Di usia saya yang sudah tidak lagi
receh dan tidak lagi dijuluki cabe2an di situ saya juga akan terus berucap
thanks God I am alive. Alhamdulillah saya masih dikasih sumbangan oksigen di
usia twentysomething ini. Sebagai wanita yang telah dua kali merasakan
kelulusan universitas tentu bukanlah hal yang mudah ya. Habis waktu dipikul
tidak dinikmati (mungkin). Sebentar… saya kecangkan volume MP3 saya dulu
kebetulan HP nya lagi muterin soundtrack Iss Pyar Ko Kya Naam Doon Ek Baar Phir
lagu favorit saya saat ini.
Saya lanjutkan menulisnya. Revolusi
perabadan tentu memiliki tantangan sendiri setiap eranya. Saya akan
menceritakan sedikit saja tantangan yang pernah dialami sesuai era individu. Sekilas
saat saya melihat anak kecil menangis meminta permen kepada ibunya, tangisan
anak kecil itu dikencangkan apabila benda yang diinginkan tak jua berada di
tangannya, seolah anak itu adalah yang tersengsara di dunia. Tangisan anak itu
akan berhenti saat sudah menikmati permen di mulutnya dan si anak akan berubah
menjadi yang terlucu di dunia. Masalah anak kecil itu sudah selesai saat itu
juga. Kita berlanjut ke era EsDe anak-anak akan memiliki masalah tersulit dalam
hidupnya saat mendapatkan tugas matematika. Melihat buku itu saja sudah
merinding. Kemudian masalah itu akan teratasi jika pelajaran itu sudah berlalu.
Entah dilalui dengan mengerjakan soal Matematika secara mandiri, atau mencontek
teman sebelah, atau tidak menyentuhnya sama sekali. Itu urusan siswa dengan
guru ya, yang jelas masalah itu terselesaikan bukan?
Di era SMP justru beda lagi, saat
di mana bentuk tubuh sudah mulai banyak perubahan. Ini khusus perempuan ya dan
khusus penulis. Hal yang paling ditakutkan oleh saya saat masih MTs (dulu waktu
SMP saya sekolah di Madrasah Tsanawiyah) adalah saat lagi haid lalu darahnya
menyebar hingga rok saya. Aduh saya malu sekali diliatin siswa lain. di situ dengan
remot kontrol otomatis siswa cowok akan mengejek saya sebagai orang yang sudah
baligh. Saat itu juga saya menangis sejadi-jadinya. Ada siksaan mental yang
saya alami berkat bully-an tersebut,
sempat saya tidak mau datang ke sekolah lagi. Perlahan-perlahan kasus itu
memudar. Masalah itu memang tidak terselesaikan dengan baik tapi cukup
dilupakan saja, anggap saja angin telah berlalu. Senyum terukirpun bisa
didapatkan setelah dua hari kejadian dan saya sudah berdamai dengan mereka
termasuk menjadikan teman yang membully saya menjadi sohib.
Beralih ke jaman SMA ya. Ini jaman
saya lagi bandel-bandelnya. Bayangkan saja beasiswa saya sampai dicabut hanya
karena banyak melakukan kesalahan. Bolak-balik ruang konseling. Bahkan tidak
pernah sekalipun mendapat peringkat di sekolah. Pernah juga sebenarnya dapat
peringkat satu dari belakang (hihihi aib jaman dulu dan jika diingat-ingat akan
menjadi yang terlucu). Jadi pemanjat tembok perempuan pertama di sekolah. Dulu
saya gak berhasil manjat tembok keburu ketahuan. Hehee. Hal yang paling menyebalkan
pada fase ini adalah adalah harus ya kebebasan saya diikat. Saya ingin begini
ingin begitu cuma itu saja dan disambut dengan larangan.
Jaman kuliah adalah jaman anak
rantauan. Awal-awal memang sulit dijalankan bahkan saya pernah merasakan culture shock pada saat itu, saya
kebayang terus dengan suasana rumah and
always feels homesick. Dengan berjalannya waktu saya menemukan banyak
sekali teman. Teman kelas, teman organisasi, teman kosan. Semua teman itu sudah
seperti saudara sendiri. Mereka merubah segalanya, bertemu teman selayaknya
seperti berada di rumah. Kompetisi akademis juga menjadi ajang yang menggiurkan
yang tidak boleh dilewatkan. To-be-the-biggest-one sangatlah penting pada saat
itu. Sampai-sampai karena keasyikan bergelut dalam dunia itu, kemudian saya
panik dengan usia saya dan masa depan saya. Saya mulai menimbang-nimbang akan
dibawa ke mana sebenarnya jalan hidup saya ini?
Kemudian saya mengambil jurus yang
paling aman dengan melanjutkan studi S2. Tidak seperti pada saat mengenyam
pendidikan S1 ya, saya ternyata juga harus mengalami culture shock di sini. Bertemu dengan orang yang memiliki latar
belakang yang berbeda dari rekan-rekan saya waktu S1. Tentu untuk mengikuti
alur tersebut sebisa mungkin saya harus menyesuaikan diri. Di sini saya mulai
belajar bagaimana saya bisa mendapat penerimaan atau bisa diistilahkan dengan acceptance theory (kapan-kapan kita
bahas istilah ini ya) dari rekan-rekan saya. Pada fase ini saya pernah merasa
jadi perempuan paling bodoh dalam urusan hati. Nyaris saya tidak dapat
memusatkan perhatian studi yang saya tempuh. Alhamdulillah masalah hati secara
tepat diatasi oleh kelulusan. Yeayy saya sudah lulus sekarang. Saya sebenarnya
tidak bangga mendapatkan kelulusan namun yang dibanggakan adalah akhirnya saya
berhasil memenangkan ego saya. Ego saya akan hal nyaman terhadap suasana malas,
memerangi mood saya yang tiada
habisnya berkata ‘tidak’.
Apakah saya akan puas dengan gelar
yang sudah disematkan sekarang ini? Owhh tidak, akan banyak sekali tanggung
jawab yang harus ditanggungkan pada saya. Pernah kan denger asumsi publik bahwa
universitas adalah produk pengangguran artinya universitas mencetak sarjana
pengangguran. Yuppp deretan sarjana pengangguran sama banyak seperti deretan
jomblo ngenes di pinggir jalanan. Mereka memiliki popluasi yang tak terhingga
sehingga jika menentukan sampel harus memiliki rumus khusus. Hiihihiii
Mari saya lupakan dulu sejenak
predikat yang telah mengabaikan potensi dengan melalukan peng’hina’an terhadap
diri saya. Ada beberapa fokus permasalahan yang coba saya ungkapkan dalam fase
ini. Pada tahap ini saya tengah menjadi seorang yang bukan apa-apa, tak bisa
apa-apa, dan mungkin tak bisa menjadi apa-apa? Dan dalam lubuk hati saya saya
ingin menjadi apa-apa, ingin bisa apa-apa, dan mungkin bisa menjadi apa-apa.
Setidaknya saya punya nilai plus dalam tahapan ini. Setidaknya saya masih punya
keinginan. Bukankah tak ada orang biasa di dunia ini. Semua orang berpotensi
untuk menjadi luar biasa. Yang ada hanyalah orang yang gagal menjadikan dirinya
bintang. Meskipun bintang tidak bersaing pada saat siang namun bintang itu
bersaing di malam hari, memperlihatkan cahanya. Masing-masing bintang memiliki
kompetisi untuk memperlihatkan dirinya sebagai yang paling terang. Tentu kita
bisa melihat berbagai jenis bintang. Ada bintang yang besar dan paling bersinar
terang dan ada bintang yang bentuknya kerdil dan cahayanya remang-remang. Hal
tersebut tentu saja disebabkan oleh jarak. Semakin dekat semakin telihat. Untuk
itu jangan pernah gentar untuk mendekat, mendekatkan diri pada kemenangan.
Saya kini tengah membungkus tubuh
saya dengan selimut tebal, udara di malam ini dingin sekali. Saya membuka
jendela kamar dan merasakan hembusan angin. Bau tanah yang segar sehabis
dilanda hujan menyempurnakan suasana malam ini. Tidak akan ada bintang yang
terlihat malam ini disebabkan oleh hujan. Sembari menikmati malam saya mulai
merenungkan perjuangan pasukan muslim dalam perang Mu’tah, itulah kejadian di
mana pasukan Islam pertama kali bertempur melawan Romawi Byzantium pada Jumadil
Awal tahun 629 M. Perang yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah dengan jumlah
pasukan 3.000 prajurit yang akan menghadapi 200.000 pasukan bersenjata lengkap.
Dalam soal angka pasukan Muslim kalah jauh namun mereka tetap mengobarkan semangat
dan mengusir segala gentar dan kecemasan. Bayangkan saja tiga ribu melawan dua
ratus ribu sama saja dengan bunuh diri. Nyatanya sejarah mencatat pasukan
muslim yang terbunuh saat itu hanya dua belas orang. Kedua belah pihak
sama-sama mundur dari medan perang. Bisa dibilang umat Islam belum mampu menang
secara total, tapi bisa jadi itu merupakan isyarat kemenangan. Baginda Nabi
saw. adalah pemimpin yang paling hebat dalam memotivasi umatnya. Yakin Mario
Teguh kalah jauh.
Apa yang bisa saya petik dari
ulasan cerita di atas? Saya menarik nafas dan melepaskannya perlahan. cerita
ini saya hubungkan dengan fase sekarang ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa kaum
Muslim pada perang Mu’tah dari yang tidak menjadi apa-apa menjadi apa-apa. Lalu
kenapa saya tidak bisa seperti menjadi demikian. You can, if you think you can. Bintang yang itu ada pada diri kita
biarkanlah bintang itu bersinar dengan usaha kita. Jangan biarkan diri kita
kalah dengan kompetisi kerdil yang tidak akan pernah sebanding dengan perang
Mu’tah. Selama sumbangan oksigen masih setia masuk ke lubang hidung saya yang
maha besar ini segalanya bisa dilakukan. Saya percaya itu.
Pada fase ini pula saya telah
memutuskan jalan hidup saya sebagai seorang pengajar, untuk sementara sekarang
saya menjadi tenaga honorer di dua universitas swasta di Mataram. Kenapa saya
memutuskan untuk mengajar? Profesi mengajar tidaklah profesi yang cemerlang
dalam meraup sebongkah berlian. Lalu kenapa saya memutuskan memilih jalan itu?
Karena saya hobi, sederhana bukan. Saya menikmati profesi saya sekarang ini.
Saya menyiapkan materi dan menyalurkan materi itu kepada anak didik saya.
Materi itu akan tertanam di benak mereka, dan Insya Allah akan bermanfaat dalam
membangun karakter mereka ke depannya. Saya puas dengan pengalaman seperti itu.
Bukankah ada lagu dengan lirik ‘engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa’,
oh ya liriknya sudah berubah jadi engkau patriot pahlawan bangsa pembangun
insan cendekia. Itu lirik untuk para guru ya, tapi bisa jugalah disematkan
kepada para dosen. Xixixi. Ya saya memilih jalan hidup saya sebagai seorang
pengajar, semoga ilmu yang saya berikan berkah. Kemudian bagaimana dengan jalan
hidup Anda, bagaimana jalan Anda dalam menyinari bintang dalam diri Anda?
Semoga jalan yang Anda putuskan menyamankan hidup rekan sekalian. Life is choice, enjoy your way and stop
compare these and those from other thing, okkay!!!