Senin, 07 Januari 2013

Nur Salsa & Rumantik Part 2 (The 1st Sequel of Nuansa's Family)



Sejak kejadian itu Rumantik telah memutuskan untuk hidup sendiri. Ia tak mungkin mengharapkan cinta dari sosok Nur Salsa. Ia tahu pasti komitmen Nur Salsa seperti apa dan komitmen itu tak mungkin dilanggar. Ia juga tak bisa menggantungkan hidup kepada lelaki lain.
Sudah 5 kali Desember Rumantik tidak pernah bertatap dengan kedua pria itu dan mungkin Ijan telah memutuskan dirinya berada di pangkuan orang lain. Entahlah… itu sudah berlalu namun hatinya kenapa terus-terusan mengingat Nur Salsa??
Segelas coffemix cukup menghibur Rumantik bermain dengan laptopnya. Meluangkan waktu berdiam diri berjam-jam untuk mengutak-atik keyboard adalah aktivitasnya setiap hari. Sudah 3 bulan ia menetap di Jakarta namun ia belum mendapat pekerjaan tetap. Ia akan mendapat uang hanya jika ia sudah menyelesaikan tender-nya sebagai penulis. 5 tahun cukup untuk membuat dirinya tambah matang dan bisa terus maju ke depan.
“Kamu Rumantik bukan?” ujar seseorang di belakang punggung Rumantik. Suara itu berhasil membuat Rumantik terkejut dan merasakan aliran dingin itu. Suara itu lagi… suara itu yang terus mengerubuni hari-hari Rumantik setiap kali ia akan meredupkan matanya. 5 tahun ia menyembunyikan dirinya dari bayangan lelaki itu, kini gagal hanya karena mendengar dengan suara nyata itu.
“Hey,” ujar Rumantik sembari membalikkan badan.
“Boleh aku duduk di sini?” tawar Nur Salsa
“Iya…”
“Ke mana saja kamu selama ini? sepertinya kamu sengaja menghilang?”
“Aku hanya tidak mau terbelenggu dengan masa lalu.”
“Aku mengerti perasaanmu, pasti hatimu sakit saat keputusan Ijan yang secara mendadak dan sepihak.”
“Bukan itu yang ku maksud, aku tidak mau terbelenggu oleh bayang-bayangmu. Aku lebih tersiksa melihat bayanganmu dibandingkan diputuskan oleh Ijan. Ku mohon kamu mengerti,” batin Rumantik.
Nur Salsa melambaikan tangannya untuk menyadarkan Rumantik dari lamunannya. Sepertinya Rumantik memiliki luka yang amat dalam jika membahas laki-laki itu.
“Aku hanya bercanda, sudahlah jangan bahas masa lalu,” sela Nur Salsa. “Sekarang kita bahas masa depan. Ngomong-ngomong kamu berbeda sekarang.” Nur Salsa memperhatikan penampilan Rumantik dari atas sampai bawah. Ia bahkan tidak melepas pandangannya dari wajah Rumantik.
“Bukannya wajahku tidak berubah. Aku tidak melakukan operasi plastik,” canda Rumantik.
“Kamu sekarang terlihat lebih anggun dan cantik, itu yang menjadi pembeda. Dulu kamu terlalu cuek dengan penampilan. Hanya memakai celana jeans yang dibeli waktu kamu SMP, memakai kaos oblong dan dilapisi oleh kardingan bolong, bukan?” Penjelasan Nur Salsa membuat Rumantik tersipu. Tak terbayang betapa culunnya Rumantik dulu.
“Diam-diam ternyata kamu memperhatikan penampilanku. Apakah kamu seorang psikopat?” Ucapan Rumantik berhasil membuat Nur Salsa tertawa. Tak hanya Rumantik yang berubah Nur Salsa juga seperti itu. Dia terlihat lebih tampan dari sebelumnya dan terlihat lebih matang. Wajahnya yang dulu berminyak dan dikelilingi jerawat tidak terlihat lagi. Sifatnya juga berbeda. Dulu dia amat kaku, tidak pernah berani untuk berbincang dengan perempuan lebih dari 1 jam. Dia seakan menghindar dari godaan perempuan yang terpuji. Sekarang dia amat berbeda, sebelumnya dia hanya menghabiskan 5 menit untuk tertawa setiap harinya sekarang ia akan menghabiskan berjam-jam waktunya untuk tertawa. Semua memang sudah berubah.
“Sepertinya kamu sudah lama di tempat ini. Apakah ini tempat tongkronganmu? Tapi kenapa harus nongkrong sendirian?” bahkan sekarang Nur Salsa lebih banyak memiliki perbendaharaan kata untuk memulai sebuah percakapan.
“Aku memang senang menyendiri untuk sekedar mencari inspirasi.”
“Inspirasi apa?”
“Menulis..”
“Kamu sekarang jadi penulis ya? Kamu sudah tidak menggambar lagi?”
“Menggambar itu jiwaku.”
“Coba aku lihat hasil gambarmu.”
Rumantik segera menyodorkan buku gambanya. Nur salsa segera membuka satu persatu hasil gambar Romantik. Tatapannya memperhatikan satu persatu makna gambar tersebut. Tangan Nur Salsa terhenti saat membuka lembaran pertengahan di mana gambar itu tidak asing lagi bagi dirinya.
“Bukankah gambar ini dari Novel Tiga Kali Desember?”
“Kamu pernah baca novel itu?” Tanya Rumantik dengan penuh antusias.
“Pernah, aku bahkan sampai tiga kali membaca novel itu.”
“Yakin, kenapa sampai sebanyak itu,” Rumantik tambah penasaran mendengar penjelasan Nur Salsa.
“Karena aku bisa merasakan apa yang dirasakan oleh penulis.” Bibir Rumantik bergetar. Dia tidak memiliki kekuatan lagi untuk hanya sekedar menggigit bibirnya. Kegugupannya membuatnya juga tak mampu untuk berkata.
“Sekarang apa aktivitasmu di Jakarta,” tanya Nur Salsa berusaha mencairkan suasana.
“Aktivitasku sekarang ini hanya seperti ini saja. Nongkrong seharian di kafe dan menulis.”
Mendengar pengakuan Rumantik, Nur Salsa menawarkan pekerjaan kepada Rumantik sebagai notaries di tempat ia bekerja. Kebetulan Koran Kompas sedang membutuhkan seorang notaris yang ramah dan bisa berbaur dengan para staf yang lain. Menurutnya Rumantik telah memenuhi kriteria tersebut terlebih ia tahu bagaimana kinerja Rumantik sewaktu menjadi anggota Nuansa.
“Yakin, kamu bisa memperkerjakan aku di tempatmu?”
“Asal saat kamu kerja, kamu harus memanggil aku bapak…”
*****
Takdir Tuhan siapa yang dapat memprediksinya. Manusia hanya bisa menyusun puzzle untuk mengetahui jalan hidup mereka. Kini Nur Salsa dan Rumantik ditakdirkan bersama lagi sebagai rekan kerja. Nur Salsa baru-baru ini diangkat sebagai pimred di Koran Kompas atas sikap kepemimpinannya yang mampu membimbing para karyawan yang lain, selain itu juga ia termasuk orang yang tegas. Tak dapat dipungkiri dia juga menang dalam hal penampilan. Dengan begitu Nur Salsa dengan mudah merekrut Rumantik sebagai notaris. Intensitas mereka bertemu juga semakin sering. Ada rasa senang yang terus membanjiri perasaan mereka saat bertemu, pun itu hanya sekedar saling tatap saat bertemu di jalan.
“Rumantik… tolong tulis respon kita terhadap kerja sama yang ditawarkan oleh pihak unilever. Poinnya sudah saya simpan di draft. Satu lagi tolong tulis hasil publik hearing kemarin supaya saya tahu hal apa yang perlu dibenahi,” pinta Nur Salsa panjang lebar.
“Baik pak,” jawab Rumantik. Ia segera membalikkan badan hendak keluar dari ruangan Nur Salsa untuk segera menyelesaikan tugasnya. Belum sempat ia memegang knop pintu, tangannya sudah terhenti mendengar panggilan dari Nur Salsa.
“Kalau ini permintaan khusus. Buatkan aku susu putih,” ujar Nur Salsa sambil mengangkat kedua alisnya dan memperlebar bibirnya.
“Baiklah, tuan resek,” jawab Rumantik menunjukkan gaya pasrahnya yaitu melebarkan peredaran giginya, melalui mengirikan gigi bawahnya dan menganankan gigi atasnya, seraya menggoyangkan lehernya. Begitu puasnya tawa Nur Salsa melihat aksi Rumantik.
“Jika kamu sudah menjadi partnerku, otomatis kamu sudah siap menjadi budakku,” ucap Nur Salsa penuh kepuasan.
Nur Salsa sepertinya memiliki kepribadian ganda. Saat sedang memimpin rapat ia bisa memerankan perannya sebagai tokoh pemimpin. Berani memberikan keputusan dan berani mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah ia buat. Sangat berbeda jika ia sedang berada di hadapan Rumantik. Dia akan berani berani bermanja-manja dengannya. Rumantik sudah mengetahui hal itu, bahkan sebelum rapat Rumantik menyempatkan dirinya membekali Nur Salsa dengan segelas susu putih. Rumantik bagaikan kakak perempuan, sahabat, dan partner kerja bagi Nur Salsa. Tak heran jika sewaktu-waktu ia mencuri-curi waktu untuk mengunjungi ruang kerja Rumantik.
“Mohon maaf ada yang bisa dibantu pak?” sapa Rumantik saat melihat Nur Salsa berada di depan meja kerjanya.
“Kamu tidak mempersilahkan aku duduk?”
“Silahkan pak, dengan senang hati. Apakah bapak perlu bantuan?”
“Jangan ngomong formal gitu dong. Aku merasa risih sekali jika kamu berkata seperti itu.”
“Bukankah ini aturan selama masih berada di atap kantor bukan?”
“Peraturan itu tidak berlaku jika kita hanya sedang berdua.”
“Begitu, baiklah… lalu ngapain kamu ke sini. Ini belum jadwal istiahat.”
“Atasan bisa kerja dan istirahat kapan saja,” senyum manis terukir dari bibir seksi Nur Salsa.
“Resek,” respon Rumantik. Ia mengubah posisi duduknya dengan menyenderkan kepalanya ke kursi.
“Tidak... aku ke sini aku hanya ingin berbincang-bincang saja.”
Begitulah yang dilakukan Nur Salsa setiap kali ia memiliki waktu luang. Sengaja menggoda Rumantik yang sedang bekerja keras melakukan pekerjaan yang diperintahkannya. Nur Salsa akan puas menggoda jika Rumantik sudah kesal dan menunjukkan ekpresi kekesalannya.
“Kamu mau ngapain lagi ke sini?”
“Begitu ya… sekarang sudah mulai tidak sopan dengan bosmu.”
“Nur Salsa resek, sudah keluar dari ruangan ini!”
“Jika aku tidak mau?” pancing Nur Salsa.
“Aku yang akan mengusirmu..”
“Coba saja.”
“Baiklah jika itu maumu..”
Dengan segenap Rumantik mengeluarkan gaya taekwondo-nya untuk mengusir Nur Salsa dari ruangannya. Nur Salsa yang masih memiliki sifat feminim dapat dikeluarkan dari ruangan dengan mudah. “Sial,” batinnya.
Kata orang banyak jalan menuju Roma. Istilah tersebut juga berlaku untuk Nur Salsa, ada banyak taktik dia untuk sekedar menganggu Rumantik dari pekerjaannya.
“Rumantik…”
“Hmmm,” respon Rumantik seadanya.
“Boleh berbincang?”
“Saya lagi banyak kerjaan, bisakah Anda keluar jika bukan perihal yang mendesak.”
“Cetus amat.” Sepertinya Rumantik sudah terpancing emosinya.
“Kalau kamu bukan bos-ku, aku sudah pampang di depan pintu kalau yang bernama Nur Salsa dilarang masuk di ruangan ini,” ujar Rumantik dengan volume yang agak ditinggikan.
“Kalau aku ganti nama pada saat itu gimana? Dan aku juga sudah membuat beras merah agar namaku sudah ganti,” ujar Nur Salsa mengangkat kedua alisnya.
“Resek…..”
Nur Salsa tertawa puas setelah melihat ekpresi Rumantik.
“Ini serius, aku ke sini hanya ingin bernostalgia tentang Nuansa. Apa kamu tidak rindu dengan anak Nuansa?”
“Kamu masih berhubungan dengan mereka.” Wajah Rumantik seketika sumringah saat mengenang Nuansa.
“Aku masih chating-an di group facebook,” jawab Nur Salsa.
“Aku juga lumayan sering kontak mereka. Kira-kira kak Ahlul sudah memiliki facebook tidak? Bahkan aku sama sekali tidak pernah mendengar kabarnya, gara-gara dia tidak facebook.”
“Dia memang orang yang memiliki komitmen teguh, sekali tidak ya tidak… dengar kabar dia bekerja di Republika.”
“Waow keren juga… kamu masih ingat Kiki?”
“Cewek macho nan perkasa itu?”
“Sekarang sudah jadi feminim, bahkan sekarang dia sudah menjadi ustadzah… tiap hari pakai gamis terus.” Rumantik tambah bersemangat membicarakan keluarga Nuansa.
“Jika begitu Ahlul dan Kiki sangat cocok dijodohkan. Kan mereka sama-sama akhi-ukhti.”
Mereka semakin bersemangat bergosip.
“Kamu tahu kak Fikar? Sampai sekarang dia belum memiliki hubungan asrama dengan perempuan mana pun. Dia terlalu sibuk memikirkan karirnya.”
“Mereka semua memiliki sejarah sendiri dan unik untuk dikaji, respon Nur Salsa di akhir perbincangannya.
*****
Beberapa hari ini Rumantik sudah mengabaikan kertas-kertas di mejanya yang minta untuk diisi. Kanvas dan pewarnanya pun sudah mulai mengering tanpa ada yang menyentuhnya. Tak hanya itu, cerita fiksi yang ia biasa kerjakan hampir separuh dari harinya tidak pernah ia kerjakan lagi. Kesibukan terus melanda dirinya. Hanya di kantor-lah dia sesekali mengecek tulisannya. Masih banyak tagihan novel yang masih mengawang dan perlu dibuatkan ending yang indah. Sore ini ia berniat untuk mengerjakannya hingga tanggal berganti. Ia hendak membuat segelas coffemix namun segera mengurungkan niatnya akibat stok gelas di rak piring sudah habis. Terpaksa ia mencuci satu-persatu gelas yang masih berserakan di atas meja.
“Semuanya sudah selesai, saatnya menulis,” ucap Rumantik dengan penuh antusias.
Sepertinya ia sudah dibius oleh kantuk saat setelah menyelesaikan beberapa lembar halaman. Ia tuangkan lagi coffemix ke dalam gelas dan mengambil air panas dari dispenser. 3 gelas coffemix tak mempan, matanya tetap merekat. Alisnya terus menempel ke pipi. Akhirnya tanpa ba bi bu segera ia meluncurkan badannya di atas kasur. Barang-barang yang masih berserakan di sana satu persatu dibuangnya agar tidurnya nyaman. Badan yang gatal akibat keringat pun tak mampu menghalangi nafsu tidurnya.
Berkali-kali suara ponsel-nya bordering mengusik tidur Rumantik. Sebal dengan suara itu, ia meraih bantal untuk menutup telinganya. Suara ponsel itu bisa menembus bantal hingga membuatnya menyerah. Dia meraba-raba satu persatu benda yang tergeletak di kasurnya. Dia baru teringat bahwa sebelumnya dia pernah membuang benda-benda tersebut yang sepertinya sekarang berceceran di lantai. Dengan susah payah ia meraih ponselnya ke lantai karena malas berpindah dari tempat tidurnya dia berusaha memanjang-manjangkan badannya untuk bisa menggapai benda berisik itu.
Dia segera membuka flip ponselnya dan melihat wajah penuh Nur Salsa dari layar ponselnya.
“Ada apa?” tanya Rumantik tanpa basa-basi. Suaranya terdengar masih parau
“Bisa kita bertemu di taman malam ini?”
“Aku sangat ngatuk sekarang ini, bisakah bertemunya di lain waktu saja,” pinta Rumantik. Dia sudah tidak bisa lagi menelanjangkan matanya. Sepertinya matanya sudah di lem dengan lem super lengket.
“Aku mohon..” Mendengar permintaan Nur Salsa yang tulus, Rumantik pun mengikuti permintannya. Dengan setengah tenaga yang dimilikinya ia melangkahkan kakinya untuk meraih motornya. Sepertinya bumi saat ini sedang ditemani oleh percikan air, jika seperti ini Rumantik tidak berani membawa Nathan keman-mana. Menggunakan taxi adalah alternatif yang tepat untuk membimbingnya ke taman.
“Terima kasih sudah datang,” ucap Nur Salsa saat melihat kedatangan Rumantik.
“Apakah ada hal yang penting sehingga kamu mendesakku untuk menemuimu.”
Nur Salsa hanya tersenyum kecil. Sebenarnya tidak ada kepentingan maupun perihal yang mendesak tetapi ia hanya ingin melihat wajah Rumantik. Ia rindu dengan senyumannya, rindu dengan tingkahnya saat dirayu. Ia kini memindahkan tangannya ke kepala Rumantik kemudian membelainya.
“Sebenarnya ada perihal apa?” tanya Rumantik. Sentuhan itu berhasil membuat dingin yang terus menjalar di sekujur tubuhnya. Nur Salsa terlihat tampan dari biasanya. Dia terlihat lebih muda dengan pakaian santainya. Menggunakan kaos berwarna pink dengan corak garis horizontal ditambah celana yang bolong di mana-mana. Dia terlihat berbeda jika dibandingkan pakaian formalnya saat di kantor.
Mendengar pertanyaan itu Nur Salsa segera membimbing Rumantik untuk menuju sebuah pohon. Nur Salsa membekap mata Rumantik. Rumantik ingin melepaskan tangan Nur Salsa namun ia mengurungkan niatnya. Nur Salsa melepaskan daun-daun dari rantainya sampai pada akhirnya ia membuka sebuah tulisan.
“Nur Salsa & Rumantik?” ujar Rumantik setelah membuka matanya.
Tanpa berkata Nur Salsa mengangguk sambil memperlihatkan senyum dari bibirnya. Rumantik meraba tulisan tersebut tanpa sadar ia menangis terharu. Jari-jemarinya merah tertempel oleh tulisan itu. Tulisan merah itu tak lain hanya berasal dari getah pohon berdasarkan penjelasan dari Nur Salsa.
“Nur Salsa & Rumantik… akan selalu terkenang oleh bumi Indonesia. Namaku dan namamu takkan pernah terpisahkan, meskipun di kehidupan nyata Tuhan menakdirkan kita untuk untuk memilih jalan yang berbeda namun pohon ini saksi bisu bahwa kita akan selalu bersatu,” jelas Nur Salsa. Jemarinya yang panjang membasuh air yang terus mengalir di pipi Rumantik. Nur Salsa selalu membuat kejutan yang di luar prediksi Rumantik, seperti halnya malam ini. Tak ada kata cinta yang terlontar di antara mereka namun tatapan mata dan bahasa tubuh bukankah itu sudah menandakan adanya perasaan itu.
Ketika sedang menelusuri jalan yang dingin diiringi bulir-bulir air dari langit sambil bersama-sama bercengkrama di dalam mobil Nur Salsa, Rumantik sudah merasa jalan yang dituju sudah hampir sampai. Rumantik memanfaatkan kesempatan itu dengan berpura-pura mengungkit penyakit masa lalunya. Ia menggeliat-liat sembari mengerang. Nur Salsa sempat ingin memberhentikan mobilnya namun Rumantik melaranganya. Mobil itu berhenti saat setelah mencapai tempat yang dituju. Nur Salsa membuka pintu mobilnya dan mempersilahkan Rumantik untuk keluar. Mengerti dengan isyarat yang Rumantik berikan, Nur Salsa menggendongnya menuju kontrakan Rumantik.
“Aku menunggu momen ini,” ucap Rumantik dengan paras memerah.
“Berarti sakit migrain yang kamu idap jaman dulu itu hanya sekedar pura-pura?” Rumantik semakin mengerat pegangannya.
“Beruntung sekarang beratmu sudah berkurang banyak,” ledek Nur Salsa
Lambat-lambat Nur Salsa menurunkan Rumantik dari gendongannya. Segera dia berpamit untuk pulang tanpa berdiam sejenak di tempat Rumantik. Dia melambaikan tangan dengan amat berat seolah tak ada waktu tersisa bertemu dengannya. Nur Salsa memandangi wanita itu dari belakang dan menyadari betapa tubuhnya menjadi mungil. Dia mempercepat langkah lalu menenggelamkan tubuhnya dalam rengkuhan kedua lengannya. Jika dia memeluk Rumantik dari belakang, dia bisa menyandarkan kepala wanita itu di dadanya.
Rumantik bisa merasakan seseorang memeluknya dari belakang. Apa yang dipikirkan oleh Nur Salsa, kelakuannya sungguh aneh. Rumantik merenggangkan tangan Nur Salsa namun tangannya semakin erat memeluk Rumantik.
“Beri aku sejenak waktu untuk seperti ini. aku mohon!!!” Rumantik tidak mampu berkata. Bahkan mulutnya seakan terkunci rapat. Dia hanya memalingkan wajahnya, menyembunyikan air matanya.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                  
*****
“Halo?” sapa Rumantik di telpon saat sedang berada di kantor.
“Rumantik, kamu ditugaskan oleh Pak Nur Salsa. Poinnya ada di draft tolong garap tugas itu,” ujar seorang staf dengan suara tertelan.. “Aneh” batin Rumantik. Ia segera mengecek di draft dan membaca tulisan
“Tolong buatkan undangan pernikahan saya segera. Berikut poin-poinnya…………….”
Rumantik tersentak memundurkan kursinya ke belakang. Jantungnya berdebar-debar. Keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Refleks tangannya meraba-raba kembali tulisan yang tertera di layar komputer. Tangannya berhenti meraba. Menjenjang dalam kehampaan. Dengan tangan bergetar ia memainkan kata di pembuat kata. Nur Salsa lelaki yang ia harapkan selama ini, selama 5 tahun ternyata penantiannya tak berujung apa-apa. Di manakah ia sekarang? Tak terasa air mata meleleh ke atas keyboard. 5 kali Desember ia merindukan belaian lelaki itu. Rumantik menggigit bibir menahan tangis sambil terus menangis. Sempat terbersit untuk menulis kalimat di mana pasangan perempuan bukanlah Putri Salsabila melainkan namanya sendiri, Rumantik. Tetapi ia dengan cepat menekan backspace. Kembali lagi ia ingin di akhir undangan  menuliskan. Dari orang tua mempelai laki-laki Yordan Gunawan & Rabba’ah turut mengucapkan terima kasih & f**k you.
“Bagaimana undangannya? Sudah selesaikah?” ujar Nur Salsa secara tiba-tiba menghampiri Rumantik. Mendengar suara yang tidak dinginkannya itu, Rumantik segera membalikkan kursinya.
“Sebentar lagi akan selesai. Nanti saya akan kirimkan ke email bapak hasilnya.” Ketika kabut duka yang terus menggumpal, pelukan itu segera dibutuhkan. Ingin sekali Nur Salsa mendekap Rumantik seperti yang telah ia lakukan semalam.
“Bisakah kita berbicara sebentar?” tawar Nur Salsa dengan suara berat.
“Jika bapak sudah tidak memiliki kepentingan lagi. Tolong keluar dari ruangan saya!” perintah Rumantik dengan penuh sesal.
Nur Salsa terenyuh melihat sikap Rumantik demikian tegar. Padahal laki-laki yang dikasihinya itu pergi ke pelukan perempuan lain. Rumantik jelas sedih. Tetapi berusaha keras menutupinya. Paling tidak terlihat tegar di depan lelaki yang dikasihinya sejak 5 kali berlalunya Desember. Sikapnya justru itu justru membuat Nur Salsa semakin didera rasa bersalah.
*****
Hari-hari yang kemudian mendatangi memang bukan hari yang mudah. Tetapi Rumantik berjuang keras untuk menyelamatkan dirinya dari keruntuhan mental. Dia berusaha melupakan kesedihannya. Kesepiannya. Dia menyerahkan dirinya secara total untuk terus mengejar karir. Begitu banyak hari-hari indah yang telah mereka lewati bersama, begitu banyak kenangan yang tak terlupakan. Yang pahit, apalagi manis.
Rumantik lebih banyak berkhayal dari pada menulis. Lebih banyak berdiam diri dari pada ngobrol dengan rekannya. Matanya lebih banyak melihat ke sekeliling ruangan, seakan-akan Nur Salsa akan kembali lagi ke ruangan itu. Harapan itu tidak mungkin lagi terjadi. Nur Salsa sudah bahagia dengan pelukan Salsabila di tempat kelahirannya, Aceh. Kabar terakhir yang didapat Rumantik, alasan mereka menikah karena dijodohkan. Hanya itu yang dia tahu dan cukup hanya itu. Semakin banyak mendengar namanya semakin banyak pula duri yang terus menggerogoti hatinya.
Rumantik mengalihkan jemarinya ke amplop yang terletak di mejanya. Sebuah surat untuknya dari Nur Salsa. Sudah behari-hari surat itu tergeletak manis tanpa sentuhan jemarinya. Sempat ia memegangnya untuk segera membuangnya namun rasa penasaran itu masih terlalu tinggi. Setelah berperang dengan egonya sendiri akhirnya ia memberanikan diri untuk  membuka kapas terukir itu. Sebuah buku harian terdapat di dalamnya.
“Kisahku dan kisahmu…”
Hey.. Rumantik, mungkin setelah kamu baca ini aku sudah bisa tidak di pelukanmu lagi. Dan seperti waktu sebelumnya aku lelaki yang terlalu bodoh yang tidak akan pernah bisa menggapaimu. Aku mohon kamu tersenyum. Aku rindu dengan senyuman manismu dan aku sangat merindukan ekpresi jelekmu saat aku menggodamu. Kalau kamu tidak tersenyum. Jangan harap kamu bisa membuka lembaran berikutnya. Oke semoga kamu tersenyum.
12 Desember 2012
Malam itu kau meruntuhkan hatiku dengan berbagai getaran dingin saat mata kita beradu melihat dua pasangan dengan penuh bumbu romantisme. Bibirku terlalu kaku untuk mengucapkan kata. Tanganku sangat dingin namun aku tak punya kekuatan untuk sekedar menggenggamnya. Aku berhasil mencairkan suara dengan berkata…. “Jika Ahlul melihat adegan ini, maka kita berdua akan segera dirajam.” Ingat tidak omongangku ini. Ungkapan ini sengaja terucap untuk mengurangi rasa kerisauan hati saat berada di dekatmu. Aku menggeliat di atas kasur entah itu aku tersadar atau sedang tertidur tetapi tanpa ku sadari aku tersenyum. Senyum bahagia saat membayangkan wajahmu. Naluriku berputar lagi. Aku tidak mungkin mendekatinya.. dia.. dia… dia yang berhasil membuat telapak tanganku basah saat di dekatnya telah dimiliki orang lain. Naluri itulah yang membuatku sebisa mungkin untuk terdiam.
17 Februari 2013
Perasaanku sangat tidak karuan saat mendengar suara paraunya dan mengabarkan bahwa dia tersesat di Hutan Waduk Sermo. Pada saat itu aku sangat panik. Aku dengan segala ketidawarasanku bertanya kepada setiap orang yang kulihat. Bibirku selalu bergetar dan mengucapkan lafadz agar kau baik-baik saja di sana. Sampai aku melihat punggungmu, entah rasa bahagia apa yang menggerogoti relung hatiku. Lagi-lagi aku tersadar bahwa wanita itu milik orang lain. Aku mengajaknya pulang tanpa membimbingnya. Aku ingin sekali memegang tangan dingin itu.
11 April 2013
Kami hari akan berangkat ke pantai bersama anak Nuansa. Aku berharap aku mendapat ketenangan di sana. Aku mencari-cari tempat di mana aku bisa menyendiri. Sebuah lambaian tangan wanita itu sanggup mendorong langkahku ke hadapannya. Senyum puas terukir dari bibir manisnya. Aku senang sekali diberi kesempatan untuk bisa berdua dengannya. Aku baru sadar dia hobi menggambar sama halnya denganku. Kami banyak memberi cerita tentang pengalaman selama menekuni dunia gambar. Saatku melihat matahari hendak ditutupi oleh awan, aku mengajaknya balik. Tubuhnya begitu lunglai, lagi-lagi perasaanku tidak karuan saat melihatnya berusaha mengurangi rasa sakitnya. Tanpa pikir panjang aku segera menggendongnya. Dia ternyata memiliki berat badan yang terlampau dari pikiranku. Tunggu dulu… kok tiba-tiba lahar dingin itu kembali menggerogotiku. Detaran jantungku tidak karuan. Bisakah aku terselamatkan dari perasaan ini. Aku tidak mau terbelenggu dengan perasaan yang menyiksa ini.
18 Oktober 2012
Aku sangat merindukannya. Kamu tahu kan siapa yang kurindukan? Sudah sekian lama kami tidak pernah bertemu lagi. Kegiatan Nuansa tidak pernah mengharuskan kami untuk datang. Padahal aku ingin sekali ke sana untuk sejenak memandang wajahnya. Kami terlalu sibuk menyelesaikan tugas akhir kami. Atau mungkin dia lebih nyaman berada dekat dengan lelaki yang setia di sisinya.
3 Desember 2013
Hari ini adalah hari kelulusan kami. Aku melihat rona merah dari secuil pipi berisinya. Aku sungguh senang melihat wajah bahagianya. Tapi kenapa tiba-tiba wajah bahagia itu berubah menjadi risau. Ternyata lagi-lagi pacarnya menyuruhnya untuk bertemu. Benar-benar iri melihat itu. Dia segera pergi ke taman. Tanpa dia sadari aku memunggunginya. Aku mendengar semua percakapannya. Aku meraihnya ke dalam tubuhku saat lelaki yang menyakitinya pergi. Dia nyaman dengan pelukanku tetapi aku heran kenapa dia tidak menangis. Dia hanya tersenyum dan memintaku lagi untuk memeluknya. Aku semakin yakin dengan perasaanku jika aku mencintainya.
27 Desember 2013
Kenapa dia tiba-tiba menghilang. Aku dibuat tidak karuan dengan keberadaanya. Ke mana dia pergi. Tolong beri aku petunjuk untuk menemukannya. Aku sangat merindukannya. Aku mengontak nomernya tapi tidak aktif. Mungkin ia telah membuang kartu selulernya ke aquarium raksasa. Aku mencarinya di facebook tetap juga tidak bertemu. Aku mencari dia, bahkan aku sampai bertanya-tanya kepada teman terdekatnya, pencarian itu nihil.
19 Desember 2018
Hey… aku kembali lagi membuka buku ini. Setelah 5 tahun berlalu. Saat ku buka, ternyata banyak kisah yang mampu membuat tawa. Kamu tahu? Malam ini aku bertemu dengannya. Harapannya yang aku kubur selama lebih dari 5 tahun itu kini terwujud. Aku tidak mau melepaskannya begitu saja. Untuk itu aku menawarkan dia bekerja di tempatku. Kamu pasti tahu kan perasaanku saat ini…?
27 Desember 2018
Setiap hari aku lebih banyak tersenyum dari biasanya. Apalagi sekarang aku sudah memiliki berbagai cara untuk menggodanya. Menjadikannya budakku meskipun hanya sekedar membuatkanku susu putih. Aku senang sekali melihat ekpresinya saat cemberut. Dia terlihat menggemaskan. Aku membuka lagi “Tiga Kali Desember” novel yang ku baca berulang kali adalah karangan dia. Meskipun sebelumnya aku tidak tahu siapa pengarang aslinya tetapi saat membaca novel itu aku merasa jiwaku ada di sana. Aku semakin hari semakin jatuh cinta terhadapnya.
5 januari 2019
Aku mungkin orang yang paling bodoh sedunia. Kenapa aku tidak mengungkapkan perasaanku terhadap wanita itu yang jelas-jelas juga menaruh hati padaku. Semua orang mungkin akan menganggapku bodoh. Tapi tahukah kamu wanita itu tidak ingin aku jadikan sebagai kekasihku melainkan sebagai istriku. Itulah alasanku selama ini. Menjadi teman tapi mesra lebih baik bukan?
18 Januari 2019
Sudah kumantapkan hatiku untuk segera melamar dia. Aku yakin dia pasti akan terima lamaranku. Bertahun-tahun kami mengenal dan aku sudah ahli perasaannya. Aku meminta restu dari orang tuaku. Hal yang tidak ingin ku dengar dari dulu mau tidak mau harus ku dengar. Bahwa ternyata aku sudah dijodohkan oleh orang tuaku. Dari dulu aku selalu mengabaikan perjodohan itu. Sampai akhirnya semua persiapan sudah tertata rapi. Hanya tinggal menunggu kedatanganku. Aku berkali-kali menepuk pipiku supaya tersadar. Ini bukan mimpi tapi kenyataan. Aku cepat-cepat mengendarai mobilku. Aku terus mengemudi tanpa tahu arah. Aku memberhentikan lajuku di taman tempat aku dan wanita yang dari dulu ingin aku panggil adinda bertemu. Aku mengukir kata Nur Salsa & Rumantik dengan pisau. Aku menggores jariku dengan pisau sampai warna merah itu menetes. Aku menajamkan tulisan itu dengan darahku. Kuharap bumi tidak akan menghapus romantisme kami berdua. Kali ini aku mengakui bahwa aku memang bodoh. Aku menelponnya, aku memaksanya untuk datang. Dia datang dengan jaket tebal yang melilit badanmu, menemuiku padahal gerimis berusaha menghalangimu. Namun, sepertinya ada kekuatan yang membuatmu terus melaju menghampiri seonggok daging yang lemah ini. Aku berusaha untuk tidak terlihat di depanmu. Waktu yang selalu memaksa untuk didatangi itu yang paling ku benci saat dia melambaikan tanganmu. Berat rasanya kaki ini untuk meninggalkanmu. Aku kembali menggapaimu. Aku tidak mau kehilanganmu lagi.
Tiba-tiba saja tetesan hujan jatuh di atas buku Nur Salsa. Rumantik memutuskan untuk melangkahkan kakinya menuju ruangan drama itu. Dia meneruskan membacanya di kursi tempat di mana seseorang itu menggodanya. Melihat satu persatu barang-barang yang masih tertata rapi di mejanya. Tinggal kenangan.
19 Januari 2019
Aku lelaki yang paling bodoh dan juga paling kejam. Aku tahu pasti bagaimana perasaannya saat membuat undangan pernikahanku. Mungkin dia berpikir waktu aku mendatanginya aku akan tertawa dan berhasil bahagia dalam kesedihannya. Tapi perlu kamu ketahui aku hanya ingin memastikan apakah kamu baik-baik saja. Aku ingin kamu menghalangiku untuk jangan menikahinya. Aku hanya ingin mendengar itu. Tetapi aku mungkin terlalu percaya diri. Bisa saja yang di hatimu masih Ijan bukan aku. Aku terlalu percaya diri untuk mengatakan bahwa dia mencintaiku. Aku berharap kamu memiliki perasaan yang sama denganku. Sama-sama menyayangi. Meskipun di dunia nyata kita akan bisa terus bersama namun aku berharap Nur Salsa & Rumantik akan dijodohkan di Surga…..
Air mata terus menggenangi buku Nur Salsa.
“Aku selalu berusaha untuk membuatmu tersenyum meskipun kamu takkan pernah berusaha membuatku tersenyum karena sejatinya tanpa kusadari saat kamu tersenyum aku juga ikut tersenyum. Nur Salsa & Rumantik semoga dijodohkan di Surga,” ungkap Rumantik di sembari menutup kisah mereka

THE END
*Kisah ini terinspirasi dari mencomot-comot kisah orang lain
Dalam bagian karakter yang tertulis di atas mengisahkan sebuah kisah
-          Nur Salsa : Menikah dengan Salsabila dan menjadi pimred di Kompas.
-          Rumantik menjadi marketing di Koran kompas dan telah menjadi penulis. Beberapa tulisannya telah diterbitkan di Gramedia, di antaranya: Tiga Kali Desember, Sepucuk Harapan, Menunggu Hujan, Insomniac, dan Langit di Sore Ini.
-          Ahlul : Dengan wajah surganya menjadi Pimred di Republika.
-          Kiki : Gadis perkasa namun berubah menjadi wanita solehah. Profesinya selain jadi ustadzah, dia juga aktif menulis di majalah Ummi.
-          Fikar : Lelaki yang tidak pernah bersentuhan dengan romantisme berhasil meraih gelar doctor di Monash University.
-          Mujib : Wajah polos yang mampu menajamkan mata setiap wanita ini telah berhasil membangun pesantren di Jombang. Dia dianggap menjadi kiayi tersohor di desanya meskipun usianya terbilang muda.
-        Said : membaca namanya selayaknya membaca Alquran dengan pasih. Sosok yang memiliki gigi sempurna ini juga memiliki toko publishing sendiri. Kabarnya dia telah menikah dengan gadis yang hiperaktif di organisasi.
-          Dan yang menulis ini telah dikontrak menjadi Reporter VOA… Our Wish (^_^)


4 komentar:

  1. sumpeh sampe tumpeh-tumpeh... wakakakak

    BalasHapus
  2. astagaaa....ini bener-bener deh ya, smg yg tertulis disini berbalik dgn yg sebenarnya. rumantik dan salsa, bener2 bisa bersatu memadu kasih di bumi cinta ini. ahaha...

    BalasHapus
  3. aku berharap saat kunjungan kenegaraanku ke negeri lain suatu saat nanti, aku bisa sempat di wawancarai oleh seorang reporter VOA berbakat, yang sudah sejak lama mengenal aku pada saat aku menjadi pimred sebuah lembaga pers mahasiswa.....

    BalasHapus