Senin, 04 Februari 2013

Alwi & Awaliyah (The 2nd Sequel of Nuansa's Family)



Hari ini adalah tahap wawancara untuk bisa memasuki organisasi Nuansa. Sudah separuh bulan Februari berlalu, tapi cuaca tak menentu masih terus berlanjut. Terkadang panasnya merajalela, terkadang juga air turun dengan amat ganasnya. Semalam bintang kejora terlihat amat jelas, menandakan bahwa hari ini sepertinya tidak ada kemungkinan turun hujan.
Pada saat itu Alwi sudah memprediksikan bahwa cuaca akan sangat panas, maka ia terus mengayuh sepedanya lebih laju lagi. Dia tidak merasa keberatan dengan teriknya matahari dan keadaan lainnya. Ia sadar bahwa dia tidak punya banyak waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Dia terlalu sibuk menyiapkan jawaban apa yang akan terlontar dari mulutnya saat dia diwawancara.
Saat perlahan-lahan hari sudah mulai semakin terang. Alwi pun tiba di depan SC, memerhatikan orang yang berlalu-lalang di hadapannya. Tempat itu benar-benar ramai. Dia berjalan menaiki tangga. Pertama-tama ia melihat orang yang berkerumunan. Dia melihat banyak sekali orang yang berdesakkan untuk diwawancara. Baru kali ini bisa melihat perempuan yang jaraknya agak berdekatan dengan para lelaki. Sebelumnya selama 6 tahun dia hanya bisa melihat perempuan saat dia sedang libur sekolah. Itu pun yang seringkali ia lihat hanyalah ibu dan adik perempuannya. Tetapi sekarang dia benar-benar bisa melihat perempuan dengan berbagai bentuk yang berdesak-desakkan meskipun dengan lawan jenisnya.
Alwi jelas agak menjaga jarak dengan mereka. Jangankan untuk berdesakkan dengan cewek, untuk sekedar melihat cewek saja doi sudah cukup bertobat. Namun, kini posisinya berbeda. Di belakang banyak orang menjejalkan diri ke depan pintu, membuatnya sempat terpeleset saat menghindari kerumunan orang. Dia pun sempat mendengar obrolan orang-orang yang ada di sekitarnya dengan seksama. Di antara obrolan itu, ada yang membicarakan tentang seputar pertanyaan saat wawancara. Ada juga yang membicarakan tentang kepopuleran nuansa.
“Kayaknya Nuansa saat ini lagi naik daun ya?”
“Ahh semoga aku lolos…”
“Aku sudah lama menanti adanya wadah yang bisa meyalurkan minatku di bidang menulis….”
Masih banyak lagi pernyataan-pernyataan yang sanggup tertampung di telinga Alwi. Ketika  mendengarkan banyak kalimat harapan, pintu sekre Nuansa sudah mulai terbuka dan kerumunan orang pun mulai menyerbu masuk  dari berbagai arah. Dari arah belakang, orang-orang memaksa masuk, agar mereka bisa terlebih dahulu diwawancara. Desakkan itu membuat nafas semakin sesak. Agar terhindar dari fitnah, dia berusaha untuk tidak berpegangan pada pundak lawan jenis. Badannya terhuyung karena tersandung kaki seseorang. Tanpa terasa gelombang kerumunan itu berangsur tenang berkat bantuan orang yang tidak dikenal. Dan, dia pun menyadari bahwa tas-nya sudah dipegang orang lain saat menyeretnya keluar dari rumunan itu. Karena berpikir untuk berterimakasih doi segera membalikkan wajahnya menghadap orang yang menolongnya.
Tahukah, yang menolong doi bukan pria berbadan seperti Samson, melainkan cewek. Sejenak Alwi terkesima dengan cewek itu. Sadar akan posisinya sebagai cowok tulen. Alwi pun berusaha bersikap biasa saja.
“Aku memang tidak melihat bulu. Karena aku telah diselamatkan olehmu. Untuk itu aku ucapkan terima kasih,” ucap Alwi pada akhirnya.
“Tidak perlu berterimakasih,” sambil cengengesan cewek itu tidak berkata apa-apa lagi. Dalam keadaan kacau seperti itu, dia masih tetap memegang tas Alwi.
“Aku sudah baik-baik saja sekarang. Jadi bisakah kamu melepaskan tasku.”
Tubuhnya gemetaran saat pertama kalinya seorang cewek. Yahh yang menurut doi lumayan kece sepeti dia, bisa berkelakuan seagresif itu.
“Owh maaf, aku hanya sedang memikirkan bagaimana kita bisa dengan segera masuk ke ruangan, tanpa harus rebutan dengan setumpuk orang di sana.”
Cewek itu mengeluarkan sesuatu dari kantung tas-nya. Dia menyodorkan  id-card di hadapan Alwi.
“Pakailah ini, aku juga akan memakainya. Setelah kita memakainya, maka kita bisa masuk dengan leluasa,” ajaknya. Cewek itu kembali membimbing Alwi dengan menggenggam tas-nya. Keringat dingin terus menjalari tubuh Alwi.
“Maaf, bisakah kamu melepaskan tas-ku. Aku bisa berjalan di belakang punggungmu.”
Perlahan cewek itu memperhatikan sosok Alwi dengan kernyitan di dahinya. Sok banget ni laki, tampang sih kece tapi kelakuannya ngece. Tidak terlalu mau berdebat dengan hal yang tidak penting, cewek itu hanya tersenyum lalu kembali berjalan.
Terbukti apa yang dikatakan cewek itu. Setelah orang-orang itu melihat id-card mereka, satu persatu orang-orang itu membuka jalan bagi keduanya.
Di tempat wawancara seramai itu, karena terlena mendengarkan obrolan orang-orang, Alwi tidak sempat mengenal siapa yang menolongnya tadi. Gadis dengan kemampuan mengukir senyumnya yang indah.
Mereka sampai pada ruangan tempat wawancara. Hanya menunggu dua orang saja, maka mereka akan langsung bisa diwawancarai. Syukurlah.
“Kamu terlihat sangat kaku. Apa ini adalah kali pertama kamu melihat cewek sedekat ini?
Alwi tersentak kaget saat mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu. Suara cewek itu terdengar merdu. Mendengar suaranya seperti tengah mendengar riak air sungai pada saat langit menyelimuti matahari. Menyeramkan dong…
“Oh, ya. Benar.” Doi lagi salting ni. Bener-bener songong ni ye
“Senang bertemu denganmu. Sepertinya kamu berasal…”
“Senang bertemu denganmu juga,” jawab Alwi cepat-cepat.
Doi gak mau dong kelihatan salting di depan cewek. Men… ini pertama kalinya aku berani mengobrol dengan cewek. Coba dari dulu aku bisa mengobrol sedekat ini. Astagfirullah sadar men, lo laki-laki yang ingin mencari kebahagiaan di akhirat. Kalau sampai elu tidak menundukkan pandangan lo, maka setan akan segera menyerambat masuk dalam diri lo.
Alwi pun menata hatinya dan berusaha menunduk. Diam-diam sekali lagi kepalanya melihat ke arah cewek manis itu. Dia tersenyum saat melihat wajah cewek itu sebelum dia memutuskan untuk menunduk kembali.
Salah satu dari senior Nuansa menunjuk Alwi, cewek itu, dan 3 peserta lainnya untuk mengikuti ke arah dia berjalan. Nampak senior yang berdasarkan pendengaran Alwi itu bernama Fikar. Wajahnya bulat dan berkulit putih. Jika dia tidak berwajah seperti anak kecil, Alwi sudah beranggapan bahwa ia adalah seorang dosen karena penampilannya yang gak update. Pakaian terlihat formal. Memakai kemeja bergaris vertikal, celana kain longgar, dan sepatu kulit berwarna cokelat. Wajahnya yang luwes nampak sekali bahwa orangnya pintar.
Peserta diajak keluar ruangan. Agar terhindar dari sengatan matahari mereka berlindung dari pohon. Senior itu menatap langit dan tersenyum. Tempat itu adalah tempat bagus karena langit tidak terlihat. Pohon di samping gedung SC tidak terlalu lebat, sedangkan pohon menuju Fakultas Kedokteran itu berdaun lebat. Mereka akan terlindungi dari sengat matahari pada saat tengah hari.
Cewek manis itu dan Alwi saling berpandangan. Cewek itu memperhatikan bulu matanya yang lentik dan bola matanya yang bersinar terang. Saat berdiri berhadapan seperti itu, diperhatikannya hidung lancip itu, hidungnya yang sebelah kiri lebih ke atas dari pada yang di sebelah kanan, hampir sama dengan ukiran hidung artis terkemuka Fedi Nuril, bibirnya yang tebal, wajah oval kecilnya yang tampak bersih oleh air wudhu. Merasa dipandangi seperti itu, Alwi segera menoleh pandangannya ke arah lain.
Dalam waktu singkat cewek itu sudah menemukan jawaban bahwa Alwi berasal dari pondok pesantren, dan tidak pernah bersentuhan dengan asmara. Jangankan untuk beradu kasih, untuk sekedar ngobrol dengan dirinya saja dia sudah salting. Walaupun pakain yang dikenakannya tidak seleluasa pakaian akhi-akhi penghuni surga, dengan janggut yang sengaja ditumbuhkan, jika dilihat dari latar belakang pondok, pakaian yang dipakai Alwi dibilang biasa saja. Cewek itu bisa merasakan ada kedekatan dengan Alwi.
“Ini memang pertama kalinya bagiku untuk bisa dengan leluasa berbaur dengan cewek. Maafkan aku kalau ada sikapku yang kurang berkenaan. Aku berhutang budi padamu,” aku Alwi.
Akhirnya wawancara pun dimulai. Para peserta mulai berbaris dengan rapi. Saat Fikar berjalan satu persatu ke arah peserta. Ia dengan enteng menunjuk peserta tanpa melihat identitas masing-masing.
“Kamu… coba jawab, apa saja yang kamu ketahui tentang dunia pers?” tanya Fikar langsung menunjuk cewek manis itu.
Tidak terlalu banyak berpikir, cewek itu langsung menjawab dengan bahasa yang lentur dan benar sehingga membuat orang di sekitarnya terkagum. Isi dari jawaban cewek itu singkat dan padat, disampaikan secara logis hingga usai ia berbicara, membuat Alwi beranggapan bahwa cewek itu memiliki pengetahuan yang luas. Analisanya berbeda jauh dengan apa yang di otak Alwi, bisa dikatakan seperti Venus dan Mars. Sekujur tubuh Alwi sangat lemas. Dia berdiri dengan gelisah setelah mengetahui saingannya sangat pintar. Semoga saja ada sebersit harapan, dirinya lolos ujian. Meskipun nilainya di paling ujung. Tak apalah. Yang penting bisa masuk Nuansa dan bisa lebih banyak waktu untuk bertemu dengan cewek manis itu. Woiii tobat, masak hanya karena melihat cewek manis seperti itu, iman lo jadi runtuh. Sorry ye, di surga masih banyak cewek yang lebih manis. Lagi-lagi malaikat sebelah kanan Alwi mengganggu kesenangannya memikirkan cewek itu. Alwi segera mengusir malaikat surganya itu. Lo, kalau datang di saat yang tepat dong. Gue lagi asyik ni… kapan lagi gue bisa merasakan perasaan senang seperti ini. Sebelum gue keluarin jurus eyes center gue, lo buruan enyah deh dari khayalan gue.
Giliran Alwi kini yang ditanya mengenai penjelasan kode etik jurnalistik. Gila mamen, kok pertanyaannya sulit amit ya. Songong ni ye, mentang-mentang tadi ane nyanjung senior ini terlihat pintar. Sekarang giliran dia mau memamerkan kepintarannya.
Beberapa kali Alwi mengulangi dan memperbaiki isi otak yang akan segera ia lontarkan di hadapan senior berwajah panda China itu. Meski telah beberapa kali diperbaiki. Mustahil dia bisa menyamakan kemampuannya dengan cewek manis itu. Alwi pun mulai menyerah dan mulai berbicara, ditemani dengan keringat dingin yang terus bercucuran di pelipisnya. Jawaban itu meluncur begitu saja. Seperti lancarnya air susu yang sedang di tetek oleh seorang bayi. Setelah selesai menjawab, Alwi  sempat melirik ke arah cewek itu. Dilihatnya cewek itu sedang tersenyum.
Saat Fikar memberikan aba-aba untuk kapan adanya pengumuman kelulusan. Alwi segera merapikan dirinya, bersiap pulang. Sebelum meninggalkan tempat ujian, Alwi pun berkata, “Berkat kamu, aku bisa menempuh ujian dengan lancar. Jika aku tidak bertemu denganmu, mungkin aku masih mengantri di dalam sana.”
“Kita saling membantu, itu saja. Jika kita lulus, maka kita akan dipertemukan lagi, di tempat ini.”
Alwi merasa senang. Namun, dia berusaha menutupi perasaannya dengan memalingkan wajah dan berpura-pura melihat ke tempat lain.
“Aku merasa senang bertemu denganmu, tetapi kelihatannya kamu tidak seperti itu.”
“Bu, bukan itu. Mana mungkin aku tidak senang bertemu denganmu cewek man…” Alwi segera mengakhiri kalimatnya.
Sebelum Alwi berhasil mengatasi saltingnya, temannya cewek itu sudah memanggilnya untuk mengajak pulang. Sebenarnya Alwi masih ingin bersamanya, tetapi dia merasa sungkan, dia pun melambaikan tangannya untuk berpamitan.
“Kalau begitu, hati-hati di jalan.”
Cewek manis itu melambaikan tangannya.
“Sampai jumpa lain hari di tempat sejarah ini.”
Kata-kata terakhirnya yang meyakinkan bahwa mereka akan bertemu lagi membuat Alwi sumringah. Setelah melambaikan tangannya sekali lagi, Alwi pun berbalik dan pergi.
“Cieee, masih pagi sudah punya kecengan,” ujar temannya cewek itu.
“Hehh biasa saja,” respon cewek itu.
“Namanya siapa,” tanya temannya lagi.
“Astaga!”
Cewek itu segera berlari menyusul Alwi. Temannya terkejut dan berlari menyusulnya. Tak berapa jauh, bahu Alwi telah terlihat. Cewek itu segera meraih lengan Alwi. Karena tiba-tiba lengannya dipegang, Alwi hampir saja marah. Mamen, gue ini laki-laki dan elu perempuan, tak pantas kita bersentuhan, elu bukan mahrom gue. Songong dikit ye, gue itu anak pondok asli tidak pake KW, gue itu tidak sudi dipegang oleh cewek meskipun lo berwajah bidadari. Paling tidak kita memiliki jarak 5 km. eh salah ding 5 meter mamen.
“Aku baru ingat,” kata cewek itu dengan nafas terengah-engah.
“Ingat apa…?”
“kita belum berkenalan.”
Setelah berpisah dengannya tadi, Alwi juga memikirkan hal yang sama. Namun, entah kenapa, hijab itu terus mengusiknya sehingga ia menahan diri untuk menyapanya.
“Meskipun kamu memiliki aktivitas penting, aku baru sadar hal itu. Maaf, kelakuanku tadi berlebihan.”
Setelah mencegah dirinya agar tidak mengatakan hal-hal yang tidak berguna, dia pun dengan sopan.
“Namaku Awaliyah, dari jurusan PBI. Sekarang aku tinggal di unires.”
Awaliyah segera menyodorkan telapak tangannya untuk minta berkenalan. Sesaat Alwi merasa ragu. Akhirnya, perasaan Alwi yang dikalahkan oleh logika itu memperkenalkan dirinya. Ia segera menyatukan kedua telapak tangannya mengarah di hadapan wajahnya.
“Namaku Alwi, jurusan Akuntansi.”
Awaliyah yang merasa telapak tangannya tidak disambut olehnya hanya bisa tersenyum pahit dan segera ia tepis tangannya dengan telapak kirinya.
Alwi memperhatikan sosok yang di samping Awaliyah. Awaliyah segera memperkenalkan temannya.
“Oh ya, ini temanku juga…”
“Salam namaku Nana, jurusan HI, tinggal di Unires sama seperti Awaliyah,” ujarnya. Karena mengerti dengan tabiat Alwi, Nana menyalami Alwi dengan kedua telapak tangannya tepat di depan wajahnya.
Setelah berpamitan sambil tersenyum lebar, Alwi pun pergi menghampiri sepedanya. Awaliyah memerhatikan sosoknya. Meskipun terlihat kecil, jika dilihat sekilas, dia adalah cowok yang menarik. Badannya tidak terlalu tinggi, berperawakan kurus, pinggang yang ramping, dan kaki yang kurus.
“Alwi….”
Saat menyebut nama Alwi, bibir Awaliyah seolah terasa penuh dengan aroma wangi yang menyejukkan.
*****
“Asalamualaikum. Salam redaksi. Bagi yang mendapat SMS ini, selamat atas keberhasilan Anda lolos dari interview. Untuk langkah selanjutnya, tolong kumpul di sekre Nuansa besok pukul 15.30. on time!!! Ttd Fikar”
Awaliyah membaca inbox dari ponselnya. Riang gembira karena berhasil masuk bagian dari pers. Babak baru telah dimulai. Babak mimpi bisa saja menjadi nyata. Lalu bagaimanakah dengan Alwi, apakah dia juga lolos? Kenapa dia tiba-tiba langsung memikirkan sosok itu. Jika memang takdir, pastilah mereka akan bertemu.
Bersama Nana, Awaliyah berjalan menyusuri pekarangan kampus menuju sekre, semua peserta yang lulus wawancara dikumpulkan di satu tempat untuk menghadiri silaturahmi. Dari kejauhan ia melihat sosok Alwi. Dia pun duduk berdekatan dengan Alwi, karena Alwi adalah satu-satunya teman yang dikenalinya selain Nana. Melihat sosok Awaliyah di dekatnya, Alwi segera menggeser agak menjauh dari tempat duduk Awaliyah. Ingat mamen, prinsip 5 meter, jarak minimal dari yang bukan muhrim. Alwi pun merasa canggung dan bingung, hanya melihat ke arah selonjoran kaki senior yang di hadapannya, ia memberikan diri berkata, “Maaf….”
Saat matanya dan mata Awaliyah hendak beradu pandang, PU Nuansa segera menyapa mereka dengan penuh semangat.
“Salam Persma! Teman-teman yang berbahagia…..”
Senior itu memperkenalkan dirinya bernama Ahlul. Senior itu tidak terlalu banyak berkata. Hanya berkata seadanya saja, namun kata-katanya langsung menancap jantung setiap orang yang mendengarnya. Syukurlah dia tidak memiliki banyak pembendaharaan kata, jika iya, maka sepertinya kuping itu bagai di panggang dalam open karena pilihan bahasanya yang pedas. Lain Ahlul, lain juga Fikar. Dia memiliki banyak sekali pembendaharaan kata. Jika berkata A, maka ia akan melanjutkan perkataannya sampai Z. Untungnya, bahasanya tidak pedas, saking tidak pedas bahasanya. Terkadang orang akan bingung, inti dari perbincangannya.
Terakhir Ahlul bertanya lagi.
“Apakah kalian siap menjadi bagian dari keluarga Nuansa,” suaranya ini bisa dikategorikan bervolume 50-an.
“Siap….” Jawab yang lain dengan serentak.
Memasuki babak baru, tentunya diselingi dengan tugas baru. Anggota Nuansa yang baru disebut anggota magang. Dari anggota magang dibagi menjadi dua kelompok. Mungkin takdir berkata sama, Alwi satu kelompok dengan Awaliyah, Said, dan Ersa. Sedangkan kelompok lainnya terdiri dari Kiki, Rumantik, Nur Salsa, dan juga Nana. Kelompok tersebut akan membuat redaksi bayangan yang akan dipandu oleh senior. Untuk kelompok pertama akan langsung dipandu oleh Ahlul. Dengan segera ia menyuruh anak buahnya untuk kumpul di ruang redaksi. Karena pemilihan ruangan terbilang sempit. Keempat dari mereka harus duduk berdesakkan. Awaliyah yang duduk di samping Alwi agak ragu untuk menaruh kakiya di lantai. Alwi segera memyempitkan posisi duduknya agar memberikan ruang untuk Awaliyah. Alwi yang tidak terbiasa melanggar prinsip 5 meternya bersikap malu-malu, wajahnya memerah. Kalau ia sudah salting, maka ia akan menarik bawah bajunya.
Sentimental Ahlul mengambil posisi duduk di depan layar komputer. Ia melingkarkan kakinya sembari melipat kedua tangannya di atas perut. Sebelum tangannya beralih posisi di atas perut. Tangan jangkung itu sempat menyisir rambutnya, memastikan apakah rambutnya masih berbentuk zig-zag. Secara kan doi lagi menjajaki perempuan yang siap mendampinginya sampai di surga kelak.
“Dari formulir yang telah saya baca sebelumnya, dan saya telah putuskan posisi kalian masing-masing. Bagi yang bernama Said akan ditempatkan sebagai redaktur pelaksana, Ersa akan menjadi reporter, Awaliyah ditempatkan sebagai editor, dan terakhir Alwi akan ditempatkan sebagai layouter. Jika ada sanggahan segera sampaikan kepada saya.”
Dari mereka sih ada keinginan untuk menyanggah atau pun sekedar bertanya, namun karena melihat wajah ganas sang ketua terlebih menunjuk orang tepat seperti gaya Hitler, tidak mengunakan satu jari namun kelimanya. Membuat mereka tak berani bergeming.
Mereka hanya menundukkan kepala, sembari mengiyakan perkataannya.
“Jika tidak ada yang bertanya, besok sore kalian kumpul lagi di sini. Untuk kalian semua, besok sore serahkan artikel untuk mengisi rubrik buletin. Khusus untuk Ersa, kamu kumpulkan 3 berita sekaligus dan besok sore serahkan ke saya. Kamu bukan anak kecil lagi kan, yang harus dibimbing mencari tugas segampang itu? sedangkan untuk yang lainnya saya arahkan bagaimana cara editing dan nge-layout.”
Alwi hanya menganggukkan kepala. Entah ia akan memenuhi permintannya atau justru mengabaikannya. Yang jelas, perintah itu sudah memenuhi kuping kirinya. Selesai mendengarkan perintah itu, Alwi segera keluar mencari tong sampah di depan sekre. Tanpa pikir panjang, ia menepuk-nepuk kuping kanannya. Hendak membuang isi pendengarannya di telinga kiri.
Seperti yang sudah disepakati sebelumnya. Anak magang sudah terlihat berkumpul di sekre. Ada yang berbeda dengan penampilan Alwi sekarang ini, karena tiba-tiba saja dia memakai kaca mata. Baru sadar ternyata mata doi minus. Semua pada protes dengan penampilan baru Alwi,tak terkecuali Awaliyah. Menurut Awaliyah, saat Alwi memakai kaca matanya. Awaliyah merasa usianya bertambah dua puluh tahun. Seperti lansia yang segar bugar. Tetapi bukankah doi tetap menjadi eyes center bukan?
Setelah mendapat pengarahan dari Ahlul. Ersa memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Ahlul dan Said memutuskan untuk mengobrol saja, seputar kepemimpinan. Sedangkan Alwi masih sibuk dengan aktivitasnya mencari bacaan enak di rak buku. Setelah mendapat buku yang diinginkan, pelan-pelan ia duduk di depan rak, membelakangi posisi Ahlul.
Alwi membuka buku dan meletakkannya di hadapannya. Saat membaca, dia mencuri pandang ke arah Awaliyah yang sedang serius berkutat dengan laptopnya. Dia teringat saat pertama kali melihat wajah manis Awaliyah, lalu dia pun tersenyum. Dia mencari-cari bagian mana yang paling menarik dari Awaliyah. Matanya? Bukan. Apa bola matanya? Atau mata pandanya yang selalu menampilkan kantung mata saat tersenyum? Bukan, tepi hidungnya? Bukan juga, karena dia pesek. Berarti bibirnya yang kemerahan. Betul, bibir manisnya, bibir yang ranum dan tipis.
“Kak Ahlul, jika kalimatnya seperti ini…..” Awaliyah menggantungkan kata-katanya saat menyadari Alwi memerhatikannya. Diabaikannya lagi tatapan itu dan melanjutkan petanyaannya.
“Aku gak jadi tanya. Sepertinya aku sudah menemukan jawabannya.”
Awaliyah kembali menunduk menghadap ke laptopnya. Pikirannya sudah tidak konsen lagi. Cewek itu hanya duduk terpaku sambil bertopang dagu mengingat kembali tatapan mata itu. Merasa hawa panas yang tiba-tiba merasuk ke tubuhnya, Awaliyah izin ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, akhirnya ia bisa leluasa menceritakan kepada bayangannya, kejadian apa yang telah ia alami tadi.
“Apakah dia benar menatap wajahku? Aku yakin dia memang menatap wajahku? Lalu kenapa dia menatapku?” pertanyaan itu bertubi-tubi muncul. Ia berkali-kali membasuh wajahnya, menepuk-nepuk pipinya agar ia tersadar dari mata teduh cowok itu. Mungkin itu hanya kebetulan saja. Jangan sampai ia merasa GR.
Awaliyah duduk dan kembali melanjutkan aktivitasnya. Awaliyah menyadari tatapan itu lgi-lagi tertuju pada dirinya. Wajahnya semakin merona, sambil menarik bahunya, dia kembali membaca layar laptopnya. Alwi pun kembali membaca buku. Lalu, tiba-tiba saja Awaliyah tertuju kepada Alwi. Rambutnya menyapu awan terbawa oleh arus kipas angin, kulitnya yang putih tampak mempesona. Cowok itu tampan. Apa sebenarnya yang membuat ia tampan. Apakah itu karena kulitnya yang terang? Atau, apa karena tepi hidungnya yang menjulang rapi? Kalau bukan keduanya, apakah karena matanya. Tatapan matanya yang membuat para wanita tak sanggup memandangnya terlalu lama, karena mata ituterlalu mempesona. Tanpa disadarinyaAwaliyah yang terpaku menatap Alwi, tiba-tiba bertemu pandang dengannya, lalu dengan kebingunan, dia segera mengeluarkan suara.
“Apakah kamu sedang mencari kemiripan wajahku dengan wajahmu?”
Awaliyah tersentak kaget. Dia menyembunyikan wajahnya yang merona dengan mengalihkan pandangannya ke laptop, sambil berdalih, “Ak, aku hanya ingin melihat buku apa yang kamu baca,”
“Baiklah, bagaimana tulisannya. Sudah selesai di editnya?”
Awaliyah hanya geleng-geleng kepala. “Tulisannya sulit dimaknai secara benar.”
“Haha kan ini perdana mamen.”
“Tumben sekali kamu tertawa?”
“Memang selama ini aku tidak pernah tertawa?”
“Tanyakan saja pada dirimu sendiri.”
Menyadari ada perbincangan asyik di belakang punggungnya, Said membalikkan badannya sambil mengukir senyum. Memperlihatkan gigi putihnya. Sumpah doi gak berniat ngiklanin pasta gigi lo.
‘Ternyata di balik punggungku, ada yang asyik berdiskusi.”
“Diskusi antara editor dengan layouter sudah biasa bukan,” sanggah Awaliyah.
“Memang benar kalian itu ada something wrong deh. Di balik punggung aku kalian terlihat sangat akrab. Begitu pula di balik layar dunia nyata alias dunia maya, kalian selalu kompak. Di mana ada Awaliyah di situ pula ada Alwi. Sudah, mengaku saja kalau di antara kalian memang ada rasa itu tuh…” meskipun perkataan Said benar adanya. Namun, suaranya yang gagap terlebih karena cekikinnya lebih banyak dari pada omongannya membuat orang yang di ruangan hanya bisa tertawa. Jeli dengan perkataan Said tadi, membuat kedua aktor menunduk dan melanjutkan aktivitasnya seperti semula.

To be continued


Click here to continue

Tidak ada komentar:

Posting Komentar