkan matanya, dan lagi-lagi. Owh silau mamen, pancaran cahaya di gigi putih itu membuat kaum yang melihatnya harus melindungi sinar terang itu. Bikin insyaf.
Said menunjuk keduanya, sambil menggoyang-goyangkan telunjuknya.
“Ini nih… ini ni something wrong-nya. Jika sedang berdua terlihat akrab. Jika sedang bersama yang lain, kalian bagaikan anjing dan kuncing, bagaikan langit dan bumi, air dengan api, bagai venus dan mars. Oopss kepanjangan ya…”
Kena lagi deh bully-an Said. Haduhh… kenapa saat kesenangan itu datang, kesialan itu juga turut menyertainya. Jika sudah kena bully-an, maka mereka akan terdiam terbisu. Seolah mereka tidak saling kenal. Alat indra yang akan menhubungkan kedua insan ini saat situasi seperti itu adalah mata. Mata memang tidak bisa berbohong. Bibir adalah penampung kebohongan, telinga penampung kebebalan, namun mata penampung kebenaran.
Kesibukan Awaliyah menuntaskan aktivtasnya di FB, tak luput dari tatapan Alwi. Hari ini doi tengah memperhatikan penampilan baru Awaliyah yang terlihat lebih kece oleh kaca matanya. Kaca mata itu memiliki gagang yang tebal, warnanya hitam, dan kacanya lebar. Tidak seperti dirinya yang mengenakan kaca mata kecil. Diperhatikan letak kaca Awaliyah yang tidak tersusun dengan rapi. Kadang menyerong ke kiri, terkadang pula ke kanan. Sampai-sampai kaca mata itu hampir menyentuh bibirnya. Mungkin itu disebabkan hidung cewek itu tidak tajam sehingga sulit untuk menampung benda di atasnya. Tetapi letak kaca itu akan tersusun kembali jika ujung jarinya sudah memainkan perannya.
Meskipun tidak melihat ke arah Alwi, Awaliyah tahu betul bahwa ia tengah diperhatikan oleh sepasang mata. Awalnya dia merasa risih jika diperhatikan seperti itu. Tetapi untuk tatapan kedua, ketiga, dan seterusnya justru dia justru nyaman dengan tatapan itu. Bahkan jika tidak ada tatapan itu, dia merasakan kehampaan. Sedangkan Alwi yang merasa Awaliyah tidak sadar dengan dengan tatapannya. Doi akan semakin senang untuk lama-lama menatap Awaliyah.
Pintu agar tergeser lebih lebar. Sosok jangkung itu datang dan menempati sisa karpet untuk duduk.
“Salam dulu dong mas…” sela Said saat melihat kedatangan Ahlul.
“Aku sudah mengucapkannya, tetapi kalian saja yang tidak mendengarnya.
“Kayaknya, memang gak ada yang salam tadi,” sela Awaliyah.
“Karena aku mengucapkannya dalam hati,” jawabnya sambil tidak lupa merapikan rambutnya.
“Mas… ada status selebriti terbaru lo.”
Lagi-lagi hawa pembullyan akan segera ada. Memang ye, kalau sudah berada dekat dengan raja bully. Bisa berabe semua urusan asmara.
“Alwi dan Awaliyah benar-benar kompak. Kooompak banget. Sekarang gak hanya di maya, maupun di belakang punggungku. Tetapi juga di balik tembok.”
“Aku tidak membutuhkan basa basimu. Cepat jelaskan alasannya,” ujar Ahlul tidak sabaran. Doi memang tidak suka waktunya dibuang banyak, jika yang dibincangkan hanya sekedar basa-basi.
“Oke mas aku jelaskan. Tadi aku menemukan mereka berdua tengah seperti sepasang kekasih lo. Dan baru kali ini aku melihat Alwi tertawa lepas seperti tadi. Apakah yang dibicarakan oleh dua insan yang dimabuk asmara ini? Entahlah yang jelas mereka tadi telah janjian akan berangkat bareng. Boncengan di satu sepeda gitu…”
“Sembarangan…..” protes Alwi dan Awaliyah serempak.
“Tuh kan, nyebutnya bareng. Sudah…. Akuin sajalah apa yang sebenarnya terjadi.”
Alwi dan Awaliyah diam. Mereka sudah tidak tahu lagi harus menyergah omongan si raja bully.
“Lain kali aku akan datang lebih telat lagi. Agar aku tidak disangka berangkat bareng dengannya,” ujar Alwi dalam hati. Ane lagi galau ni mamen.
*****
            Alwi menaiki sepedanya lalu megayuhnya menuju sekre. Ia memang sengaja pergi terlambat, alasannya? Karena ia tidak mau bertemu dengan Awaliyah saat di jalan. Ia malu bila harus ketahuan lagi berangkat bareng Awaliyah.
            Kayuhan Alwi semakin cepat saat berada di belokan air mancur. Tapi sepertinya usaha Alwi untuk datang telat sia-sia. Ternyata Awaliyah juga sengaja untuk berangkat telat agar tidak bertemu dengan Alwi. Dan sekarang, akhirnya mereka bertemu lagi.
“H..hai,” sapa Awaliyah saat ia dan Alwi sedang berjalan berdampingan. Alwi baru saja berbelok ke kanan.
“Hai,” sapa Alwi balik sembari tersenyum pada Awaliyah.
Alwi tertawa terbahak-bahak. Awaliyah melihat Alwi dengan tatapan bingung.
“Kenapa?” tanyanya.
“Hahaha… kamu pasti takut dibully sama raja bully… benarkan. Benar?”
“Kayak kamu tidak aja… weekk….”
“Hahaha bilang saja kalau kamu juga malu di depan aku. Karena aku adalah tipe idealmu,” sergah Alwi yang masih tertawa terbahak-bahak.
“Apa katamu?” teriak Awaliyah sambil menendang sepeda Alwi sehingga hampir saja terjatuh dari sepedanya.
“Ya.. kamu mau membunuhku?” bentak Alwi sembari menjalankan kembali sepeda miliknya. Kali ini Awaliyah yang tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha… kalau bisa,” ucap Awaliyah sambil menjulurkan lidahnya ke arah Alwi lalu mengencangkan laju sepedanya sebelum Alwi menangkapnya.
“Ya… jangan kabur!!” teriak Alwi sambil mengencangkan laju sepedanya. Awaliyah mengayuh sepedanya dengan kencang lagi tak sadar bahwa ada polisi tidur di depannya. Dan sepeda itu oleng. Ia tidak bisa meraih keseimbangannya sehingga membuatnya terjatuh. Awaliyah jatuh terguling ke tanah. Sekujur tubuhnya terasa nyeri. Setelah berdiri ia ingin melanjutkan mengayuh sepedanya, tapi tangan dan kakinya lemas. Akhirnya dia memutuskan untuk terduduk lagi. Saat itu ia melihat Alwi datang menghampirinya.
Alwi mengangkat wajah Awaliyah. Wajah Awaliyah yang merah itu bengkak dan lubang hidungnya mengeluarkan darah. Alwi membelai kulit di atas bibir Awaliyah dan membersihkan darahnya. Ingat mamen prinsip 5 m.
Alwi tersentak kaget saat menyadari tingkahnya yang sungguh di luar logikanya.
“Apa itu? Kenapa tingkahmu seperti itu? Astaga! Itu bukan muhrim-mu. Buang-buang waktu saja.”
Awaliyah segera mengakkan tubuhnya, dan bergegas meraih sepedanya. Entah dari mana tenaga itu. Yang jelas dirinya kini sampai di sekre beserta Alwi yang di belakangnya. Meskipun anggota Nuansa sempat panik dengan keadaan Awaliyah, namun kasus pembullyan itu tak kunjung reda.
*****
“Masih OL?” tanya Alwi pada suatu malam.
“Masih,” jawab Awaliyah singkat.
“Kok belum tidur?”
“Entahlah..”
“Kamu pasti lagi merindukan aku?”
“Jika iya, terus kenapa?”
Awaliyah berhasil menggoda Alwi. Salting lagi, salting lagi… doi memang tidak bisa menyembunyikan perasaan itu. Untung saja mereka tidak ngobrol di dunia nyata. Alwi menepis perasaan itu dan mengeluarkan jurus terbaru. Berubah…… sambil mengangkat kedua tangannya, lurus, dibidik ke kanan.
“Jika kamu merindukan aku. Pandangilah langit malam ini.”
Awaliyah sontak kaget membaca tulisan yang tertera. Sial kok ane digoda balik. Dia segera mengangkat laptopnya menuju balkon dan melihat apa yang diperintahkan. Entah hal apa yang membimbing kaki itu menuju ke sana.
“Sudah kamu lakukan?”
“Sudah…”
“Apa yang kamu lihat?”
“Bintang…”
“Apakah kamu tidak melihat wajahku?”
Awaliyah menggelengkan kepalanya. “Tidak.”
“Jika belum cukup juga, cobalah hirup udara malam ini, nafasku ada di situ..”
Awaliyah menghirup dalam-dalam udara itu.
“Sudah kamu lakukan?” tanyanya lagi.
“Sudah.”
“Apakah kamu merasakan nafasku di situ?”
“Tidak hanya nafasmu saja yang kurasakan, tetapi aku juga merasakan perasaan itu. Apakah kamu merasakan perasaan yang sama?”
Alwi memundurkan kursi duduknya. Pernyataannya… pernyataannya yang tiba-tiba. Bagaimana ini? bagaimana ini mamen? Apa yang harus aku lakukan. Wajah Alwi menguratkan kebingungan. Apakah yang harus dilakukannya? Membalas pesannya? Membalas dengan bagaimana?
Merasa frustasi, Alwi menghempaskan tubuhnya ke kasur. Pikirannya tak tenang, di bolak-balik posisi tidurnya. Tak jua membuat efek ngantuk dari mata teduhnya. Pikirannya terus melayang oleh kata-kata yang terlontar oleh cewek itu. 2 jam berperang untuk menghadirkan rasa kantuk tak kunjung datang juga. Sia-sia memejamkan matanya, semakin ia pejamkan semakin bayangan cewek itu terus menari. Dengan sigap ia bangun dari tidurnya. Membasuh wajahnya, membasahi kedua pergelangan tangannya hingga di atas siku, hingga membasuh kedua telapak kakinya sampai mata kaki. Mungkin dengan sholat bisa menyelesaikan pikirannya yang bergejolak. Digelarnya sajadah yang dia beli 2 tahun yang lalu, saat pertama kali ia memutuskan untuk kuliah di UMY.
Usai sholat, tangannya mengadah ke atas dan memohon petunjuk untuk bagaimana ia bisa menata hatinya. Islam melarang orang pacaran, jika seseorang itu berpacaran, maka pada saat itu juga imannya telah runtuh. Namun bagaimana jika perasaan itu muncul. Munafikkah saat seseorang otaknya berpikir bahwa ia tak memiliki rasa itu tetapi hati sendiri berkata bahwa rasa itu ada, bisakkah dikategorikkan dengan munafik?
Alwi melipat kembali sajadahnya dan memutuskan untuk mengecek komputernya. Pesan itu belum juga ditutup olehnya. Sebelum dia menutup layar itu, ia mengambil kamera genggam yang warnanya telah termakan oleh waktu. Ia mendokumentasi pesan itu. Di bacanya berkali-kali pesan itu saat setelah di atas kasur, kadang ia tersenyum, kadang galau, dan kadang tersenyum lagi. Sampai akhirnya mata itu redup.
Awaliyah terbangun terlonjak bangun dari tidur singkatnya. Ia meraba-raba poselnya yang sepertinya semalam ia letakkan di meja. Matanya terbelalak saat melihat jam telah menunjukkan 10 pagi. Ia teringat bahwa semalam dia tidak bisa tidur. Menyesali kebodohannya karena terlalu ceroboh mengungkapkan kata-kata sensitif itu.
Lalu bagaimana dengan Alwi? Apakah dia bisa tertidur semalam. Awaliyah rasa jawabannya benar. Alwi mungkin akan merasakan hal biasa saja. Lalu kenapa Awaliyah tidak bisa biasa saja. Harga diri sebagai seorang cewek di mana? Malu pasti akan ada. Sambil ngedumel sendirian, Awaliyah mengguyur seluruh badannya dengan air.
*****
“Temui aku hari ini, tempat di mana kamu menemukan setengah matahari terbit, di puncak tertinggi bangunan di sekitarnya. Namanya bisa ditemukan di posisi kedua huruf abjad. Masanya pada saat sang penerang di antara dua tanduk setan, dan pada saat itu orang-orang kafir bersujud menyembahnya. Aku yang bernama Alwi akan menunggumu di sini.”
Pesan itu dibaca oleh Awaliyah. Ia terpaku tak mengerti. Menatap kembali layar ponselnya. Masak iya Alwi memintanya untuk bertemu. Jika ingin bertemu kenapa tidak di sekre saja. Lalu maksud pesan ini apa. Dengan guratan kebingunan ia mencari-cari tahu makna pesan itu.
Di tempat kamu menemukan setengah matahari terbit, jelas terletak di UMY, secara logonya memang setengah matahari terbit. Di puncak tertinggi. Di mana ya? Di sportorium, tidak mungkin, masjid? Atau gedung kembar? Kurasa yang dimaksud adalah gedung kembar. Namanya bisa ditemukan diposisi kedua huruf abjad. Alphabet ya A, B, C, D, hahhh iya tempatnya di AR Fachrudin B. Masanya pada saat sang penerang di antara dua tanduk setan, dan pada saat itu orang-orang kafir bersujud menyembahnya. Berarti sebelum matahari tenggelam, sejarah itulah yang membuat tidak ada perintah sholat sunnah Ba’da Ashar dan sholat sunnah Qobla Maghrib karena ditakutkan terjadi penyembahan itu. Oke aku akan menemuimu sebelum Maghrib.
Awaliyah mengecek arah jarum jam yang tertera di layar ponselnya.
“Tuhan…ini kan sudah jam 5.”
Awaliyah segera turun dari tangga unires, dan dengan sekejap meraih sepedanya. Saat sampai di depan gedung ia segera menuju ke lift dan menekan angka 6. Awaliyah berlari, tak peduli alas sepatu yang dia kenakan telah terinjak oleh kaki kanannya hingga terlepas. Ia sebenarnya tak yakin harus melangkahkan kaki ke mana saat lift itu terbuka, hingga sosok laki-laki berkemeja hitam menghentikn langkahnya. Matanya terarah ke bawah, melihat keindahan kampus anti rokok dari atas.
“Kamu…” ucap Awaliyah. Alwi menoleh sekilas kemudian tersenyum.
“Kok kamu bisa ada di sini?”
“Perasaan itu yang membawaku ke sini.”
“Jika aku menggunakan logikaku, maka aku takkan sampai membawamu ke sini. Akibat hijab yang terus menghalangi langkah. Hijab yang harus diterapkan saat berjumpa dengan orang yang bukan muhrimnya. Akan tetapi jika perasaan yang berkata, maka sudah seharusnya kita terbuka.”
“Lalu?”
“Aku memilih untuk tidak menyimpan cinta hanya di dalam hati. Aku juga tidak tahu apakah ini waktu yang tepat untuk menyatakan, karena bukankah selama ini aku tidak pernah menemukan waktu yang tepat? Tapi tahukah kamu bahwa kita ini adalah penentu takdir Tuhan.”
“Maksudmu, kamu ingin kamu ada di hatiku.”
“Bukan hanya ingin, tetapi niat.”
“Apa bedanya ingin sama niat? bukankah memiliki tujuan yang sama!”
Alwi menghembuskan nafasnya. Doi sedikit salting jadi bagian bawah bajunya ditarik. Heran, padahal baju doi tidak kekecilan lo, tapi kok doi merasa bajunya kekecilan sampai ditarik gitu. Mungkin untuk mengekspresikan salting-nya kali ya. Tangan kanannya kini menunjuk ke arah selatan. Tangan itu diikuti oleh tatapan Awaliyah.
“Bedanya niat sama ingin. Jika aku berjalan di tembok batas gedung ini dengan kaki berjinjit. Jika aku niat, aku akan memiliki tekad untuk selamat. Aku hanya akan menoleh ke arah kakiku dan tidak akan menoleh ke kiri maupun ke kanan, sekali pun ada orang yang memanggilku. Akan berbeda halnya dengan ingin, hanya ingin. Jika aku berjalan berjinjit di tepian ini, saat ada yang memanggil namaku, maka aku akan menoleh dan membuatku terjatuh ke tanah.”
Awaliyah yang mendengarkan paham betul akan pernyataan Alwi.
“Sekarang kita semester berapa?”
“Semester 4.”
“2 atau 3 tahun lagi, aku akan datang ke rumahmu untuk meminangmu. Sanggupkah?”
“Aku akan senang menunggu saat itu.”
“Maukah kamu menjadi pilihanku, pilihan terakhir dalam hidupmu?”
“Aku tidak hanya mau tapi juga niat,” senyum manis terukir dari bibirnya.
“Baguslah… sekarang jika ingin episode Alwi dan Awaliyah berlanjut, maka simpanlah baik-baik kisah kita ini. bisakah?”
“Sekali lagi aku berniat untuk menyimpannya.”
“Bagus… jika kita tidak ingin dibully masal, maka simpanlah baik-baik perjalan kisah cinta kita ini.”
Dan bahkan penulis pun tidak boleh membeberkan kisah cinta mereka berdua. I promise…..#Layar kaca ditutup.
THE END

Fakta-fakta MULIA (Mujib-Lia) Couple
-          Memiliki kemipiran
·         Sama-sama memiliki mata panda
·         Mempunyai berkulit susu putih
·         Bibir yang ranum
·         Tubuh yang ramping
·         Selain itu, Lia sangat mirip dengan Ibu Pecel Lele di depan SD. Sedangkan Mujib memiliki kemiripan sifat yang ke bapak-pecelelan.
-          Sama-sama menggunakan kaca mata
-          Memiliki hobi yang sama. Hobi bermain di FB
-          Jika Mujib update status, maka di bawahnya ada komen Lia. Atau sebaliknya. Minimal jika tidak, maka setidaknya mereka main like-like an.
-          Jika ada orang yang update status dan Lia mengomentari status itu. Dengan segera Mujib akan membalas komen Lia, dengan mengabaikan komen2 temannya yang lain.
-          Jika Lia digoda seputar asmara dengan Mujib, maka dia akan lebih mengataskan lagi bibir atasnya sambil bergumam “Hehhh”. Sedangkan Mujib hanya bisa tersenyum tipis dengan mata berbinar.

Alwi & Awaliyah (The 2nd Sequel of Nuansa's Family)



Hari ini adalah tahap wawancara untuk bisa memasuki organisasi Nuansa. Sudah separuh bulan Februari berlalu, tapi cuaca tak menentu masih terus berlanjut. Terkadang panasnya merajalela, terkadang juga air turun dengan amat ganasnya. Semalam bintang kejora terlihat amat jelas, menandakan bahwa hari ini sepertinya tidak ada kemungkinan turun hujan.
Pada saat itu Alwi sudah memprediksikan bahwa cuaca akan sangat panas, maka ia terus mengayuh sepedanya lebih laju lagi. Dia tidak merasa keberatan dengan teriknya matahari dan keadaan lainnya. Ia sadar bahwa dia tidak punya banyak waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Dia terlalu sibuk menyiapkan jawaban apa yang akan terlontar dari mulutnya saat dia diwawancara.
Saat perlahan-lahan hari sudah mulai semakin terang. Alwi pun tiba di depan SC, memerhatikan orang yang berlalu-lalang di hadapannya. Tempat itu benar-benar ramai. Dia berjalan menaiki tangga. Pertama-tama ia melihat orang yang berkerumunan. Dia melihat banyak sekali orang yang berdesakkan untuk diwawancara. Baru kali ini bisa melihat perempuan yang jaraknya agak berdekatan dengan para lelaki. Sebelumnya selama 6 tahun dia hanya bisa melihat perempuan saat dia sedang libur sekolah. Itu pun yang seringkali ia lihat hanyalah ibu dan adik perempuannya. Tetapi sekarang dia benar-benar bisa melihat perempuan dengan berbagai bentuk yang berdesak-desakkan meskipun dengan lawan jenisnya.
Alwi jelas agak menjaga jarak dengan mereka. Jangankan untuk berdesakkan dengan cewek, untuk sekedar melihat cewek saja doi sudah cukup bertobat. Namun, kini posisinya berbeda. Di belakang banyak orang menjejalkan diri ke depan pintu, membuatnya sempat terpeleset saat menghindari kerumunan orang. Dia pun sempat mendengar obrolan orang-orang yang ada di sekitarnya dengan seksama. Di antara obrolan itu, ada yang membicarakan tentang seputar pertanyaan saat wawancara. Ada juga yang membicarakan tentang kepopuleran nuansa.
“Kayaknya Nuansa saat ini lagi naik daun ya?”
“Ahh semoga aku lolos…”
“Aku sudah lama menanti adanya wadah yang bisa meyalurkan minatku di bidang menulis….”
Masih banyak lagi pernyataan-pernyataan yang sanggup tertampung di telinga Alwi. Ketika  mendengarkan banyak kalimat harapan, pintu sekre Nuansa sudah mulai terbuka dan kerumunan orang pun mulai menyerbu masuk  dari berbagai arah. Dari arah belakang, orang-orang memaksa masuk, agar mereka bisa terlebih dahulu diwawancara. Desakkan itu membuat nafas semakin sesak. Agar terhindar dari fitnah, dia berusaha untuk tidak berpegangan pada pundak lawan jenis. Badannya terhuyung karena tersandung kaki seseorang. Tanpa terasa gelombang kerumunan itu berangsur tenang berkat bantuan orang yang tidak dikenal. Dan, dia pun menyadari bahwa tas-nya sudah dipegang orang lain saat menyeretnya keluar dari rumunan itu. Karena berpikir untuk berterimakasih doi segera membalikkan wajahnya menghadap orang yang menolongnya.
Tahukah, yang menolong doi bukan pria berbadan seperti Samson, melainkan cewek. Sejenak Alwi terkesima dengan cewek itu. Sadar akan posisinya sebagai cowok tulen. Alwi pun berusaha bersikap biasa saja.
“Aku memang tidak melihat bulu. Karena aku telah diselamatkan olehmu. Untuk itu aku ucapkan terima kasih,” ucap Alwi pada akhirnya.
“Tidak perlu berterimakasih,” sambil cengengesan cewek itu tidak berkata apa-apa lagi. Dalam keadaan kacau seperti itu, dia masih tetap memegang tas Alwi.
“Aku sudah baik-baik saja sekarang. Jadi bisakah kamu melepaskan tasku.”
Tubuhnya gemetaran saat pertama kalinya seorang cewek. Yahh yang menurut doi lumayan kece sepeti dia, bisa berkelakuan seagresif itu.
“Owh maaf, aku hanya sedang memikirkan bagaimana kita bisa dengan segera masuk ke ruangan, tanpa harus rebutan dengan setumpuk orang di sana.”
Cewek itu mengeluarkan sesuatu dari kantung tas-nya. Dia menyodorkan  id-card di hadapan Alwi.
“Pakailah ini, aku juga akan memakainya. Setelah kita memakainya, maka kita bisa masuk dengan leluasa,” ajaknya. Cewek itu kembali membimbing Alwi dengan menggenggam tas-nya. Keringat dingin terus menjalari tubuh Alwi.
“Maaf, bisakah kamu melepaskan tas-ku. Aku bisa berjalan di belakang punggungmu.”
Perlahan cewek itu memperhatikan sosok Alwi dengan kernyitan di dahinya. Sok banget ni laki, tampang sih kece tapi kelakuannya ngece. Tidak terlalu mau berdebat dengan hal yang tidak penting, cewek itu hanya tersenyum lalu kembali berjalan.
Terbukti apa yang dikatakan cewek itu. Setelah orang-orang itu melihat id-card mereka, satu persatu orang-orang itu membuka jalan bagi keduanya.
Di tempat wawancara seramai itu, karena terlena mendengarkan obrolan orang-orang, Alwi tidak sempat mengenal siapa yang menolongnya tadi. Gadis dengan kemampuan mengukir senyumnya yang indah.
Mereka sampai pada ruangan tempat wawancara. Hanya menunggu dua orang saja, maka mereka akan langsung bisa diwawancarai. Syukurlah.
“Kamu terlihat sangat kaku. Apa ini adalah kali pertama kamu melihat cewek sedekat ini?
Alwi tersentak kaget saat mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu. Suara cewek itu terdengar merdu. Mendengar suaranya seperti tengah mendengar riak air sungai pada saat langit menyelimuti matahari. Menyeramkan dong…
“Oh, ya. Benar.” Doi lagi salting ni. Bener-bener songong ni ye
“Senang bertemu denganmu. Sepertinya kamu berasal…”
“Senang bertemu denganmu juga,” jawab Alwi cepat-cepat.
Doi gak mau dong kelihatan salting di depan cewek. Men… ini pertama kalinya aku berani mengobrol dengan cewek. Coba dari dulu aku bisa mengobrol sedekat ini. Astagfirullah sadar men, lo laki-laki yang ingin mencari kebahagiaan di akhirat. Kalau sampai elu tidak menundukkan pandangan lo, maka setan akan segera menyerambat masuk dalam diri lo.
Alwi pun menata hatinya dan berusaha menunduk. Diam-diam sekali lagi kepalanya melihat ke arah cewek manis itu. Dia tersenyum saat melihat wajah cewek itu sebelum dia memutuskan untuk menunduk kembali.
Salah satu dari senior Nuansa menunjuk Alwi, cewek itu, dan 3 peserta lainnya untuk mengikuti ke arah dia berjalan. Nampak senior yang berdasarkan pendengaran Alwi itu bernama Fikar. Wajahnya bulat dan berkulit putih. Jika dia tidak berwajah seperti anak kecil, Alwi sudah beranggapan bahwa ia adalah seorang dosen karena penampilannya yang gak update. Pakaian terlihat formal. Memakai kemeja bergaris vertikal, celana kain longgar, dan sepatu kulit berwarna cokelat. Wajahnya yang luwes nampak sekali bahwa orangnya pintar.
Peserta diajak keluar ruangan. Agar terhindar dari sengatan matahari mereka berlindung dari pohon. Senior itu menatap langit dan tersenyum. Tempat itu adalah tempat bagus karena langit tidak terlihat. Pohon di samping gedung SC tidak terlalu lebat, sedangkan pohon menuju Fakultas Kedokteran itu berdaun lebat. Mereka akan terlindungi dari sengat matahari pada saat tengah hari.
Cewek manis itu dan Alwi saling berpandangan. Cewek itu memperhatikan bulu matanya yang lentik dan bola matanya yang bersinar terang. Saat berdiri berhadapan seperti itu, diperhatikannya hidung lancip itu, hidungnya yang sebelah kiri lebih ke atas dari pada yang di sebelah kanan, hampir sama dengan ukiran hidung artis terkemuka Fedi Nuril, bibirnya yang tebal, wajah oval kecilnya yang tampak bersih oleh air wudhu. Merasa dipandangi seperti itu, Alwi segera menoleh pandangannya ke arah lain.
Dalam waktu singkat cewek itu sudah menemukan jawaban bahwa Alwi berasal dari pondok pesantren, dan tidak pernah bersentuhan dengan asmara. Jangankan untuk beradu kasih, untuk sekedar ngobrol dengan dirinya saja dia sudah salting. Walaupun pakain yang dikenakannya tidak seleluasa pakaian akhi-akhi penghuni surga, dengan janggut yang sengaja ditumbuhkan, jika dilihat dari latar belakang pondok, pakaian yang dipakai Alwi dibilang biasa saja. Cewek itu bisa merasakan ada kedekatan dengan Alwi.
“Ini memang pertama kalinya bagiku untuk bisa dengan leluasa berbaur dengan cewek. Maafkan aku kalau ada sikapku yang kurang berkenaan. Aku berhutang budi padamu,” aku Alwi.
Akhirnya wawancara pun dimulai. Para peserta mulai berbaris dengan rapi. Saat Fikar berjalan satu persatu ke arah peserta. Ia dengan enteng menunjuk peserta tanpa melihat identitas masing-masing.
“Kamu… coba jawab, apa saja yang kamu ketahui tentang dunia pers?” tanya Fikar langsung menunjuk cewek manis itu.
Tidak terlalu banyak berpikir, cewek itu langsung menjawab dengan bahasa yang lentur dan benar sehingga membuat orang di sekitarnya terkagum. Isi dari jawaban cewek itu singkat dan padat, disampaikan secara logis hingga usai ia berbicara, membuat Alwi beranggapan bahwa cewek itu memiliki pengetahuan yang luas. Analisanya berbeda jauh dengan apa yang di otak Alwi, bisa dikatakan seperti Venus dan Mars. Sekujur tubuh Alwi sangat lemas. Dia berdiri dengan gelisah setelah mengetahui saingannya sangat pintar. Semoga saja ada sebersit harapan, dirinya lolos ujian. Meskipun nilainya di paling ujung. Tak apalah. Yang penting bisa masuk Nuansa dan bisa lebih banyak waktu untuk bertemu dengan cewek manis itu. Woiii tobat, masak hanya karena melihat cewek manis seperti itu, iman lo jadi runtuh. Sorry ye, di surga masih banyak cewek yang lebih manis. Lagi-lagi malaikat sebelah kanan Alwi mengganggu kesenangannya memikirkan cewek itu. Alwi segera mengusir malaikat surganya itu. Lo, kalau datang di saat yang tepat dong. Gue lagi asyik ni… kapan lagi gue bisa merasakan perasaan senang seperti ini. Sebelum gue keluarin jurus eyes center gue, lo buruan enyah deh dari khayalan gue.
Giliran Alwi kini yang ditanya mengenai penjelasan kode etik jurnalistik. Gila mamen, kok pertanyaannya sulit amit ya. Songong ni ye, mentang-mentang tadi ane nyanjung senior ini terlihat pintar. Sekarang giliran dia mau memamerkan kepintarannya.
Beberapa kali Alwi mengulangi dan memperbaiki isi otak yang akan segera ia lontarkan di hadapan senior berwajah panda China itu. Meski telah beberapa kali diperbaiki. Mustahil dia bisa menyamakan kemampuannya dengan cewek manis itu. Alwi pun mulai menyerah dan mulai berbicara, ditemani dengan keringat dingin yang terus bercucuran di pelipisnya. Jawaban itu meluncur begitu saja. Seperti lancarnya air susu yang sedang di tetek oleh seorang bayi. Setelah selesai menjawab, Alwi  sempat melirik ke arah cewek itu. Dilihatnya cewek itu sedang tersenyum.
Saat Fikar memberikan aba-aba untuk kapan adanya pengumuman kelulusan. Alwi segera merapikan dirinya, bersiap pulang. Sebelum meninggalkan tempat ujian, Alwi pun berkata, “Berkat kamu, aku bisa menempuh ujian dengan lancar. Jika aku tidak bertemu denganmu, mungkin aku masih mengantri di dalam sana.”
“Kita saling membantu, itu saja. Jika kita lulus, maka kita akan dipertemukan lagi, di tempat ini.”
Alwi merasa senang. Namun, dia berusaha menutupi perasaannya dengan memalingkan wajah dan berpura-pura melihat ke tempat lain.
“Aku merasa senang bertemu denganmu, tetapi kelihatannya kamu tidak seperti itu.”
“Bu, bukan itu. Mana mungkin aku tidak senang bertemu denganmu cewek man…” Alwi segera mengakhiri kalimatnya.
Sebelum Alwi berhasil mengatasi saltingnya, temannya cewek itu sudah memanggilnya untuk mengajak pulang. Sebenarnya Alwi masih ingin bersamanya, tetapi dia merasa sungkan, dia pun melambaikan tangannya untuk berpamitan.
“Kalau begitu, hati-hati di jalan.”
Cewek manis itu melambaikan tangannya.
“Sampai jumpa lain hari di tempat sejarah ini.”
Kata-kata terakhirnya yang meyakinkan bahwa mereka akan bertemu lagi membuat Alwi sumringah. Setelah melambaikan tangannya sekali lagi, Alwi pun berbalik dan pergi.
“Cieee, masih pagi sudah punya kecengan,” ujar temannya cewek itu.
“Hehh biasa saja,” respon cewek itu.
“Namanya siapa,” tanya temannya lagi.
“Astaga!”
Cewek itu segera berlari menyusul Alwi. Temannya terkejut dan berlari menyusulnya. Tak berapa jauh, bahu Alwi telah terlihat. Cewek itu segera meraih lengan Alwi. Karena tiba-tiba lengannya dipegang, Alwi hampir saja marah. Mamen, gue ini laki-laki dan elu perempuan, tak pantas kita bersentuhan, elu bukan mahrom gue. Songong dikit ye, gue itu anak pondok asli tidak pake KW, gue itu tidak sudi dipegang oleh cewek meskipun lo berwajah bidadari. Paling tidak kita memiliki jarak 5 km. eh salah ding 5 meter mamen.
“Aku baru ingat,” kata cewek itu dengan nafas terengah-engah.
“Ingat apa…?”
“kita belum berkenalan.”
Setelah berpisah dengannya tadi, Alwi juga memikirkan hal yang sama. Namun, entah kenapa, hijab itu terus mengusiknya sehingga ia menahan diri untuk menyapanya.
“Meskipun kamu memiliki aktivitas penting, aku baru sadar hal itu. Maaf, kelakuanku tadi berlebihan.”
Setelah mencegah dirinya agar tidak mengatakan hal-hal yang tidak berguna, dia pun dengan sopan.
“Namaku Awaliyah, dari jurusan PBI. Sekarang aku tinggal di unires.”
Awaliyah segera menyodorkan telapak tangannya untuk minta berkenalan. Sesaat Alwi merasa ragu. Akhirnya, perasaan Alwi yang dikalahkan oleh logika itu memperkenalkan dirinya. Ia segera menyatukan kedua telapak tangannya mengarah di hadapan wajahnya.
“Namaku Alwi, jurusan Akuntansi.”
Awaliyah yang merasa telapak tangannya tidak disambut olehnya hanya bisa tersenyum pahit dan segera ia tepis tangannya dengan telapak kirinya.
Alwi memperhatikan sosok yang di samping Awaliyah. Awaliyah segera memperkenalkan temannya.
“Oh ya, ini temanku juga…”
“Salam namaku Nana, jurusan HI, tinggal di Unires sama seperti Awaliyah,” ujarnya. Karena mengerti dengan tabiat Alwi, Nana menyalami Alwi dengan kedua telapak tangannya tepat di depan wajahnya.
Setelah berpamitan sambil tersenyum lebar, Alwi pun pergi menghampiri sepedanya. Awaliyah memerhatikan sosoknya. Meskipun terlihat kecil, jika dilihat sekilas, dia adalah cowok yang menarik. Badannya tidak terlalu tinggi, berperawakan kurus, pinggang yang ramping, dan kaki yang kurus.
“Alwi….”
Saat menyebut nama Alwi, bibir Awaliyah seolah terasa penuh dengan aroma wangi yang menyejukkan.
*****
“Asalamualaikum. Salam redaksi. Bagi yang mendapat SMS ini, selamat atas keberhasilan Anda lolos dari interview. Untuk langkah selanjutnya, tolong kumpul di sekre Nuansa besok pukul 15.30. on time!!! Ttd Fikar”
Awaliyah membaca inbox dari ponselnya. Riang gembira karena berhasil masuk bagian dari pers. Babak baru telah dimulai. Babak mimpi bisa saja menjadi nyata. Lalu bagaimanakah dengan Alwi, apakah dia juga lolos? Kenapa dia tiba-tiba langsung memikirkan sosok itu. Jika memang takdir, pastilah mereka akan bertemu.
Bersama Nana, Awaliyah berjalan menyusuri pekarangan kampus menuju sekre, semua peserta yang lulus wawancara dikumpulkan di satu tempat untuk menghadiri silaturahmi. Dari kejauhan ia melihat sosok Alwi. Dia pun duduk berdekatan dengan Alwi, karena Alwi adalah satu-satunya teman yang dikenalinya selain Nana. Melihat sosok Awaliyah di dekatnya, Alwi segera menggeser agak menjauh dari tempat duduk Awaliyah. Ingat mamen, prinsip 5 meter, jarak minimal dari yang bukan muhrim. Alwi pun merasa canggung dan bingung, hanya melihat ke arah selonjoran kaki senior yang di hadapannya, ia memberikan diri berkata, “Maaf….”
Saat matanya dan mata Awaliyah hendak beradu pandang, PU Nuansa segera menyapa mereka dengan penuh semangat.
“Salam Persma! Teman-teman yang berbahagia…..”
Senior itu memperkenalkan dirinya bernama Ahlul. Senior itu tidak terlalu banyak berkata. Hanya berkata seadanya saja, namun kata-katanya langsung menancap jantung setiap orang yang mendengarnya. Syukurlah dia tidak memiliki banyak pembendaharaan kata, jika iya, maka sepertinya kuping itu bagai di panggang dalam open karena pilihan bahasanya yang pedas. Lain Ahlul, lain juga Fikar. Dia memiliki banyak sekali pembendaharaan kata. Jika berkata A, maka ia akan melanjutkan perkataannya sampai Z. Untungnya, bahasanya tidak pedas, saking tidak pedas bahasanya. Terkadang orang akan bingung, inti dari perbincangannya.
Terakhir Ahlul bertanya lagi.
“Apakah kalian siap menjadi bagian dari keluarga Nuansa,” suaranya ini bisa dikategorikan bervolume 50-an.
“Siap….” Jawab yang lain dengan serentak.
Memasuki babak baru, tentunya diselingi dengan tugas baru. Anggota Nuansa yang baru disebut anggota magang. Dari anggota magang dibagi menjadi dua kelompok. Mungkin takdir berkata sama, Alwi satu kelompok dengan Awaliyah, Said, dan Ersa. Sedangkan kelompok lainnya terdiri dari Kiki, Rumantik, Nur Salsa, dan juga Nana. Kelompok tersebut akan membuat redaksi bayangan yang akan dipandu oleh senior. Untuk kelompok pertama akan langsung dipandu oleh Ahlul. Dengan segera ia menyuruh anak buahnya untuk kumpul di ruang redaksi. Karena pemilihan ruangan terbilang sempit. Keempat dari mereka harus duduk berdesakkan. Awaliyah yang duduk di samping Alwi agak ragu untuk menaruh kakiya di lantai. Alwi segera memyempitkan posisi duduknya agar memberikan ruang untuk Awaliyah. Alwi yang tidak terbiasa melanggar prinsip 5 meternya bersikap malu-malu, wajahnya memerah. Kalau ia sudah salting, maka ia akan menarik bawah bajunya.
Sentimental Ahlul mengambil posisi duduk di depan layar komputer. Ia melingkarkan kakinya sembari melipat kedua tangannya di atas perut. Sebelum tangannya beralih posisi di atas perut. Tangan jangkung itu sempat menyisir rambutnya, memastikan apakah rambutnya masih berbentuk zig-zag. Secara kan doi lagi menjajaki perempuan yang siap mendampinginya sampai di surga kelak.
“Dari formulir yang telah saya baca sebelumnya, dan saya telah putuskan posisi kalian masing-masing. Bagi yang bernama Said akan ditempatkan sebagai redaktur pelaksana, Ersa akan menjadi reporter, Awaliyah ditempatkan sebagai editor, dan terakhir Alwi akan ditempatkan sebagai layouter. Jika ada sanggahan segera sampaikan kepada saya.”
Dari mereka sih ada keinginan untuk menyanggah atau pun sekedar bertanya, namun karena melihat wajah ganas sang ketua terlebih menunjuk orang tepat seperti gaya Hitler, tidak mengunakan satu jari namun kelimanya. Membuat mereka tak berani bergeming.
Mereka hanya menundukkan kepala, sembari mengiyakan perkataannya.
“Jika tidak ada yang bertanya, besok sore kalian kumpul lagi di sini. Untuk kalian semua, besok sore serahkan artikel untuk mengisi rubrik buletin. Khusus untuk Ersa, kamu kumpulkan 3 berita sekaligus dan besok sore serahkan ke saya. Kamu bukan anak kecil lagi kan, yang harus dibimbing mencari tugas segampang itu? sedangkan untuk yang lainnya saya arahkan bagaimana cara editing dan nge-layout.”
Alwi hanya menganggukkan kepala. Entah ia akan memenuhi permintannya atau justru mengabaikannya. Yang jelas, perintah itu sudah memenuhi kuping kirinya. Selesai mendengarkan perintah itu, Alwi segera keluar mencari tong sampah di depan sekre. Tanpa pikir panjang, ia menepuk-nepuk kuping kanannya. Hendak membuang isi pendengarannya di telinga kiri.
Seperti yang sudah disepakati sebelumnya. Anak magang sudah terlihat berkumpul di sekre. Ada yang berbeda dengan penampilan Alwi sekarang ini, karena tiba-tiba saja dia memakai kaca mata. Baru sadar ternyata mata doi minus. Semua pada protes dengan penampilan baru Alwi,tak terkecuali Awaliyah. Menurut Awaliyah, saat Alwi memakai kaca matanya. Awaliyah merasa usianya bertambah dua puluh tahun. Seperti lansia yang segar bugar. Tetapi bukankah doi tetap menjadi eyes center bukan?
Setelah mendapat pengarahan dari Ahlul. Ersa memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Ahlul dan Said memutuskan untuk mengobrol saja, seputar kepemimpinan. Sedangkan Alwi masih sibuk dengan aktivitasnya mencari bacaan enak di rak buku. Setelah mendapat buku yang diinginkan, pelan-pelan ia duduk di depan rak, membelakangi posisi Ahlul.
Alwi membuka buku dan meletakkannya di hadapannya. Saat membaca, dia mencuri pandang ke arah Awaliyah yang sedang serius berkutat dengan laptopnya. Dia teringat saat pertama kali melihat wajah manis Awaliyah, lalu dia pun tersenyum. Dia mencari-cari bagian mana yang paling menarik dari Awaliyah. Matanya? Bukan. Apa bola matanya? Atau mata pandanya yang selalu menampilkan kantung mata saat tersenyum? Bukan, tepi hidungnya? Bukan juga, karena dia pesek. Berarti bibirnya yang kemerahan. Betul, bibir manisnya, bibir yang ranum dan tipis.
“Kak Ahlul, jika kalimatnya seperti ini…..” Awaliyah menggantungkan kata-katanya saat menyadari Alwi memerhatikannya. Diabaikannya lagi tatapan itu dan melanjutkan petanyaannya.
“Aku gak jadi tanya. Sepertinya aku sudah menemukan jawabannya.”
Awaliyah kembali menunduk menghadap ke laptopnya. Pikirannya sudah tidak konsen lagi. Cewek itu hanya duduk terpaku sambil bertopang dagu mengingat kembali tatapan mata itu. Merasa hawa panas yang tiba-tiba merasuk ke tubuhnya, Awaliyah izin ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, akhirnya ia bisa leluasa menceritakan kepada bayangannya, kejadian apa yang telah ia alami tadi.
“Apakah dia benar menatap wajahku? Aku yakin dia memang menatap wajahku? Lalu kenapa dia menatapku?” pertanyaan itu bertubi-tubi muncul. Ia berkali-kali membasuh wajahnya, menepuk-nepuk pipinya agar ia tersadar dari mata teduh cowok itu. Mungkin itu hanya kebetulan saja. Jangan sampai ia merasa GR.
Awaliyah duduk dan kembali melanjutkan aktivitasnya. Awaliyah menyadari tatapan itu lgi-lagi tertuju pada dirinya. Wajahnya semakin merona, sambil menarik bahunya, dia kembali membaca layar laptopnya. Alwi pun kembali membaca buku. Lalu, tiba-tiba saja Awaliyah tertuju kepada Alwi. Rambutnya menyapu awan terbawa oleh arus kipas angin, kulitnya yang putih tampak mempesona. Cowok itu tampan. Apa sebenarnya yang membuat ia tampan. Apakah itu karena kulitnya yang terang? Atau, apa karena tepi hidungnya yang menjulang rapi? Kalau bukan keduanya, apakah karena matanya. Tatapan matanya yang membuat para wanita tak sanggup memandangnya terlalu lama, karena mata ituterlalu mempesona. Tanpa disadarinyaAwaliyah yang terpaku menatap Alwi, tiba-tiba bertemu pandang dengannya, lalu dengan kebingunan, dia segera mengeluarkan suara.
“Apakah kamu sedang mencari kemiripan wajahku dengan wajahmu?”
Awaliyah tersentak kaget. Dia menyembunyikan wajahnya yang merona dengan mengalihkan pandangannya ke laptop, sambil berdalih, “Ak, aku hanya ingin melihat buku apa yang kamu baca,”
“Baiklah, bagaimana tulisannya. Sudah selesai di editnya?”
Awaliyah hanya geleng-geleng kepala. “Tulisannya sulit dimaknai secara benar.”
“Haha kan ini perdana mamen.”
“Tumben sekali kamu tertawa?”
“Memang selama ini aku tidak pernah tertawa?”
“Tanyakan saja pada dirimu sendiri.”
Menyadari ada perbincangan asyik di belakang punggungnya, Said membalikkan badannya sambil mengukir senyum. Memperlihatkan gigi putihnya. Sumpah doi gak berniat ngiklanin pasta gigi lo.
‘Ternyata di balik punggungku, ada yang asyik berdiskusi.”
“Diskusi antara editor dengan layouter sudah biasa bukan,” sanggah Awaliyah.
“Memang benar kalian itu ada something wrong deh. Di balik punggung aku kalian terlihat sangat akrab. Begitu pula di balik layar dunia nyata alias dunia maya, kalian selalu kompak. Di mana ada Awaliyah di situ pula ada Alwi. Sudah, mengaku saja kalau di antara kalian memang ada rasa itu tuh…” meskipun perkataan Said benar adanya. Namun, suaranya yang gagap terlebih karena cekikinnya lebih banyak dari pada omongannya membuat orang yang di ruangan hanya bisa tertawa. Jeli dengan perkataan Said tadi, membuat kedua aktor menunduk dan melanjutkan aktivitasnya seperti semula.

To be continued


Click here to continue