Sabtu, 03 Februari 2018

SPRING DAY

(Sebuah Cerpen Karya Dwi Tesna Andini)

Ada sesuatu yang tidak ingin kukatakan padanya sejak dulu. Sampai sekarang aku belum berani mengatakannya. Karena yah aku belum siap dan masih takut. 
Seandainya aku mengatakannya, reaksi apa yang akan ia berikan? 
Apakah dia bisa menerima pengakuanku? 
Apakah dia masih akan menatapku seperti biasanya? 
Tersenyum padaku? 
Atau justru dia malah menjauh dariku dan meninggalkanku? 
Apapun reaksinya. Aku berharap satu hal, dia tidak meninggalkanku.
Dan benar sebelum aku sempat mengatakannya dia benar-benar sudah meninggalkanku. Aku menyesal karena telah membuatnya menangis. Kuakui aku terlalu kasar waktu itu. Karena sifat pemarahku kita bertengkar terhadap hal-hal yang bodoh.
Pertemuan singkatku dengannya menyimpan sejuta kenangan yang mungkin sulit untuk aku lupakan. Di sepanjang perjalananku menuju hari demi hari wajahnya selalu terbayang di benakku, aku pikir diriku sendiri sudah gila.
Hari Kamis kira-kira pukul setengah enam sore aku sedang berada di dalam bus. Saat itu aku berdiri menghadap kaca jendela, menatap jalanan Shinjuku. Jalanan cukup ramai, mobil-mobil yang berseliweran nampak basah dengan tetesan salju, pejalan kaki menyusuri trotoar di pinggir jalan. Layaknya kota yang menghadapi musim dingin, orang-orang akan berbalut dengan jaket tebal beraneka warna dan ini yang buatku tidak suka dengan musim ini karena harus membebat badanku dengan pakaian tebal. Tetapi aku juga sangat menantikan musim ini karena setiap kali aku melihat bangunan, pohon, dan kota yang diselimuti oleh salju putih berkilat-kilat. Rasanya hati terasa damai, aneh.
Tak heran bila aku sangat menikmati waktuku di dalam bus sambil melihat sepanjang jalan. Tak pernah ada keluhan bila mana aku harus sampai rumah sudah malam. Seperti sekarang ini. Seusai pulang kerja aku sengaja tidak mampir dulu ke apartemen tapi justru mengikuti bus ini sampai pemberhentkan terakhir. Entahlah mungkin bagi banyak orang ketika musim salju lebih baik menghabiskan waktu di rumah. Karena cuaca yang tidak cocok berada di luar rumah. Tapi itu tidak berlaku bagiku. Musim dingin bagiku itu adalah hari-hari yang paling mengesankan dibandingkan musim-musim lainnya.
Kendaraan itu berhenti, itu berarti akan ada penumpang turun dan aku bisa mendapatkan tempat duduk. Selamat Aku bergegas menuju tempat duduk yang belum berpenghuni. Beruntungnya di sebelah adalah seorang gadis. Dari mana datangnya gadis secantik ini? Parasnya begitu menawan. Wajahmu layaknya bunga mawar yang mulai mekar, dengan aroma khasnya yang menggoda setiap insan yang berada di dekatnya. Tubuh gadis itu mungil, bermata sipit dan rambut lurus sebahu tangannya yang mungil memeluk tas ransel bewarna cokelat sembari menatap keluar jendela.
“Permisi,” kataku kemudian.
“Boleh aku duduk di sini?” ujarku menepuk kursi kosong di sebelahnya.
Dia mendongak dan menatapku tanpa berkedip. Kupikir dia tidak berniat untuk menjawab pertanyaanku, maka dari itu sebelum pandangannya beralih menghadap  ke arah jendela, aku cepat-cepat berkata, “selamat sore.”
“Eh?” katanya kaget.
Gadis itu menoleh lagi dan memastikan barangkali ia mengenaliku, nyatanya tidak ini adalah kali pertama kami bertemu.
 Dia terdiam sejenak, lalu bertanya ragu, “Kamu mengenaliku?”
Aku menatap matanya lumayan lama.
“Kamu cantik,” kataku sesaat kemudian, dengan suara pelan tapi cukup bisa didengar oleh gadis itu?
“Heh?”
Dia pasti kaget. Aku lagi-lagi tersenyum. Mata sipitnya melebar.
“Makasih,” akhirnya dia menjawab juga kemudian ia melemparkan pandangannya ke jendela.
 “Namaku Ryo,” kataku sambil menggerakkan tangan yang masih terulur, mengundang gadis itu menjabatnya.  Gadis itu menunduk menatap tanganku, kemudian ia meletakkan tas ransel yang di pelukanya ke sebelah kiri. Ia membungkuk sedikit sebelum menjabat tanganku. Itu salah satu kebiasan sebagai orang Jepang yang tidak bisa dihilangkannya.
“Akira Matsu,” ujarnya
“Akira,” kataku, senyumku melebar.
“Senang berkenalan denganmu.” 
  Apa yang bergetar? Kurasa bukan ponselku karena aku pastikan selama di kantor ponselku berada pada mode diam dan aku belum mengganti menjadi mode dering. Bila bukan ponselku yang bergetar kupastikan jantungkulah yang berdenyut kencang. Terasa benar jantungku berdenyut. Aku masih belum percaya bagaimana mungkin seorang bidadari duduk di sampingku. Ingin menjerit rasanya. 
Di sepanjang jalan diselimuti oleh keheningan, mungkin juga karena aku masih terlena dengan suasana di luar. Memandangi pohon-pohon di sepanjang jalan diselimuti oleh salju yang terlewati bis dengan kecepatan minimum. Sebentar lagi malam dan dingin mulai menyapa tulang keringku. Cahaya matanya mulai redup, seakan ia tak punya daya lagi untuk bergerak. Mungkin bagi dia saat ini paling enak adalah berada di tumpukan kapuk yang nyaman.
Hatiku semakin tak karuan semakin lama melihatnya tak diragukan lagi aku jatuh cinta. Bodoh... aku hanya bertemu dengannya di dalam bis dan singkat. Aku hanya tahu namanya Akira dan cantik. Kenapa aku harus berpikiran sejauh itu. Belum tentu gadis yang di sampingku kini memperhatikan keberadaanku. Tidak ada jaminan pula dia akan suka padaku. Benar kan?
Tak lama bis itu berhenti di terminal menyadarkanku dari lamunan. Aku terpaku melihatnya yang berpamitan dan meninggalkan aku bersama kursi kosong. Aku belum percaya dia sudah tidak di sampingku. Pertemuan singkat itu menyimpan banyak kenangan indah dan kupastikan sulit untuk kulupakan.
Lalu apa yang harus aku lakukan? Mengejarnya? Ada apa denganku. Aku sudah tidak waras? Dan benar aku sudah mengikuti langkah gadis itu. Angin bertiup agak kencang malam itu. Hakura Matsu mengibaskan rambut pendeknya agar tidak menghalangi pandangannya saat ia bergegas menyusuri jalan kecil dan sepi. Mungkin itu adalah jalan menuju rumahnya. Aku bisa melihat gadis itu menggigil. Jaket dan sweter tebalnya tak membantu menghalangi angin menusuk tubuhnya.
Gadis itu berhenti saat ia menyadari ada yang mengikutinya. Tubuhnya berbalik ke belakang Kamu mengerjap mengenali suara yang kamu kenali, mungkin.
Aku melangkah mendekatinya sehingga tampak seperti sebuah bayangan gelap di bawah sinar lampu jalan sambil mengangkat kedua tangan. Samar-samar aku melihat mayamu melebar setelah melihat sosokku yang terlihat jelas.
“Kamu?”
Aku menurunkan tangan dan tersenyum lebar.
“Sedang apa kamu di sini?” tanyanya terlihat heran dan bercampur curiga. Ia mengedarkan pandangan di sekelilingnya. Tenang kawan, aku tidak jahat. Matanya yang sipit disipitkan sambil bertanya.
“”Kamu mengikutiku?”
Aku tidak langsung menjawab. Aku terdiam. Sebenarnya aku sedang berpikir kira-kira kalimat apa yang pantas aku lontarkan agar gadis itu tidak lagi takut kepadaku.
Lalu aku menjawab dengan nada merenung, “Aku hanya ingin memastikan kamu pulang dengan selamat.”
Hakura terdiam sejenak dan tetap menatap diriku yang berada di hadapannya. Lalu, tanpa memperdulikan jawabanku, ia berujar lagi, “Aku menguasai gerakan bela diri. Kamu jangan macam-macam denganku ya?”
Aku tertawa mendengar jawabannya, membuat gadis itu tambah takut. Aku menjejalkan kedua tangan ke saku jaket biru tua dan mengangkat bahu. “Karena tadi aku sudah bilang selamat sore dan sekarang sudah malam. Jadi aku hanya ingin mengucapkan selamat malam. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk mengikutimu.”
Lagi-lagi gadis itu berkedip membuat wajahnya tambah manis. Setelah mengatakan itu, aku langsung balik badan tanpa menoleh ke arahnya lagi. Satu hal yang penting, aku sudah mengetahui alamat rumahnya.
* * *
Pagi-pagi sekali aku sudah rapi di depan rumah Hakura, waktu itu kira-kira pukul tujuh pagi.
“Kamu mau berangkat sekarang?” tanyaku saat melihat Hakura keluar dari halaman rumahnya. Terlihat jelas gadis itu kaget melihat keberadaanku.
Dia menjawab dengan anggukan dan sedikit angkuh. Aku mengikuti langkahnya. Dia tidak menggubris.
“Aku antar kamu.”
“Buat apa?” tanyanya tanpa menoleh.
“Untuk memastikan kamu sampai kantor dengan selamat.”
“Terserah,” jawabnya sambil memperlebar langkahnya.
“Aku boleh kan berangkat bareng kamu?”
“Lebih baik jangan.”
“Tapi bis itu diperuntukkan untuk semua orang. Termasuk aku, aku juga bebas memasuki kendaraan yang sama denganmu.”
Gadis itu diam.
“Boleh ya?”
“Terserah deh.”
Begitulah kira-kira kenekatanku saat mendekatinya. Dan gadis itu tidak menolak dengan kehadiranku. Bahkan waktu hari libur, pagi-pagi aku sudah berada di depan rumahnya dan menyuruhnya membuatkan kopi untukku.
Jangan tanya perasaanku terhadapnya. Sudah jelas bahwa aku sudah jatuh cinta dengannya. Menurtuku cinta adalah selera dan selera orang berbeda-beda. Dan tentunya selama dua puluh tahun aku hidup kali ini aku merasakan cinta.
Tapi cinta adalah selera. Dan selera orang berbeda-beda. Dan aku terperangkap pada pesoan gadis itu. Dia benar-benar cantik. Tunggu dulu sebenarnya aku telah bertemu gadis cantik, bahkan sering. Tapi kali ini aku benar-benar memuja kecantikannya. Itulah seleraku. Selera itu muncul begitu saja dalam jiwa dan susah untuk dimengerti. Sama seperti halnya dengan makan. Ada yang mengagumi makan jengkol, dan ada juga yang tidak suka. Namanya juga selera. Beda orang beda selera. Itu juga yang kualami saat ini. secantik-cantiknya Naomi Ishida teman kelasku waktu kuliah tapi aku belum benar-benar memuji kecantikannya. Dia bahkan gagal membuat aku tersenyum ketika melihatnya.
Aku sendiri belum pernah jatuh cinta. Benar dan aku tidak pernah punya pacar. Kata teman-temanku, aku adalah laki-laki dengan ketampanan yang sia-sia. Aku sendiri belum paham kenapa mereka berkata demikian. Tapi aku akui aku memang tampan. Setidaknya sedikit lebih tampan dari sahabatku, Tatsuya. Saat ini tampanku mungkin berguna karena berhasil membuat Akira jatuh padaku. Semenjak berpacaran dengannya aku benar-benar bahagia. Aku sudah terjajah oleh kecantikannya. Membuatku terpenjara dalam suasana konyol. Biasanya aku menghabiskan waktuku kumpul bersama teman-teman untuk bermain sepak bola atau sekedar menonton film bersama. Tapi sekarang aku rela menghabiskan waktuku bersama Akira. Kehadiran Akira membuat hidupku lebih teratur. Aku jarang telat pergi ke kantor karena pagi harinya ada Akira yang membangunkan. Aku juga tidak pernah melewatkan jadwal sarapanku karena ada Akira yang selalu rewel menyuruhku untuk sarapan.
Pernah waktu itu Akira tiba-tiba saja bertanya padaku tentang bagaimana aku bisa jatuh cinta kepadanya.
“Hmmm jadi apa alasannya kamu jatuh cinta kepadaku?”
Aku diam. Lalu aku justru melontarkan pertanyaan kepadanya.
“Kamu mau lihat aku bahagia tidak? Ucapku sambil menatap matanya.
“Iya?”
“Kalau begitu jangan tanyakan itu. Kamu bisa menanyakan tentang banyak hal. Tentang apa saja. Misalnya kamu bisa menanyakan bagaimana senja begitu indah di detik-detik kepergiannya. Atau bila perlu, kamu bisa bertanya berapa kali rupamu tampil di mimpiku. Hanya saja jangan tanyakan padaku bagaimana aku bisa mencintaimu. Sebab rasa itu tak terpahami. Dan nyatanya rasa itu gagal terbuang.”
“Siap...”
Aku tersenyum , Akira juga. Aku memandang matanya seperti dia memandang mataku. Aku sempat menduga habis aku akan terkena diabetes. Hidupku terlalu manis kawan.
* * *
Hari itu, aku menunggunya di toko buku.
Aku berdiri di koridor lantai dua gedung pusat pemberlanjaan tempat kami janjian. Di lantai dua ada sebuah toko yang lumayan besar di kota ini. Akira memintaku untuk menemaninya ke toko buku kali ini.. Dia pernah cerita bahwa sejak kecil ia gemar sekali membaca dan impiannya adalah bekerja di perpustakaan, tempat ia bebas membaca buku sepuasnya tanpa harus mengeluarkan uang. Sudah satu jam berlalu Akira belum juga muncul.
Sembari menunggunya aku sempatkan diri untuk membeli kopi. Ini sudah kali kedua aku minum kopi. Pertama tadi waktu baru sampai aku membelinya di mesin penjual kopi di samping pintu toko buku. Dan kedua adalah sekarang ini.
Ngomong-ngomong sekarang sudah bulan Desember dan itu berarti setiap tempat dipenuhi hiasan Natal. Aku memegang cangkir kertas berisi kopi panas dengan sebelah tangan, sementara tangan sebelah lainnya aku gunakan untuk memegang ponsel yang sedang kutempelkan ke telinga.
“Ya, aku tidak bisa datang sekarang,” kataku sambil memandang ke luar jendela kaca besar yang menghadap depan gedung.
“Kamu pulang jam berapa?” suara berat Tatsuya terdengar di ujung sana.
“Ketika sore datang aku pastikan sudah berada di pintu rumahmu.”
“Tentu saja. Aku tunggu.”
 Minggu lalu aku tidak ikut ke bersama Tatsuya dan lainnya. Kali ini Tatsuya memaksaku untuk datang ke acara kumpul teman-teman kuliah. Mungkin kali ini dia kesal karena aku sering kali tidak ikut. Padahal sebelumnya aku selalu menghabiskan liburanku bersama dia.
Pernah sekali aku menyarankan dia untuk punya kekasih. Sehingga dia tak usah lagi mengganggu waktuku bersama Akira. Hmmm Akira... ke mana sebenarnya gadis itu? Sampai sekarang dia belum juga datang. Aku sudah bosan menunggu di sini, sendirian! Aku juga tidak suka membaca buku. Tak ada satu buku pun yang menarik perhatianku untukku baca.
“Apa? Apa yang sebenarnya terjadi?” Gadis itu tiba-tiba tidak bisa dihubungi. Aku tak tahu kenapa perasaan khawatir tiba-tiba saja datang. Ke mana dia? Dia baik-baik saja kan? Apa yang sedang dia lakukan sekarang? Apakah dia sudah makan? Bila saja dia mengangkat teleponnya, maka aku akan memberikan rentetan pertanyaan yang demikian. Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa dia tidak mengangkat teleponnya? Apa benar baterainya belum sempat diisi baterai sehingga ia tak mau mengangkat teleponku?
Siang itu aku datangi rumahnya. Rumah yang tidak asing ku datangi. Rumah Akira tidak terlalu besar. Mirip seperti apartemen. Rumah itu ditempati oleh Akira sendirian karena kedua orang tuanya tinggal di Hokaido. Karena Akira tinggal di rumahnya sendirian menjadikan rumah tersebut sebagai base camp.
Ketika sampai di sana. Kudapati Akira bersama laki-laki lain. gadis itu terkejut melihat kedatanganku. Akira keluar dari rumah sambil tersenyum. Tanpa merasa dia pernah melakukan kesalahan. Dan aku semakin muak melihatnya. Ketika dia sudah tepat di depanku, aku langsung menamparnya. Aku tidak pernah berpikir untuk melakukan hal itu sebelumnya. Tapi entahlah tanganku tiba-tiba saja tak terkendali.
Akira mengusap pipinya bekas tamparanku sambil menangis. Aku benar-benar ngeri melihat kelakuan kasarku. Tamparan itu keras dan membuat pipinya merah. Tanpa berkata Akira menghentakkan kakinya meninggalkanku. Saat wajahnya berbalik dan hanya terlihat punggunya oleh mataku. Lagi-lagi monster itu merasuk jiwaku.
“Kita putus,” kataku dengan suara tertelan tetapi cukup jelas didengar oleh Akira. Bahkan suara mungkin bisa terdengar oleh laki-laki itu yang kini mengintip di balik pintu depan rumah Akira.
Akira tak menjawab. Dia masuk ke dalam rumah meninggalkanku. Aku tak berniat mengejarnya untuk menghadang langkahnya. Aku masih diam berdiri memandang marah kepadanya.
             Aku baru menyadari diriku sepenuhnya saat aku sudah sampai di dalam bis. Aku tak bisa berpikir kesadaranku kembali hilang sepenuhnya dan air mata tiba-tiba saja jatuh dengan derasnya.
 “Apa yang terjadi?”
Aku bertanya pada diriku sendiri. Kejadian kita waktu itu benar-benar tak bisa kulupakan. Itu meruapakan kenyataan pahit yang harus kutanggung sendiri. Dan semenjak aku mengatakan kalimat terkutuk itu dia menghilang. Aku tak lagi melihat pesannya di ponselku. Aku tak lagi punya teman mengobrol sepanjang malam hingga bergantinya hari. Aku pun tak memiliki sandaran lagi. Aku merindukannya dan aku masih mengharapkannya.
Oh, betapa susahnya hidup tanpanya. Sudah tiga bulan semenjak kepergiannya. Saat makan dan minum bahkan tidur sekalipun aku selalu teringat bahwa kisah kita sudah berakhir. Berpisah dengannya tak membantu diriku menumbuhkan cinta kepada orang lain. sekalipun aku bertemu dengan segelintir gadis di kantor maupun di media sosial. Sekalipun Tatsuya mengenalkan banyak gadis cantik kepadaku.
Namun sayang, senyum manis Akira tak pernah gagal menembuns batinku. Teringat aku suara lembutnya terasa begitu istimewa. Wajahnya yang teduh membuatku semakin ingin melihatnya. Hadirlah, hadirlah wahai gadisku. Aku ingin merasakan seperti apa indahnya bersamanya lagi. Begitulah kira-kira jerit batinku yang menghentakkan jiwa. Cinta yang kudamba bukannya mendekat, justru menjauh. Dia terus berlari seakan tak ada kerikil yang menghalangi langkahnya.
Kata orang cinta akan pudar seiring berjalannya waktu. Tapi pepatah itu tak berlaku bagiku. Cintaku bukannya memudar justru semakin hari cinta itu semakin kuat. Aku khawatir jangan-jangan aku sudah gila. Atau dari sejak mengenalnya aku sudah gila?
Tidak mungkin! Aku tidak gila. Aku bisa bekerja dengan baik. Mengerjakan semua tugas secara rutin sebelum masa deadline berlaku. Aku bisa menghadapi kebringasan ketua divisiku yang perintahnya tidak pernah sedikit. Aku bahkan bisa mencapai target perusahaan. Benarkan aku normal? Tapi bukankah dalam realita banyak orang yang gila yang kelihatannya normal-normal saja. Banyak yang kelihatan aneh padahal sebenarnya mereka tidak gila. Naasnya cinta yang salah menciptakan orang-orang gila. Begitu pula dengan yang sudah kehilangan cinta. Aku tak tahu lagi apakah aku tercatat sebagai daftar orang gila. Entahlah yang kutahu saat ini jiwaku memang sedang tidak sehat.
Dan sekarang perasaan pahit itupun aku rasakan kembali, hal yang sama setelah tiga bulan kita tak jumpa. Tepat pada musim gugur aku melihatnya sedang menghabiskan masa liburannya di taman. Aku tak perlu melihatnya terlalu dekat untuk memastikan apakah gaya rambutnya yang terlihat berbeda, atau menggunakan sweter merah muda favoritnya, dan tas ransel yang ia gunakan saat pertama kali kami bertemu. Aku benar-benar melihatnya. Aku benar-benar terhentak pada kenyataan bahwa kini dia yang dulu bukanlah dia yang sekarang. Dia yang dulu adalah milikku dan dia yang sekarang adalah milik orang lain. tunggu dulu, benarkah dia belum bertuan? Aku harap begitu.
Sebenarnya aku sudah melihatnya beberapa kali semenjak kami putus. Dan aku masih ingat semua detail cerintanya. Haruskah aku bercerita. Boleh ya!
Hari itu, aku melihatmu sedang makan berempat bersama temannya di sebuah kedai makan yang terletak tak jauh dari kantormu. Aku pikir mereka adalah teman sekantornya. Akira begitu bahagia saat itu. Benarkah dia bahagia? Seberapa banyak?
Aku juga pernah melihatnya di pusat perbelanjaan bersama laki-laki itu. Sampai sekarang aku belum tahu namanya. Dan pemandangan itu cukup membuat hatiku tidak lagi mempan dengan balutan plester.
Malam setelah aku melihat kejadian itu aku tidak bisa tidur. Hatiku risau. Pagi harinya wajahku berantakan dan hariku di kantor begitu suram. Yang aku pikirkan adalah apakah Akira benar-benar telah memiliki kekasih? Meskipun aku tidak melihat teman lelakinya menggenggam tangannya. Tapi aku bisa meyakinkan diriku bahwa dia bahagia.
“Hai orang asing, benarkah kamu melupakanku?” rutukku dalam hati.
Dan sekarang aku bahkan menghadiri ulang tahun Ayame sahabatnya waktu kuliah. Hari-hari waktu Akira menjadi milikku, Akira sering mengajak Ayame makan bersama. Bahkan Akira pernah mengajakku ke acara ulang tahun Ayame. Kuberi tahu sedikit, sebenarnya aku tidak diundang ke acara ulang tahun Ayame. Tapi aku menyuruhnya supaya mengundangku. Untungnya Ayame mengiyakan kemauanku.
Antara rasa senang dan rasa takut tiba-tiba menghampiriku. Senang karena bisa melihatnya lagi dan takut karena haruskah aku melihat Akira bersamanya? Apakah ia datang bersama laki-laki itu? Apa benar Akira mengenakan baju pesta yang dibelikan oleh laki-laki itu, persis seperti yang kulakukan sebelumnya? Dan apakah mungkin nantinya dia akan berdansa mesra bersamanya? Badanku langsung lemas hanya dengan membayangkan yang demikian.
Tak lama bermain dengan khayalanku gadis itu datang. Aku bisa melihatnya dari jauh. Dan dia datang sendirian. Itu cukup mengibur. Aku terus melihatnya tanpa sadar dia juga menatapku. Tatapan mata itulah yang kurindukan selama ini. sayangnya tatapan itu tak berlangsung lama sebab laki-laki itu menyapanya. Shit!
Oke kali ini aku tidak bisa berpikir jernih. Apa yang harus aku lakukan? Apakah perlu aku mengikuti pesta ini sampai selesai dengan pemandangan yang akan membuat hatiku kembali berserakan. Aku tidak mau. Lebih baik, sebaiknya aku keluar dari ruangan ini. Selamat berpesta Akira.
Aku sering berpikir bahwa semua hal bisa terjadi kapan saja. Semua hal bisa datang dan juga pergi tanpa terpahami. Hidup iu misteri. Entah aku bertemu dengannya hanya kebetulan, atau ada sebab sehingga aku dipertemukan. Dan mungkin dia pergi juga ada sebabnya. Sayangnya kehilangannya menyisakkan rasa sakit yang tak berdarah. Selagi Akira ada, kenapa aku tak bisa menjaganya? Apakah ini murni kesalahanku karena aku lalai menjaga cinta itu, atau memang cinta itu bukan untukku?
Aku sendiri tidak tahu jawabannya. Karena rasa penasaran, aku pun menggali jawabannya. Yah, aku sekali lagi mengikutinya. Waktu itu Akira baru pulang dari tempat kerja. Mungkin saat itu dia lelah, tapi perasaanku jauh lebih lelah. Aku bisa melihat bola matanya melebar saat melihat sosokku tepat di hadapanmu.
“Ada apa?” tanyanya kaget.
“Tidak apa-apa. Aku hanya ingin menjemputmu pulang.”
“Memangnya kamu pikir kamu siapa?” ujarnya masih pada nada yang tidak bersahabat.
“Sudah kubilang. Aku mau menjemputmu.”
“Buat apa menjemputku?”
“Tidak apa-apa.”
“Tidak biasa.”
“Sekarang akan aku biasakan.”
“Menjemputku di sini?”
“Dan mengantarkanmu pulang.”
“Memangnya kamu tidak bekerja.”
“Aku bisa mengatur waktu.”
“Memangnya siapa yang memberi izin untuk menjemputku.” Wajahnya mendongak menatapku dengan lantang.
“Sebenarnya aku ingin mengajakmu makan malam.”
“Sekarang?”
“Memangnya kapan lagi?”
“Aku tak punya selera. Aku harus cepat-cepat sampai rumah sekarang.”
“Memangnya sudah ada yang menunggu?” tanyaku.
“Bukan urusanmu.”
“Tapi kamu harus makan.”
“Aku bisa makan di rumah. Kenapa kamu tiba-tiba mengurusi hidupku? Kita sudah tidak udah ada hubungan lagi. Catat itu di kepalamu.”
“Aku tahu itu. Tapi...”
Buru-buru dia melanjutkan.
“Terima kasih atas perhatianmu. Dan atas undangan makan malammu. Tapi aku lebih ingin makan di rumah saja.”
“Aku ingin berbicara denganmu.”
“Soal apa?”
“Soal kita.”
“Masih adakah persoalan soal kita? Kupikir kita sudah cukup.”
“Aku rasa kita bisa memperbaikinya.”
Sejenak dia tidak bisa menjawab. Mungkinkah dia juga ingin kembali. Dapatkah dia menerima aku, menerima kelemahanku. Dan memafkan kesalahanku yang dulu?”
Terimalah aku kembali. Ini adalah permintaan keduaku. Pertama aku memintamu untuk menjadi kekasihku, waktu itu dia langsung mau. Tetapi sekarang, dia sudah banyak berubah. Sudah tidak seramah dulu lagi. Dia sudah berani menggunakan logika untuk membuat sebuah kesepakatan antara otak dengan hatinya untuk memilih. Tidak seperti dulu yang dia sangat penurut. Dia juga berubah sekarang. Dia lebih berani berdandan. Lipstik tipis yang biasa membaluti bibir manisnya sekarang lebih terlihat.
Sebuah bis berhenti di depan halte. Tanpa pikir panjang Akira menaiki tangga halte. Aku langsung mengikuti langkahnya. Gadis itu berdiam diri melihat kehadiranku yang sudah dalam bis.
Mereka terpaksa harus berdiri karena sudah tidak ada lagi kursi kosong.
“Ke mana?” tanyanya kesal.
Wajahnya sudah menyiratkan ketidaksenangan melihat keberadaanku.
“Sudah ku bilang aku akan mengantarkanmu.”
“Tidak bisakah kamu berhenti menggangguku?”
“Tidak bisa,” sergahku buru-buru.
“Kenapa?” tanyanya polos
“Karena aku masih cinta.”
Bis itu kembali berhenti di terminal membuat ruangannya tambah sesak. Aku mendesak ke belakang Akira, melindungi dengan tubuhku. Hampir setengah jam kami terguncang-gnncang oleh bis yang penuh sesak. Dan selama itu kami tidak mengucapkan sepatah kata.
Lambat-labat tubuhnya terdesak penumpang yang berjejal, melekat ke tubuhku. Dan sesaat aku bisa merasakan sebuah sensasi yang tiba-tiba saja menjalar ke tubuhku. Belum lagi saat sebuah guncangan cukup kuat membuat punggungnya terdorong ke dadaku. Refleks aku semakin mencekram tiang lebih kuat lagi. Mengokohkan kedua kakiku untuk melindungi gadis yang di depanku agar tidak terhempas ke belakang. Tanganku sebelah kiri merangkul pinggang Akira. Aku tersenyum saat menyadari dia tidak menolak tanganku menyentuh tubuhnya.
Saat sudah sampai aku mengikuti dia hingga menuju rumahnya. Dia tak berucap tak juga merespon. Seolah aku tidak ada.
“Akira...” aku panggil namanya.
Dia tidak menyahut. Kakiku semakin kaku saat sudah sampai di halaman rumahnya. Akira membuka pintu depan rumahnya dan dia tidak menyuruhku masuk. Melihatku saja tidak.
Tak cukupkah dia menusukku dengan menjauhiku. Atau barangkali dia memutuskan untuk menusukku kembali dengan mengabaikanku. Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku akan membabi buta membuka paksa pintu rumahnya. Baik. Kalau memang itu untuk memperjuangkan cinta, akan aku lakukan. Tetapi kakiku mulai lemas. Aku takut kehilangan. Meskipun kali ini aku telah kehilangan dirinya, tetapi aku takut dia semakin menjauhiku. Parahnya dia akan takut bertemu denganku. Bertemu dengan lelaki yang memiliki amarah paling maksimum.
Kembali aku terdiam. Lalu bayangan masa lalu seperti segerombolan rampok datang menyerbuku. Menghunuskan pedang ke arahku. Mereka berlomba-lomba menghunus pedang ke arahku sehingga membuatku luka. Aku benci kejadian terlaknat itu. Mengapa pula tanganku tak bisa dikembalikan. Andai ada satu cara untuk kembali memilikimu, maka aku berjanji takkan ada air menggantung di rongga matanya.
Kini sudah malam, salju turun dan membawa diriku pada kenangan yang manis. Tanpanya aku berkata bahwa aku dapat hidup dengan baik mencoba menghibur diriku. Tapi hal itu tidak membantu banyak. Tanpa Akira hari-hari yang kujalani begitu panjang dan begitu membosankan. Aku sadar satu hal cinta dipersembahkan bagi insan yang ingin patah hati. Aku tidak bisa melupakannya. Tidak, aku tidak berpikir untuk melupakannya.
Kedatangan Akira membuyarkan lamunan lamaku. Kali ini kedatangannya benar-benar berbeda dari sebelumnya. Dia tersenyum padaku, senyumannya persis seperti saat kami dibanjiri perasaan sayang. Tanpa ragu aku membalas senyumannya.
Gadis itu keluar tanpa menutup pintu depan rumahnya. Dia terus memandangiku sambil tersenyum. Kakiku bergetar entah karena dingin atau karena faktor lainnya. Bibirku kaku tidak dapat bergerak. Aku ingin memanggil namanya tapi tak bisa.
“Kamu merindukanku?” tanyanya memperlebar senyumannya.
“Iy...Iya.” jawabku terbata-bata
How much?
“Tak bisa dihitung pakai rumus Matematika,” jawabku lancar.
“Boleh aku minta tolong?”
“Apa?”
“Jawab dulu pertanyaanku.”
“Boleh.”
“Benar ya?” tanyanya memastikan.
“Benar. Katakan saja. Asal satu!”
“Kenapa harus bersayarat?’
“Dengar dulu.”
“Baiklah, lalu apa?”
“Asal kamu tidak meminta aku meninggalkanmu, berat. Aku tak kuat.”
“Kamu terlalu banyak membaca novel,” celotehnya sambil tertawa.
“Lalu apa yang kamu pinta?” kataku semakin penasaran.
Dia berpikir sejenak.
“Bila kamu berhasil melewati musim dingin yang paling dingin. Sampai pada hari-hari berubah menjadi musim semi. Sampai hari-hari di mana kamu bisa melihat bunga bermekaran. Tolong temui aku pada hari itu.”
END