Nur Salsa POV
Mungkin
banyak yang akan berpikir bahwa pemilik nama Nur Salsa adalah seorang perempuan
tapi tidak dengan diriku. Aku ditakdirkan menjadi lelaki jantan yang dikelilingi
oleh tiga perempuan yaitu saudara kandungku. Setiap kali aku dipanggil oleh
guru maupun siapa pun, orang di sekitarku akan tertawa karena namaku sangat
identik dengan perempuan. Namun tahukah kamu, aku ini benar-benar jantan, untuk
membuat orang percaya jika aku jantan, aku menutupinya dengan berpenampilan
sebagai cowok metroseksual. Selalu wangi, rapi, berbaju yang pas di badan
meskipun terkadang agak nge-pas karena perutku terisi penuh dengan susu. Tetapi
jika kalian tahu aku juga memiliki sisi feminim karena aku pecinta warna pink.
Kembali
lagi aku ceritakan mengenai namaku. Alkisah dulu namaku bukan Nur Salsa tetapi
Akbar Agung. Ayahku memberikan nama itu karena beliau ingin aku tumbuh menjadi
pohon besar. Besar harapan ayahku kelak jika aku sudah besar, aku akan menjadi
orang besar. Besar dalam arti menjadi dokter maupun insinyur. Selain itu ayahku
memberi nama itu karena aku terlahir dengan motif hidung yang besar. Tapi
jangan salah,
dengan hidung yang besar justru yang membuat hati perempuan terpikat olehku.
Saking besarnya hidungku ini, aku bisa menampung upilku hinggu 8 bongkah.
Hahaha memang jorok bukan?
Memiliki
nama Akbar Agung benar-benar memberikan beban selama 1 tahun dua bulan aku
hidup, selama itulah aku memiliki penyakit. Sepertinya hanya beberapa hari saja
Tuhan memberikanku kesehatan selebihnya mendapat sakit yang berkepanjangan.
Akhirnya setelah mufakat dengan kepala desa, camat, maupun bupati ayahku mengganti namaku
menjadi Ridho Sihah. Nama itu diperuntukkan agar aku menjadi orang yang sehat.
Perubahan nama itu pun tak merubah banyak di diriku. Aku masih tetap memiliki
penyakit yang berkepanjangan. Ibuku gerah melihat keadaanku seperti begitu
terus akhirnya beliau sendiri yang mengubah namaku menjadi Nur Salsa artinya
cahaya ketiga. Nah… perubahan nama itu sangat mujarab karena aku sudah tidak
pernah sakit lagi sampai aku sudah beranjak dewasa secara hukum.
Rumantik POV
Aku
selalu bermasalah dengan nama. Setiap orang yang menulis namaku pasti akan
salah. Dulu waktu aku kecil ayahku yang selalu jeli dengan namaku, berapa kali
akte kelahiran dirubah hanya karena kesalahan penulisan nama. Aku tidak ambil
pusing pada zaman itu karena apalah arti sebuah nama. Namun sekarang ini aku
benar-benar kalang kabut dengan kesalahan penulisan namaku. Jelas-jelas namaku
Rumatika kenapa orang-orang menulis Rumantika. Huhhh.. kesalahan yang sepele
itu benar-benar menyebalkan.
Sosok
gadis yang selalu bermasalah dengan nama ini diam-diam memiliki pacar. Aku
sudah menjalin kasih dengan teman kelasku, Faizan yang kerap disapa Ijan. Kami
sudah menjalin hubungan istimewa itu semenjak 3 bulan yang lalu. Hubungan kami
berawal dari sebuah persahabatan. Saat berpacaran teman-temanku bahkan kami
sendiri bingung itu dikatakan berpacaran atau hanya sekedar sahabat. Hubungan
kami tidak jelas seperti ketidakjelasan-nya namaku.
Author POV
“Tunggu
aku lima menit lagi.” Rumantik membaca pesan dari Ijan tersebut di lobi kampus.
Sambil menunggu lima menit ala Ijan. Rumantik mulai merangkai garis-garis
menjadi gambar. Hari ini dia menggambar posisi wajahnya yang seperti benang
kusut dikarenakan pagi ini dia belum menyentuh setetes air.
“Ayo
buruan. Aku buru-buru mau latihan basket,” ungkap Ijan saat mendatangi
Rumantik.
“Oke…”
Hari
ini di mana Rumantik harus berlaga untuk memenangkan sayembara yang diadakan
oleh Pimred Nuansa.
Di
dalam kantor sudah banyak peserta yang telah mempersiapkan mentalnya secara
matang. Secara Nur Salsa sang pimred adalah orang yang perfeksionis. Telah
tercatat sudah 6 orang peserta yang telah mengambil posisi duduk, di antaranya:
Rumantik, Kiki, Fikar, Ahlul, Mujib, dan Said. Mereka semua adalah bagian dari
keluarga Nuansa.
Sedikit
bercerita tentang profil Nuansa. Nuansa adalah lembaga pers mahasiswa terbesar
di UMY. Organisasi yang berada di bawah naungan Rektor III Sri Atmaja ini
memiliki 4 produk yaitu, Nuansa Online (tulisan nuansa dimuat di web resmi
Nuansa), Nuansa Majalah (Sesuai dengan slogan UMY muda mendunia. Jenis tulisan
di majalah ini menggunakan bahasa renyah dan gak bikin sakit kepala. Sangat
tepat untuk anak-anak muda), ada lagi Nuansa Kabar (produk ini menggunakan
jenis tulisan yang tua mengakherat karena pemilihan bahasa yang berat dan
selalu bikin sakit kepala), terakhir adalah Nuansa Qolbu (Nahhh produk ini yang
bertujuan untuk menjunjung nilai keislamian kampus sesuai dengan bekas logo UMY
yaitu Unggul dan Islami).
Organisasi
ini diketuai oleh Sentimental Ahlul, Sweet Nur Salsa yang berfungsi sebagai
pimred, di bawahnya redaktur pelaksana Eyes Center Mujib dan Flaming Pearls Said.
Selain itu ada divisi Litbang yang diketuai oleh kunyuk2 Rumantik. Sedangkan
Sexy Kiki menjabat sebagai bendahara dan Panda China Fikar sebagai sekretaris.
*Selebihnya masih banyak lagi anggota lainnya namun saya tidak sebutkan karena
bukan pemain dari fiksi ini*
Kembali
lagi dengan ajang sayembara. Di sini peserta memiliki misi untuk membuat logo
Nuansa kabar dan pemenangnya akan mendapat tawaran langsung untuk nge-date
bareng Nur Salsa dalam menonton Breaking Dawn.
Di
dalam hati Rumantik sudah harap-harap cemas dan sudah membayangkan bagaimana
indahnya bisa menonton adegan romantis bersama Nur Salsa. Ada rasa bangga bisa
jalan berdua bersamanya, secara Nur Salsa adalah maskot UMY terpilih dan
tentunya dia memiliki ketampanan di atas rata-rata.
“Waaiiittttss
buat apa aku membayangkan Nur Salsa, bukankah aku masih memiliki Ijan???” batin
Rumantik.
1
jam berlalu, kini saatnya momen yang paling dinantikan di mana Nur Salsa akan
mengumumkan pemenangnya. Besar harapan Nur Salsa jika pemenangnya adalah
perempuan. Berdasarkan data, peserta perempuan hanya dua orang saja dan yang
paling nalar diajak kencan hanya Rumantik. Seenggaknya Rumantik lebih
kewanitaan dibandingkan Kiki. Tidak bisa dibayangkan jika Nur Salsa bersanding
dengan kiki, bisa-bisa Nur Salsa babak belur dihantam Kiki saking perkasanya.
Setelah menimbang-nimbang akhirnya Nur Salsa memilih…
“Ahlul,
adalah pemenang sayembara ini. Ahlul berhak menonton Film Breaking Dawn bareng
saya,” ungkap Nur Salsa.
Bisa
diakui Ahlul memang paling jago mendesain, tapi semua orang tidak akan bisa
membayangkan bagaimana orang yang sesentimental Ahlul bisa berkencan dengan
seorang laki-laki. Apakah dia memiliki sikap feminim juga dengan menyukai
seorang laki-laki.
Keputusan
yang diambil Nur Salsa menyebabkan pro kontra di berbagai kalangan keluarga
Nuansa. Sebagian yang pro adalah para lelaki normal, karena mereka memiliki
lebih banyak peluang untuk mengikat para perempuan. Sedangkan para perempuan
hanya bisa gigit bibir dan tidak setuju dengan kencan mereka. Sebagian ada yang
tidak rela Nur Salsa direbut oleh siapa pun. Mereka berpikir Nur Salsa hanya
miliknya seorang. Ada juga para gadis yang tidak rela jika sampai pujaan
hatinya Ahlul direbut oleh orang lain.
Kasus
itu berdasarkan perspektif dari orang lain. Lain lagi dengan Nur Salsa dan
Ahlul. Bukankah mereka lagi memerangi dirinya agar tidak disebut pemudi.
“Waiitt
bukankah selama ini aku sudah berusaha agar aku dipandang sebagai lelaki
jantan??” batin Nur Salsa.
“Bukankah
selama ini aku memerangi diriku agar aku tidak disebut pemudi bahkan aku sampai
mengharamkan diriku untuk memakai sandal perempuan, semendesak apa pun
keadaanya. Tapi sekarang aku harus dihadapkan untuk berkencan dengan seorang
laki-laki? Iyuhhh deh,” batin Ahlul.
Dengan
berbagai macam pertimbangan seperti itu dan pada kenyataannya lebih banyak yang
kontra dari pada pro. Akhirnya pada tanggal 12 Desember Ahlul menyerukan kepada
bawahannnya untuk rapat konsolidasi.
*****
“Aku
persembahkan makanan kesukaanmu, ini lele spesial buatan ibu pecel lele,”
ungkap Ijan dengan bangganya mempersembahkan ikan lele kepada Rumantik.
Mereka
kini sedang menikmati makan malamnya di pecel lele seberang kampus. Dengan
ditemani es teh dan alunan lagu roma irama berjudul piano siap menemani makan
malam mereka. Nongkrong di pecel lele adalah tongkrongan favorit mereka, selain
karena bisa membantu keuangan mahasiswa juga masakan pecel lele sangat pas
untuk lidah mereka.
“Terima
kasih sayang. Aku sungguh berterimakasih karena kamu bersanding di sisiku.”
“Dan
karena kamu tercipta untukku,” balas Ijan.
“Sayang, dari tadi kenapa HP-mu ribut terus.
Apa kamu punya agenda hari ini,” Tanya Ijan saat menyadari ponsel Rumantik yang
terus berdering.
“Yang
nelpon itu kak Ahlul, aku rasa bukan perihal yang penting. Lagian ini malam
minggu jadi tidak mungkin Nuansa memiliki agenda,” jawab Rumantik.
“Coba
liat memo kamu dulu. Mungkin saja kamu memiliki agenda penting,” saran Ijan.
“Yakin,”
tanya Rumantik.
Ijan
hanya menganggukkan kepala tanda memastikan. Setelah mengecek memo di tas-nya.
Ternyata apa yang diprediksi ijan benar adanya. Hari ini adalah rapat
konsolidasi yang Rumantik lupakan.
“Hahhh
aku hari ini ada rapat konsolidasi. Yang… antarkan aku ke Nuansa sekarang. Aku
sudah telat banyak ni,” bujuk Rumantik.
“Seperti
yang ku duga sebelumnya. Lain waktu jangan mengabaikannya lagi yaaa,” respon
Ijan sambil membelai lembut kepala Rumantik.
Sesampai
di Nuansa, Rumantik sudah diberitahu mengenai pengumuman besar terkait
keberlangsungan visi misi Nuansa yang muda dan berkarakter.
“Kita
jangan menjadi generasi labil. Laki-laki berlakulah jantan dan perempuan
berlakulah betina. Itu yang disebut generasi berkarakter,” ujar Ahlul.
Semua
anggota Nuansa yang hadir hanya bisa membentuk huruf O dari mulutnya.
“Terkait
sayembara itu, ketika pemenangnya adalah saya. Saya merasakan kebanggaan,
karena apa? Karena saya memiliki kompetisi di bidang itu. Namun ada hal yang
paling kontra di dalam benak saya yaitu pemenangnya harus nonton di bioskop
dengan didampingi oleh seorang laki-laki. Perbuatan itu tidak jantan dan bisa
dibilang banci. Sangat berlawan dengan misi Nuansa yang ingin membentuk
generasi yang berkarakter. jadi mulai detik ini saya memutuskan pemenang
sayembara itu tidak sah,” ungkap Ahlul dengan gaya Hitler-nya.
“Alhamdulillah…”
ungkap yang lain dengan serentak.
“Tetap jadi pemuda dan perangi menjadi
pemudi,” koar Said sambil menunjuk gigi pepsodentnya.
Dinginnya malam sudah menusuk ke
tulang kering anak Nuansa sehingga sebagian orang memutuskan untuk tetap
tinggal di Nuansa. Pada saat itu yang masih menampakkan batang hidung hanya
Rumantik, Kiki, Nur Salsa, Ahlul, dan Fikar. Jam dinding sudah mulai merujuk ke
angka 00.00. Fikar memutuskan dirinya untuk terlebih dahulu terjun ke alam
mimpi begitu juga dengan Ahlul. Tinggal kiki, Rumantik dan Nur Salsa. Kiki
lebih memilih untuk mengerjakan materi presentasinya. Sedangkan Rumantik masih
sibuk mencari film yang menarik untuk ditonton.
“Kenapa
kita tidak menonton Breaking Dawn saja,” pinta Nur Salsa dengan sumringahnya.
“Ide
bagus. Tapi kamu yakin kita akan menonton adegan seperti itu tengah malam,
berdua lagi,” ungkap Rumantik ragu.
“Justru
itu yang bikin seru, kalau aku asal ditemani dengan susu putih, hehee,” rayu
Nur Salsa. Mengerti dengan ucapan Nur Salsa, Rumantik segera membuka langkahnya
membuat susu untuk Nur Salsa dan menyeduh Coffemix untuk dirinya sendiri.
Di
situlah kisah mereka terjalin…
Rumantik
sudah minta izin kepada Ijan tentang rencana menginapnya di kantor.
Menceritakan siapa saja temannya menginap dan aktivitas apa saja yang akan
dilakukan.
“Iyaaaa
apa pun yang kamu lakukan aku tahu itu yang terbaik. Kamu cukup tahu aku selalu
menyayangimu dan jagalah pelabuhan ini di hatimu,” ucap Izan lewat saluran
telepon.
“Ne…
nado saranghe,” jawab Rumantik dalam bahasa Korea.
Sulit
untuk menghindari getaran hati jika seseorang yang dulu dianggap biasa saja
tetapi akan menjadi berbeda saat di mana dua insan berlawan jenis dihadapkan
dengan adegan penuh kemesraan. Rumantik selalu mengingatkan dirinya, dia masih
memiliki Ijan. Rumantik sudah berkomitmen untuk selalu menjaga kesucian hati
Ijan yang bartender di hatinya. Begitu pula dengan Nur Salsa, dia akan selalu
menjaga teguh prinsip orang tuanya untuk tidak menodai karirnya dengan asmara.
*****
Rumantik POV
Siapa
lagi tempat aku berbagi duka, suka dan kasih selain orang yang kini selalu
berada di sisiku. Dia bisa memposisikan dirinya sebagai seorang sahabat. Dia
selalu bisa mengkondisikan dirinya untuk mendengarkan curhatku yang panjang
setebal 400 halaman jika dibukukan. Aku bisa merasakan sentuhan keikhlasan saat
aku sedang haus cinta. Dia juga akan selalu bisa menjadi sosok ayah dengan
kata-katanya yang selalu dibumbui kata-kata bijak. Tetapi orang-orang berkata
jika tidak ada yang sempurna. Namun selama 3 bulan kujalani cinta bersamanya
dia terlalu sempurna untukku bersanding dengannya. Aku selalu merasa
membutuhkannya, sehari tanpa dia bagaikan masakan tanpa garam. Aku terlalu
lemah jika tanpa sentuhan lembutnya.
Kenapa
sekarang ini aku begitu melankolis. Heyy Rumantik… kamu hanya tidak bertemu
dengannya sehari. Apakah duniamu begitu sempit. Kamu masih memiliki banyak
teman di sini. Kamu bisa tertawa dengan mereka. Kamu bisa mengukir senyum kamu
sendiri tanpa dia. Okehhh, sekarang jangan sedih lagi. 2 hari lagi bukan waktu
yang lama untuk menunggunya.
“Rumantik,
sudah jangan pikirkan Ijan lagi. Kamu bangun tidur, tidur lagi dan bangun lagi.
Pada ujungnya juga akan bisa bertemu dengan Ijan,” kata Kiki mengagetkan
Rumantik dari lamunannya.
“Yaa…
yaaa… aku tahu,” jawabku seadanya.
“Oyaa,
sekarang kamu, kak Ahlul, Nur Salsa dan Mujib survey track untuk acara jurit
malam nanti,”
“Oke…
aku bantu,” angguk Rumantik kembali.
Kami
sudah membentuk tim untuk menyeleksi tempat mana yang cocok untuk melatih
mental calon anggota baru di Nuansa. Dengan track yang sangat luas dan banyak
pilihan kami terpaksa harus berbaur menjadi dua tim, di antaranya aku bersama
Nur Salsa dan kak Ahlul bersama Mujib.
Kami
berdua merasa canggung satu sama lain saat saling berhadapan. Entah apa yang
aku rasakan saat ini. Aku kesal juga terhadap Nur Salsa karena seolah-olah dia
mulai menghindar semenjak menonton film itu. Dia tidak akan membuka percakapan
jika aku tidak mengajaknya untuk berbicara. Sakitnya lagi dia akan menjawab
sesingkat-singkatnya pertanyaanku.
“Bagaimana
bisa aku harus dipasangkan dengan orang yang sedingin dia,” gerutu Rumantik di
dalam hati.
“Bisakah
kita berhenti sebentar?” hanya kata itu yang dilontarkan Nur Salsa saat setelah
selesai survey track.
“Usul
yang bagus,” responku.
Meskipun
kami istirahat untuk meraup kembali nafas yang tadinya hampir hilang. Namun
bagiku itu bukan istirahat, karena aku harus memompa hatiku untuk bersikap
biasa saja dengan sikapnya yang acuh. Fisikku mungkin sangat capek tapi hatiku
lebih capek lagi menghadapi sikap dia seperti itu. Bagaimana mungkin kami
berada dalam perahu yang sama. Sama-sama mengayuh perahu Nuansa untuk tetap
eksis di mata kampus maupun nasional. Kita sama memiliki misi yang sama tetapi
kenapa sikapnya seakan aku tidak berfungsi di mata dia.
Bosan
dengan sikap angkuhnya, aku pun mengangkat tubuhku untuk meninggalkannya
sendirian. Aku menunggu dia bertanya, mau ke mana hendak aku melangkahkan
kakiku. Aku menunggu kejadian itu. Sayangnya ia sama sekali tidak mengindahkan
tingkahku. Dia tetap datar seakan-akan aku tidak pernah ada. Dengan berbagai macam
kesebalan yang menyelubungi hatiku. Aku terus menyusuri hutan-hutan di
sekitaran daerah waduk sermo. Tanpa ku sadari aku sudah melangkah terlalu jauh.
Aku tidak tahu arah jalan pulang. Aku butuh Ijan untuk membimbingku pulang. Aku
butuh dia. Saking takutnya, aku bisa merasakan tetesan air mata terus memenuhi
air mataku.
Tuhan
di saat seperti ini kenapa aku merasakan sakit kepala. Tanganku sudah lemah
untuk memegang pohon sebagai penopangku. Ketidakmampuanku untuk menopang tubuh
membuatku terlentang di tanah. Aku segera mengambil ponsel-ku dan mencari kontak
yang sekiranya bisa membantu aku. Aku tidak bisa meminta bantuan siapa-siapa
kecuali dia… Nur Salsa.
“Halooo
Nur,” sapaku
“Iya..
kenapa nada suaramu begitu janggal,” tanyanya.
“Aku
tidak tahu arah jalan pulang, kepalaku pusing. Bantu aku keluar dari sini,”
pintaku dengan suara tertelan.
“Apa
kamu tersesat, kamu sekarang di mana?” tanyanya lagi
“Aku
tidak tahu di mana sekarang?” jawabku tambah takut.
“Kamu
sebut saja, kamu di dekat tempat apa yang kira-kira familiar. Ayo sebutkan
jangan ragu-ragu,” ucapnya.
“Aku…
aku berada di tempat pohon besar, di atas jurang. Aku dikelilingi pohon
beringin.”
“Oke
aku mengerti… tunggu aku di situ. Jangan ke mana-mana. Aku akan menyusulmu.”
“Apa
kamu tahu tempatnya di mana?”
“Aku
akan mencarinya.”
“Baiklah…
aku menunggumu,” ucapku sedikit gugup.
“Och”
lagi-lagi kepalaku sakit, aku menyentuhnya berharap itu bisa mengurangi rasa
sakitnya. Kenapa di saat yang tidak tepat seperti ini aku harus merasakan sakit
di kepalaku. Ijan… aku butuh kamu. Setidaknya kamu bisa menghiburku. Aku
benar-benar butuh kamu.
“Kamu
baik-baik saja?” sayup-sayup suara Nur Salsa bisa ditangkap oleh telingaku.
“Nur….
terima kasih atas kedatangamu. Aku sangat takut di sini. Bawa aku keluar dari
tempat menyeramkan seperti ini. Aku mohon,” ucapku.
Kami
pun jalan menuju villa. Aku mengambil kayu sebagai tongkatku untuk berjalan.
Ingin rasanya aku memegang tangannya tapi sekali lagi aku mengingatkan diriku
kalau dia bukanlah Ijan. Jangkankan untuk dipegang tangannya untuk sekedar
membuka percakapan saja tidak. Lama-lama aku semakin kesal terhadapnya.
“Jangan
mengulangi lagi,” ujarnya tiba-tiba
Aku
terkekeh. Apa dia peduli denganku? Apa dia peduli denganku?”
“Iya,
terima kasih.”
*****
Kami
akhirnya pulang dari waduk sermo. Aku segera bergegas mengambil tasku lalu menghubungi
Ijan untuk menjemputku. Sambil menunggu, aku berjalan menuju lapangan kampus.
Hari mulai malam. Aku duduk di bangku panjang tempat tunggu jemputan, ketika
aku melihat sekitar aku melihat sosok Nur Salsa. aku memberanikan diri untuk
menyapanya.
“Nur
Salsa?”
“Apa,”
jawabnya dengan begitu dingin.
“Belum
pulang?”
“Belum,
kamu juga?”
“Iya,
duduklah di sini,” kataku sambil menempelkan tanganku ke bangku sebelahku. Dia
berjalan ke arah bangku yang ku maksud. Lalu tiba-tiba dia tersenyum.
“Ya!
Baru kali ini aku melihatmu tersenyum seperti ini. Semenjak……”
“Hahaha,”
dia hanya menjawabnya dengan tertawa.
Tin Tin Tin
Tiba-tiba
seseorang mengklakson ke arahku lalu membuka helmnya.
“Rumantik,
ayo masuk.”
Aku
langsung menjawabnya senang. Syukurlah, Ijan segera menjemputku. Dia selalu ada
ketika ku butuh. Aku langsung berjalan mendekatinya. Sebelum pergi, aku
melambaikan tanganku ke arah Nur Salsa lalu dia menjawabnya dengan melambaikan
tangan juga.
“Akhir-akhir
ini, aku sering melihatmu bersamanya,” ucap Ijan dengan nada sedikit kesal.
“Maaf,
aku hanya mengobrol sedikit sambil menunggumu.”
“Kau
pasti bohong.”
“Percayalah
padaku.”
“Bagaimana
bisa? Kamu duduk dengan laki-laki yang tampan seperti dia?” tiba-tiba nada
suaranya meninggi.
“Ya!
Kau ini kenapa?”
“Kau
yang kenapa!”
Aku
hanya diam tidak mau memperkeruh suasana. Tiba-tiba Ijan memberhentikan
motornya di pinggir jalan. Lalu memanggilku.
“Rumantik..”
Aku hanya menorah ke arahnya tanpa menjawab karena kesal.
“Aku
mencintaimu,” ungkapnya dengan raut muka yang langsung sumringah.
“Iya
aku juga sangat mencintaimu,” bisikku
Kami
sampai di Jembatan Kali Bedog. Ijan langsung mengajakku duduk sambil menikmati
pemandangan sungai.
“Indah
sekali,” gumamku.
“Iya,
sangat indah,” jawab Ijan.
Perlahan
tangan Ijan menuju ke wajahku dan membelainya dengan lembut. Kenapa aku? Aku
sama sekali tidak merasakan jantungku berdetak lebih cepat seperti dulu saat
pertama kali Ijan
membelai wajahku. Akhirnya aku memutuskan untuk menarik tangannya dari wajahku.
“Kenapa?”
tanyanya heran.
“Aku
lapar, bisa kita pergi makan?” tanayaku mengalihkan pembicaraan.
“Baiklah
ayo.”
*****
Author POV
Rumantik
berdiri di depan kaca. Memperhatikan pantulan bayangannya lalu bergumam, “Hmmm,
aku siap.” Setelah merasa siap, Rumantik berjalan menuruni tangga hendak keluar
dari kos. Pada tangga terakhir, kepala Rumantik tiba-tiba saja terasa pusing.
Spontan ia mengarahkan jarinya ke kepala. Seorang teman kos melihatnya dan
menegurnya.
“Rumantik..
kamu tidak apa-apa?” katanya sambil memegang kepala Rumantik.
“Tidak
apa-apa.” Rumantik langsung berjalan ke ruang tamu lalu duduk di kursi. Setelah
beberapa jam duduk, akhirnya rasa sakit itu hilang dan ia memutuskan untuk
langsung bergegas pergi. Belum sempat keluar ruangan teleponnya berbunyi. Dia
segera membuka flip teleponnya terlihat ada wajah penuh Ijan yang terpampang di
sana.
“Halooo.”
“Halooo
Rumantik apakah kamu sudah mau pergi.”
“Iya
sayang.. ada apa dengan suaramu. Apakah kamu baru bangun?”
“Aku
akan menjemputmu sekarang,” katanya mengabaikan pertanyaan Rumantik.
“Tidak
perlu. Aku akan berangkat
bersama Kiki. Kamu lanjutkan tidur saja.”
“Baiklah kalau begitu. Selamat
bersenang-senang.”
“Iya.”
Hari
ini adalah jadwal Rumantik jalan-jalan bersama Nuansa. Dengan berkendaraan
sepeda motor menempuh sekitar 1 jam untuk mencapai pantai Indrayanti yang enak
dipandang mata. Rumantik lebih memilih untuk menyendiri karena tujuannya ke
pantai bukanlah untuk teriak atau pun bermain air tetapi untuk mencari
ketenangan. Ketenangan yang dimaksudkan adalah saat di mana Rumantik bisa
mencari inspirasi untuk menggambar. Gambaran alam luas dan bebas adalah gambar
nyata yang bisa mewakili sifat anak muda.
Rumantik
melihat Nur Salsa dari kejauhan ketika menikmati keasyikannya menggambar, tidak
pikir panjang, Rumantik langsung melambaikan tangannya.
“Nur
Salsa?” Rumantik memanggilnya untuk memastikan.
“Hey,”
Nur Salsa menjawab lalu melebarkan langkahnya menuju Rumantik.
“Kamu
sedang apa di sini?”
“Tidak,
aku hanya sedang menggambar saja.”
“Memang
kamu gambar apa? Sini aku lihat.” Rumantik segera menyodorkan gambarnya ke
hadapan Nur Salsa.
“Gambarnya
cukup memikat, kamu suka menggambar juga?”
“Iya
sedikit.”
Nur
Salsa baru menyadari bahwa Rumantik memiliki hobi dan bakat di bidang
menggambar sejak berumur 5 tahun. Bahkan dia sempat heran dengan hasil
gambar-gambar Rumantik yang hanya dipendam sendiri. Nur Salsa merasa senang
menemukan orang yang memiliki hobi dengannya. Nur Salsa yakin, Rumantik sepantasnya juga dinobatkan sebagai ilustrator handal.
“Hasil
gambarmu sangat bagus. Kenapa selama ini kamu menyimpan bakatmu itu?”
“Aku
hanya belum siap malu,” jawab Rumantik dengan rona wajah yang sudah dikuasai
warna tomat.
Mereka
menikmati suasana pantai berdua. Tidak seperti pasangan lain yang beradu kasih
tetapi lebih kepada berbagi cerita terkait hobi yang sama. Puas dengan
pemandangan pantai,
Nur Salsa lebih dulu mengajak Rumantik untuk menghampiri teman-temannya yang
lain. Saat Rumantik hendak berdiri, lagi-lagi sakit itu menghampirinya.
“Och,”
Rumantik segera memegang kepalanya.
“Kamu
baik-baik saja.” Kepala itu terasa makin sakit.
“Apa
kamu bisa berjalan?”
Rumantik
berusaha berdiri namun ia tidak berhasil. Rasa sakit itu terus menjalar ke
seluruh tubuhnya. Ia hanya menjawabnya dengan menunduk. Nur Salsa kemudian
meraih tubuh Rumantik dan menempatkannya di punggungnya. Nur Salsa menggendong
Rumantik!! Rumantik terkejut dengan perlakuannya yang tiba-tiba. Ia tak bisa
menolak karena ada kesenangan tersendiri yang terus bergejolak di hatinya.
Rumantik hanya melihat wajah teduhnya dalam diam. Kini tubuhnya menempel di
punggung Nur Salsa. Ia memegang detak jantungnya yang terus berdetak dengan
cepat. Ia mengendorkan tubuhnya ke belakang agar membuat jarak dengan Nur
Salsa. Dia takut jika Nur Salsa merasakan detak jantungnya.
“Kenapa
kamu menjauh? Ayo pegang yang erat supaya kamu tidak terjatuh,” pinta Nur
Salsa.
Sepertinya
Nur Salsa sudah merasa nyaman dengan posisi sekarang ini. Rumantik kembali
mengalungkan leher Nur Salsa dengan tangannya. Dia mempererat pegangannya
sesuai dengan saran Nur Salsa.
“Huk
huk,” Nur Salsa terbatuk. “Hey… jangan terlalu erat. Aku tidak bisa bernafas,”
keluhnya.
“Hehee
maafkan aku,” tersenyum nyengir.
“Kenapa
kamu berat sekali. Apakah kamu memiliki berat badan hingga 60 kilo,” kelur Nur
Salsa.
“Enak
saja, berat badanku
masih 50-an kok.” Membicarakan berat badan adalah hal yang sensitif bagi
seorang perempuan bila diumbarkan kepada laki-laki.
“Iya,
beratmu 59 bukan?” ujar Nur Salsa memecah tawa dari mulut mereka berdua.
Rumantik
menoleh. Menatap wajahnya yang fokus menghadap ke depan. Dia tersenyum dan
menyandarkan dagu-nya di pundak Nur Salsa. Matanya tak beralih melihat wajah
tenangnya.
“Sadarlah
Rumantik, di sampingmu kini bukanlah Ijan tetapi Nur Salsa. Dia adalah sosok
yang jauh dari harapan kamu. Lalu, ada apa dengan detak jantungmu. Bukankah
kamu tidak memiliki riwayat penyakit jantung, tetapi saat kamu menempelkan
tubuhmu di pundaknya kenapa kamu merasa kamu sedang terkena penyakit jantung.
Sadarlah Rumantik, kamu masih memiliki Ijan yang selalu ada di saat kamu
butuh,” celoteh Rumantik dalam hati.
*****
Saat
menanti waktu, terasa jarum jam amat lambat untuk bergerak. Namun sebaliknya
saat waktu tidak ditunggu, terasa hari itu begitu cepat datang. Tidak terasa,
hari ini adalah wisuda anggota Nuansa yaitu Rumantik dan Nur Salsa. Apakah hari
itu benar-benar terjadi? Rumantik sama sekali tidak mengharap hari ini terjadi,
dia masih berharap masih ada hari esok, esoknya lagi. Dia berharap semoga masih
ada keajaiban yang membatalkan acara wisudanya itu atau….. Nur Salsa yang
diwisudai sekarang langsung berubah menjadi wajah Ijan. Itulah harapan
sebenarnya. Dia belum siap untuk tidak terus-terusan bersama Ijan. Rumantik
harus memilih jalan di mana ia akan merambah karirnya untuk mencari kerja atau pun melanjutkan studinya.
Sedangkan Ijan hanya masih sebatas mahasiswa pengejar gelar sarjana.
Ijan
menghubungi Rumantik untuk bertemu dengannya selepas wisuda. Ada hal penting
yang ia ingin katakan pada Rumantik. Ia meminta Rumantik untuk lekas pergi ke
taman.
“Kamu
memiliki agenda lain,” ujar Nur Salsa saat menyadari wajah Rumantik yang
dikuasai oleh rasa kebingungan. Rumantik hanya mengangguk.
“Ke mana?”
“Ke
taman.”
“Bertemu
Ijan?” lagi-lagi Rumantik menunduk.
“Perlu
ku antar,” tawar Nur Salsa
“Tidak
perlu. Kamu lanjutkan saja aktivitasmu. Ini kan acara penting.”
“Baiklah.”
“Aku
pergi.”
Rumantik
segera bergegas menuju tempat parkir dan mengendarai Nathan menuju taman.
Sesampainya di taman, ia melihat Ijan yang sedang duduk di bangku taman, ia
memutuskan segera menghampirinya.
“Bagaimana
perasaanmu Ibu Sarjana?” ungkap Ijan tersenyum.
“Perasaanku
akan lebih bahagia lagi jika kamu bersanding dengaku. Untuk apa kamu menyuruhku
ke sini,” ucap Rumantik tanpa butuh basa-basi.
“Hmmm.
Kumohon kamu mau mengerti,” jawab ijan lalu menghela nafasnya, “Mungkin
hubungan kita hanya sampai di sini. Aku akan kembali seperti dulu menjadi
sahabatmu. Maaf, aku tau hal ini sangat menyakiti hatimu. Tetapi aku tidak bisa
lagi mempertahankan hubungan ini. Jadi ku mohon mengertilah,” jelas Ijan
panjang lebar.
Rumantik kaget dengan perkataan
Ijan. Apa kali ini adalah hari bahagianya. Apa Ijan hanya ingin memberikan
kejutan? Rumantik terkekeh dan tak dapat berkata apa-apa. Ia hanya diam seraya
menatap wajah Ijan.
“Maaf,”
kata Ijan lirih.
“Aku
hanya butuh kepastian kenapa kamu memutuskan aku.” Rumantik berusaha tegar dan
tersenyum ke arahnya. Rumantik sama sekali tidak meneteskan air matanya seperti
kebanyakan orang lain saat diputuskan sang kekasih. Rumantik hanya merasa
kecewa.
“Dari
dulu aku sebenarnya tidak mau meneruskan jalinan asmara ini lagi namun
lagi-lagi aku berpikir jika aku memutuskan kamu, maka karirmu akan usai. Aku
menunggu saat yang tepat, saat di mana kamu telah menggapai karirmu sebagai
sarjana,” jelas Ijan.
Mendengar
penjelasan dari Ijan cukup membuat Rumantik terpancing tetapi tak sampai hati
meruntuhkan air di matanya. Entah karena kebal atau mungkin karena ia sudah
tidak mencintainya lagi. Hanya satu yang ia rasakan, kecewa.
Ijan
bangun dari tempat duduknya, begitu juga dengan Rumantik.
“Terima
kasih atas selama ini, aku tidak akan melupakannya,” ujar Ijan lalu berlalu
meninggalkan Rumantik.
Ruamantik
melihatnya naik ke atas motornya dan menghilang. Rumantik masih terpaku.
Pengakuannya itulah yang membuat ia bersedih.
Tiba-tiba
seseorang memeluk Rumantik dari belakang. Rumantik melepaskan pelukannya dan
berbalik ke belakang.
“Nur
Salsa???” tanyanya kaget.
“Yup.
Jika kamu ingin menangis, menangislah.” Nur Salsa kembali memeluknya. Rumantik
membenamkan kepalanya di dada bidangnya. Anehnya, Rumantik tidak menangis sama
sekali, justru ia malah menikmati tubuh hangat Nur Salsa. Nur Salsa membelai
rambut Rumantik. Perempuan itu
merasa sangat nyaman dan ini yang dia tunggu dari dulu.
Cukup
lama Nur Salsa memeluknya sampai akhirnya memutuskan untuk melepaskan
pelukannya.
“Kenapa
tidak menangis?” tanyanya sedikit tercengang.
“Tidak
tahu. Aku tidak sedih,” jawab Rumantik seraya tersenyum. “Boleh ku pinjam lagi
dadamu?” katanya sedikit ragu karena takut Nur Salsa tidak mengizinkannya.
“Tentu,”
jawabnya lalu kembali memeluknya.
Dapat
dipastikan sekarang jika Rumantik mencintai Nur Salsa. Sangat mencintainya.
Mereka
berpelukan sangat lama. Nur Salsa terus membelai rambut Rumantik. Apakah Nur
Salsa merasakan hal yang sama dengan Rumantik? Semoga jawabannya, iya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar