“Hey…
Alwi!!!” teriak Awaliyah saat ia melihat Alwi mengayuh sepedanya saat berbelok
di depan air mancur.
Alwi
menoleh kepalanya keasa suara tersebut. Ia tersenyum lalu melambaikan tangannya
pada Awalilyah.
“Ayo
kita balapan,” tantang Alwi sambil terus mengguncangkan sepedanya. Awaliyah
mengangguk dan mengayuh sepedanya dengan kencang. Awalnya Alwi ingin
memenangkan kompetisi itu, tetapi dia baru menyadari ada yang berbeda dari
penampilan Awaliyah. Cewek itu kini menggunakan kaca mata. Benar, ini pertama
kalinya ia melihat Awaliyah memakai kaca mata itu.
Sebelum
berangkat Awaliyah memang menggantungkan kaca matanya. Dia merasa terlihat
lebih manis jika menggunakan kaca mata itu. Bukankah Alwi juga memakai atribut
yang sama. Jadi wajar saja dia memakainya. Meskipun Alwi kelihatan seperti
lansia saat memakainya, namun dia di samping itu juga dia terlihat begitu
bijaksana. Tutur katanya yang pelan dan lembut membuatnya begitu sejuk saat
dilihat.
“Hahaha
kau kalah,” ucap Awaliyah sambil menjulurkan lidahnya ke arah Alwi lalu
mengencangkan laju sepedahnya sebelum Alwi berhasil mensejajarinya.
Karena
terlalu sibuk melamun, Alwi tidak menyadari bahwa Awaliyah telah berada jauh di
hadapannya.
“Heiii
tunggu…”
“Tidak
akan bisa…”
“Yee….
Aku menang,” teriak Awaliyah kegirangan saat sampai di parkirn SC. Sambil
berjingkrak-jingkrak kegirangan Awaliyah menuju ke sekre. Alwi menyusul langkah
kaki Awaliyah.
“Aku
hebat bukan. Goncanganku kuat bukan?”
“Bisa
dibilang begitu.”
Merasa
kegirangan mendengar jawaban Alwi. Untuk bisa berbagi kesenangannya, Awaliyah
dengan refleks memegang tas Alwi. Alwi yang terkejut melihat perlakuan Awaliyah,
bergerak mundur. Ceritanya doi kalau terlalu dekat dengan cewek, maka akan
salting terus. Jika doi sudah begitu, maka doi akan segera menarik-narik bawah
bajunya. Padahal bajunya biasa aja lo, bukan tipikal baju yang kekecilan
seperti pakaian para kaum pagan.
Awaliyah
membuka gagang pintu sekre.
“Hahaha…”
tawanya meledak begitu saja, sampai Alwi melihat kejanggalan. Awaliyah
kinimenutup mulutya dan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Sungguh!! Awaliyah
tidak bisa menyembunyikan tawanya!
“Hahaha
senganya.” Tawanya lagi.
Alwi
melihat ke arah Awaliyah.
“Ketawamu
kurang besar,” ucapnya dengan nada mengejek.
“Coba
tunjukkan yang lebih besar lagi,” ucap Awaliyah padanya.
“Hahahaha!!!”
Alwi tertawa dengan volume yang sangat besar membuat mata Said menuju kearahnya.
Alwi menutup mulutnya lalu bertingkah biasa saja. Ia menatap Awaliyah yang saat
itu memandangnya gugup, lalu mereka menunduk.
Said
memicingkan matanya, dan lagi-lagi. Owh silau mamen, pancaran cahaya di gigi
putih itu membuat kaum yang melihatnya harus melindungi sinar terang itu. Bikin
insyaf.
Said
menunjuk keduanya, sambil menggoyang-goyangkan telunjuknya.
“Ini
nih… ini ni something wrong-nya. Jika sedang berdua terlihat akrab. Jika sedang
bersama yang lain, kalian bagaikan anjing dan kuncing, bagaikan langit dan
bumi, air dengan api, bagai venus dan mars. Oopss kepanjangan ya…”
Kena
lagi deh bully-an Said. Haduhh… kenapa saat kesenangan itu datang, kesialan itu
juga turut menyertainya. Jika sudah kena bully-an, maka mereka akan terdiam
terbisu. Seolah mereka tidak saling kenal. Alat indra yang akan menhubungkan
kedua insan ini saat situasi seperti itu adalah mata. Mata memang tidak bisa
berbohong. Bibir adalah penampung kebohongan, telinga penampung kebebalan,
namun mata penampung kebenaran.
Kesibukan
Awaliyah menuntaskan aktivtasnya di FB, tak luput dari tatapan Alwi. Hari ini
doi tengah memperhatikan penampilan baru Awaliyah yang terlihat lebih kece oleh
kaca matanya. Kaca mata itu memiliki gagang yang tebal, warnanya hitam, dan
kacanya lebar. Tidak seperti dirinya yang mengenakan kaca mata kecil.
Diperhatikan letak kaca Awaliyah yang tidak tersusun dengan rapi. Kadang
menyerong ke kiri, terkadang pula ke kanan. Sampai-sampai kaca mata itu hampir
menyentuh bibirnya. Mungkin itu disebabkan hidung cewek itu tidak tajam
sehingga sulit untuk menampung benda di atasnya. Tetapi letak kaca itu akan
tersusun kembali jika ujung jarinya sudah memainkan perannya.
Meskipun
tidak melihat ke arah Alwi, Awaliyah tahu betul bahwa ia tengah diperhatikan
oleh sepasang mata. Awalnya dia merasa risih jika diperhatikan seperti itu.
Tetapi untuk tatapan kedua, ketiga, dan seterusnya justru dia justru nyaman
dengan tatapan itu. Bahkan jika tidak ada tatapan itu, dia merasakan kehampaan.
Sedangkan Alwi yang merasa Awaliyah tidak sadar dengan dengan tatapannya. Doi
akan semakin senang untuk lama-lama menatap Awaliyah.
Pintu
agar tergeser lebih lebar. Sosok jangkung itu datang dan menempati sisa karpet
untuk duduk.
“Salam
dulu dong mas…” sela Said saat melihat kedatangan Ahlul.
“Aku
sudah mengucapkannya, tetapi kalian saja yang tidak mendengarnya.
“Kayaknya,
memang gak ada yang salam tadi,” sela Awaliyah.
“Karena
aku mengucapkannya dalam hati,” jawabnya sambil tidak lupa merapikan rambutnya.
“Mas…
ada status selebriti terbaru lo.”
Lagi-lagi
hawa pembullyan akan segera ada. Memang ye, kalau sudah berada dekat dengan
raja bully. Bisa berabe semua urusan asmara.
“Alwi
dan Awaliyah benar-benar kompak. Kooompak banget. Sekarang gak hanya di maya,
maupun di belakang punggungku. Tetapi juga di balik tembok.”
“Aku
tidak membutuhkan basa basimu. Cepat jelaskan alasannya,” ujar Ahlul tidak
sabaran. Doi memang tidak suka waktunya dibuang banyak, jika yang dibincangkan
hanya sekedar basa-basi.
“Oke
mas aku jelaskan. Tadi aku menemukan mereka berdua tengah seperti sepasang
kekasih lo. Dan baru kali ini aku melihat Alwi tertawa lepas seperti tadi.
Apakah yang dibicarakan oleh dua insan yang dimabuk asmara ini? Entahlah yang
jelas mereka tadi telah janjian akan berangkat bareng. Boncengan di satu sepeda
gitu…”
“Sembarangan…..”
protes Alwi dan Awaliyah serempak.
“Tuh
kan, nyebutnya bareng. Sudah…. Akuin sajalah apa yang sebenarnya terjadi.”
Alwi
dan Awaliyah diam. Mereka sudah tidak tahu lagi harus menyergah omongan si raja
bully.
“Lain
kali aku akan datang lebih telat lagi. Agar aku tidak disangka berangkat bareng
dengannya,” ujar Alwi dalam hati. Ane
lagi galau ni mamen.
*****
Alwi menaiki sepedanya lalu
megayuhnya menuju sekre. Ia memang sengaja pergi terlambat, alasannya? Karena
ia tidak mau bertemu dengan Awaliyah saat di jalan. Ia malu bila harus ketahuan
lagi berangkat bareng Awaliyah.
Kayuhan Alwi semakin cepat saat
berada di belokan air mancur. Tapi sepertinya usaha Alwi untuk datang telat
sia-sia. Ternyata Awaliyah juga sengaja untuk berangkat telat agar tidak
bertemu dengan Alwi. Dan sekarang, akhirnya mereka bertemu lagi.
“H..hai,”
sapa Awaliyah saat ia dan Alwi sedang berjalan berdampingan. Alwi baru saja
berbelok ke kanan.
“Hai,”
sapa Alwi balik sembari tersenyum pada Awaliyah.
Alwi
tertawa terbahak-bahak. Awaliyah melihat Alwi dengan tatapan bingung.
“Kenapa?”
tanyanya.
“Hahaha…
kamu pasti takut dibully sama raja bully… benarkan. Benar?”
“Kayak
kamu tidak aja… weekk….”
“Hahaha
bilang saja kalau kamu juga malu di depan aku. Karena aku adalah tipe idealmu,”
sergah Alwi yang masih tertawa terbahak-bahak.
“Apa
katamu?” teriak Awaliyah sambil menendang sepeda Alwi sehingga hampir saja
terjatuh dari sepedanya.
“Ya..
kamu mau membunuhku?” bentak Alwi sembari menjalankan kembali sepeda miliknya.
Kali ini Awaliyah yang tertawa terbahak-bahak.
“Hahaha…
kalau bisa,” ucap Awaliyah sambil menjulurkan lidahnya ke arah Alwi lalu
mengencangkan laju sepedanya sebelum Alwi menangkapnya.
“Ya…
jangan kabur!!” teriak Alwi sambil mengencangkan laju sepedanya. Awaliyah
mengayuh sepedanya dengan kencang lagi tak sadar bahwa ada polisi tidur di
depannya. Dan sepeda itu oleng. Ia tidak bisa meraih keseimbangannya sehingga
membuatnya terjatuh. Awaliyah jatuh terguling ke tanah. Sekujur tubuhnya terasa
nyeri. Setelah berdiri ia ingin melanjutkan mengayuh sepedanya, tapi tangan dan
kakinya lemas. Akhirnya dia memutuskan untuk terduduk lagi. Saat itu ia melihat
Alwi datang menghampirinya.
Alwi
mengangkat wajah Awaliyah. Wajah Awaliyah yang merah itu bengkak dan lubang
hidungnya mengeluarkan darah. Alwi membelai kulit di atas bibir Awaliyah dan
membersihkan darahnya. Ingat mamen
prinsip 5 m.
Alwi
tersentak kaget saat menyadari tingkahnya yang sungguh di luar logikanya.
“Apa
itu? Kenapa tingkahmu seperti itu? Astaga! Itu bukan muhrim-mu. Buang-buang
waktu saja.”
Awaliyah
segera mengakkan tubuhnya, dan bergegas meraih sepedanya. Entah dari mana
tenaga itu. Yang jelas dirinya kini sampai di sekre beserta Alwi yang di
belakangnya. Meskipun anggota Nuansa sempat panik dengan keadaan Awaliyah,
namun kasus pembullyan itu tak kunjung reda.
*****
“Masih OL?” tanya Alwi pada suatu malam.
“Masih,”
jawab Awaliyah singkat.
“Kok
belum tidur?”
“Entahlah..”
“Kamu
pasti lagi merindukan aku?”
“Jika
iya, terus kenapa?”
Awaliyah
berhasil menggoda Alwi. Salting lagi, salting lagi… doi memang tidak bisa
menyembunyikan perasaan itu. Untung saja mereka tidak ngobrol di dunia nyata. Alwi
menepis perasaan itu dan mengeluarkan jurus terbaru. Berubah…… sambil mengangkat kedua tangannya, lurus, dibidik ke
kanan.
“Jika
kamu merindukan aku. Pandangilah langit malam ini.”
Awaliyah
sontak kaget membaca tulisan yang tertera. Sial
kok ane digoda balik. Dia segera mengangkat laptopnya menuju balkon dan
melihat apa yang diperintahkan. Entah hal apa yang membimbing kaki itu menuju
ke sana.
“Sudah
kamu lakukan?”
“Sudah…”
“Apa
yang kamu lihat?”
“Bintang…”
“Apakah
kamu tidak melihat wajahku?”
Awaliyah
menggelengkan kepalanya. “Tidak.”
“Jika
belum cukup juga, cobalah hirup udara malam ini, nafasku ada di situ..”
Awaliyah
menghirup dalam-dalam udara itu.
“Sudah
kamu lakukan?” tanyanya lagi.
“Sudah.”
“Apakah
kamu merasakan nafasku di situ?”
“Tidak
hanya nafasmu saja yang kurasakan, tetapi aku juga merasakan perasaan itu.
Apakah kamu merasakan perasaan yang sama?”
Alwi
memundurkan kursi duduknya. Pernyataannya… pernyataannya yang tiba-tiba. Bagaimana ini? bagaimana ini mamen? Apa yang
harus aku lakukan. Wajah Alwi menguratkan kebingungan. Apakah yang harus
dilakukannya? Membalas pesannya? Membalas dengan bagaimana?
Merasa
frustasi, Alwi menghempaskan tubuhnya ke kasur. Pikirannya tak tenang, di
bolak-balik posisi tidurnya. Tak jua membuat efek ngantuk dari mata teduhnya.
Pikirannya terus melayang oleh kata-kata yang terlontar oleh cewek itu. 2 jam
berperang untuk menghadirkan rasa kantuk tak kunjung datang juga. Sia-sia
memejamkan matanya, semakin ia pejamkan semakin bayangan cewek itu terus
menari. Dengan sigap ia bangun dari tidurnya. Membasuh wajahnya, membasahi
kedua pergelangan tangannya hingga di atas siku, hingga membasuh kedua telapak
kakinya sampai mata kaki. Mungkin dengan sholat bisa menyelesaikan pikirannya
yang bergejolak. Digelarnya sajadah yang dia beli 2 tahun yang lalu, saat
pertama kali ia memutuskan untuk kuliah di UMY.
Usai
sholat, tangannya mengadah ke atas dan memohon petunjuk untuk bagaimana ia bisa
menata hatinya. Islam melarang orang pacaran, jika seseorang itu berpacaran,
maka pada saat itu juga imannya telah runtuh. Namun bagaimana jika perasaan itu
muncul. Munafikkah saat seseorang otaknya berpikir bahwa ia tak memiliki rasa
itu tetapi hati sendiri berkata bahwa rasa itu ada, bisakkah dikategorikkan
dengan munafik?
Alwi
melipat kembali sajadahnya dan memutuskan untuk mengecek komputernya. Pesan itu
belum juga ditutup olehnya. Sebelum dia menutup layar itu, ia mengambil kamera
genggam yang warnanya telah termakan oleh waktu. Ia mendokumentasi pesan itu.
Di bacanya berkali-kali pesan itu saat setelah di atas kasur, kadang ia
tersenyum, kadang galau, dan kadang tersenyum lagi. Sampai akhirnya mata itu
redup.
Awaliyah
terbangun terlonjak bangun dari tidur singkatnya. Ia meraba-raba poselnya yang
sepertinya semalam ia letakkan di meja. Matanya terbelalak saat melihat jam
telah menunjukkan 10 pagi. Ia teringat bahwa semalam dia tidak bisa tidur.
Menyesali kebodohannya karena terlalu ceroboh mengungkapkan kata-kata sensitif
itu.
Lalu
bagaimana dengan Alwi? Apakah dia bisa tertidur semalam. Awaliyah rasa
jawabannya benar. Alwi mungkin akan merasakan hal biasa saja. Lalu kenapa
Awaliyah tidak bisa biasa saja. Harga diri sebagai seorang cewek di mana? Malu
pasti akan ada. Sambil ngedumel sendirian, Awaliyah mengguyur seluruh badannya
dengan air.
*****
“Temui aku hari ini, tempat di mana
kamu menemukan setengah matahari terbit, di puncak tertinggi bangunan di
sekitarnya. Namanya bisa ditemukan di posisi kedua huruf abjad. Masanya pada
saat sang penerang di antara dua tanduk setan, dan pada saat itu orang-orang
kafir bersujud menyembahnya. Aku yang bernama Alwi akan menunggumu di sini.”
Pesan
itu dibaca oleh Awaliyah. Ia terpaku tak mengerti. Menatap kembali layar
ponselnya. Masak iya Alwi memintanya untuk bertemu. Jika ingin bertemu kenapa
tidak di sekre saja. Lalu maksud pesan ini apa. Dengan guratan kebingunan ia
mencari-cari tahu makna pesan itu.
“Di tempat kamu menemukan setengah matahari
terbit, jelas terletak di UMY, secara logonya memang setengah matahari
terbit. Di puncak tertinggi. Di mana
ya? Di sportorium, tidak mungkin, masjid? Atau gedung kembar? Kurasa yang
dimaksud adalah gedung kembar. Namanya
bisa ditemukan diposisi kedua huruf abjad. Alphabet ya A, B, C, D, hahhh
iya tempatnya di AR Fachrudin B. Masanya
pada saat sang penerang di antara dua tanduk setan, dan pada saat itu
orang-orang kafir bersujud menyembahnya. Berarti sebelum matahari
tenggelam, sejarah itulah yang membuat tidak ada perintah sholat sunnah Ba’da Ashar
dan sholat sunnah Qobla Maghrib karena ditakutkan terjadi penyembahan itu. Oke
aku akan menemuimu sebelum Maghrib.
Awaliyah
mengecek arah jarum jam yang tertera di layar ponselnya.
“Tuhan…ini
kan sudah jam 5.”
Awaliyah
segera turun dari tangga unires, dan dengan sekejap meraih sepedanya. Saat
sampai di depan gedung ia segera menuju ke lift dan menekan angka 6. Awaliyah
berlari, tak peduli alas sepatu yang dia kenakan telah terinjak oleh kaki
kanannya hingga terlepas. Ia sebenarnya tak yakin harus melangkahkan kaki ke
mana saat lift itu terbuka, hingga sosok laki-laki berkemeja hitam menghentikn
langkahnya. Matanya terarah ke bawah, melihat keindahan kampus anti rokok dari
atas.
“Kamu…”
ucap Awaliyah. Alwi menoleh sekilas kemudian tersenyum.
“Kok
kamu bisa ada di sini?”
“Perasaan
itu yang membawaku ke sini.”
“Jika
aku menggunakan logikaku, maka aku takkan sampai membawamu ke sini. Akibat
hijab yang terus menghalangi langkah. Hijab yang harus diterapkan saat berjumpa
dengan orang yang bukan muhrimnya. Akan tetapi jika perasaan yang berkata, maka
sudah seharusnya kita terbuka.”
“Lalu?”
“Aku
memilih untuk tidak menyimpan cinta hanya di dalam hati. Aku juga tidak tahu
apakah ini waktu yang tepat untuk menyatakan, karena bukankah selama ini aku
tidak pernah menemukan waktu yang tepat? Tapi tahukah kamu bahwa kita ini
adalah penentu takdir Tuhan.”
“Maksudmu,
kamu ingin kamu ada di hatiku.”
“Bukan
hanya ingin, tetapi niat.”
“Apa
bedanya ingin sama niat? bukankah memiliki tujuan yang sama!”
Alwi
menghembuskan nafasnya. Doi sedikit salting jadi bagian bawah bajunya ditarik.
Heran, padahal baju doi tidak kekecilan lo, tapi kok doi merasa bajunya
kekecilan sampai ditarik gitu. Mungkin untuk mengekspresikan salting-nya kali
ya. Tangan kanannya kini menunjuk ke arah selatan. Tangan itu diikuti oleh
tatapan Awaliyah.
“Bedanya
niat sama ingin. Jika aku berjalan di tembok batas gedung ini dengan kaki
berjinjit. Jika aku niat, aku akan memiliki tekad untuk selamat. Aku hanya akan
menoleh ke arah kakiku dan tidak akan menoleh ke kiri maupun ke kanan, sekali
pun ada orang yang memanggilku. Akan berbeda halnya dengan ingin, hanya ingin.
Jika aku berjalan berjinjit di tepian ini, saat ada yang memanggil namaku, maka
aku akan menoleh dan membuatku terjatuh ke tanah.”
Awaliyah
yang mendengarkan paham betul akan pernyataan Alwi.
“Sekarang
kita semester berapa?”
“Semester
4.”
“2
atau 3 tahun lagi, aku akan datang ke rumahmu untuk meminangmu. Sanggupkah?”
“Aku
akan senang menunggu saat itu.”
“Maukah
kamu menjadi pilihanku, pilihan terakhir dalam hidupmu?”
“Aku
tidak hanya mau tapi juga niat,” senyum manis terukir dari bibirnya.
“Baguslah…
sekarang jika ingin episode Alwi dan Awaliyah berlanjut, maka simpanlah
baik-baik kisah kita ini. bisakah?”
“Sekali
lagi aku berniat untuk menyimpannya.”
“Bagus…
jika kita tidak ingin dibully masal, maka simpanlah baik-baik perjalan kisah
cinta kita ini.”
Dan
bahkan penulis pun tidak boleh membeberkan kisah cinta mereka berdua. I
promise…..#Layar kaca ditutup.
THE END
Fakta-fakta MULIA (Mujib-Lia)
Couple
-
Memiliki kemipiran
·
Sama-sama memiliki mata panda
·
Mempunyai berkulit susu putih
·
Bibir yang ranum
·
Tubuh yang ramping
·
Selain itu, Lia sangat mirip dengan Ibu
Pecel Lele di depan SD. Sedangkan Mujib memiliki kemiripan sifat yang ke
bapak-pecelelan.
-
Sama-sama menggunakan kaca mata
-
Memiliki hobi yang sama. Hobi bermain di
FB
-
Jika Mujib update status, maka di
bawahnya ada komen Lia. Atau sebaliknya. Minimal jika tidak, maka setidaknya
mereka main like-like an.
-
Jika ada orang yang update status dan
Lia mengomentari status itu. Dengan segera Mujib akan membalas komen Lia,
dengan mengabaikan komen2 temannya yang lain.
-
Jika Lia digoda seputar asmara dengan
Mujib, maka dia akan lebih mengataskan lagi bibir atasnya sambil bergumam
“Hehhh”. Sedangkan Mujib hanya bisa tersenyum tipis dengan mata berbinar.