Hari
ini adalah tahap wawancara untuk bisa memasuki organisasi Nuansa. Sudah separuh
bulan Februari berlalu, tapi cuaca tak menentu masih terus berlanjut. Terkadang
panasnya merajalela, terkadang juga air turun dengan amat ganasnya. Semalam
bintang kejora terlihat amat jelas, menandakan bahwa hari ini sepertinya tidak
ada kemungkinan turun hujan.
Pada
saat itu Alwi sudah memprediksikan bahwa cuaca akan sangat panas, maka ia terus
mengayuh sepedanya lebih laju lagi. Dia tidak merasa keberatan dengan teriknya
matahari dan keadaan lainnya. Ia sadar bahwa dia tidak punya banyak waktu untuk
memikirkan hal-hal seperti itu. Dia terlalu sibuk menyiapkan jawaban apa yang
akan terlontar dari mulutnya saat dia diwawancara.
Saat
perlahan-lahan hari sudah mulai semakin terang. Alwi pun tiba di depan SC,
memerhatikan orang yang berlalu-lalang di hadapannya. Tempat itu benar-benar
ramai. Dia berjalan menaiki tangga. Pertama-tama ia melihat orang yang
berkerumunan. Dia melihat banyak sekali orang yang berdesakkan untuk
diwawancara. Baru kali ini bisa melihat perempuan yang jaraknya agak berdekatan
dengan para lelaki. Sebelumnya selama 6 tahun dia hanya bisa melihat perempuan
saat dia sedang libur sekolah. Itu pun yang seringkali ia lihat hanyalah ibu dan
adik perempuannya. Tetapi sekarang dia benar-benar bisa melihat perempuan
dengan berbagai bentuk yang berdesak-desakkan meskipun dengan lawan jenisnya.
Alwi
jelas agak menjaga jarak dengan mereka. Jangankan untuk berdesakkan dengan
cewek, untuk sekedar melihat cewek saja doi sudah cukup bertobat. Namun, kini
posisinya berbeda. Di belakang banyak orang menjejalkan diri ke depan pintu,
membuatnya sempat terpeleset saat menghindari kerumunan orang. Dia pun sempat
mendengar obrolan orang-orang yang ada di sekitarnya dengan seksama. Di antara
obrolan itu, ada yang membicarakan tentang seputar pertanyaan saat wawancara.
Ada juga yang membicarakan tentang kepopuleran nuansa.
“Kayaknya
Nuansa saat ini lagi naik daun ya?”
“Ahh
semoga aku lolos…”
“Aku
sudah lama menanti adanya wadah yang bisa meyalurkan minatku di bidang
menulis….”
Masih
banyak lagi pernyataan-pernyataan yang sanggup tertampung di telinga Alwi.
Ketika mendengarkan banyak kalimat
harapan, pintu sekre Nuansa sudah mulai terbuka dan kerumunan orang pun mulai menyerbu
masuk dari berbagai arah. Dari arah
belakang, orang-orang memaksa masuk, agar mereka bisa terlebih dahulu
diwawancara. Desakkan itu membuat nafas semakin sesak. Agar terhindar dari
fitnah, dia berusaha untuk tidak berpegangan pada pundak lawan jenis. Badannya
terhuyung karena tersandung kaki seseorang. Tanpa terasa gelombang kerumunan
itu berangsur tenang berkat bantuan orang yang tidak dikenal. Dan, dia pun
menyadari bahwa tas-nya sudah dipegang orang lain saat menyeretnya keluar dari rumunan
itu. Karena berpikir untuk berterimakasih doi segera membalikkan wajahnya
menghadap orang yang menolongnya.
Tahukah,
yang menolong doi bukan pria berbadan seperti Samson, melainkan cewek. Sejenak
Alwi terkesima dengan cewek itu. Sadar akan posisinya sebagai cowok tulen. Alwi
pun berusaha bersikap biasa saja.
“Aku
memang tidak melihat bulu. Karena aku telah diselamatkan olehmu. Untuk itu aku
ucapkan terima kasih,” ucap Alwi pada akhirnya.
“Tidak
perlu berterimakasih,” sambil cengengesan cewek itu tidak berkata apa-apa lagi.
Dalam keadaan kacau seperti itu, dia masih tetap memegang tas Alwi.
“Aku
sudah baik-baik saja sekarang. Jadi bisakah kamu melepaskan tasku.”
Tubuhnya
gemetaran saat pertama kalinya seorang cewek. Yahh yang menurut doi lumayan kece
sepeti dia, bisa berkelakuan seagresif itu.
“Owh
maaf, aku hanya sedang memikirkan bagaimana kita bisa dengan segera masuk ke
ruangan, tanpa harus rebutan dengan setumpuk orang di sana.”
Cewek
itu mengeluarkan sesuatu dari kantung tas-nya. Dia menyodorkan id-card di hadapan Alwi.
“Pakailah
ini, aku juga akan memakainya. Setelah kita memakainya, maka kita bisa masuk
dengan leluasa,” ajaknya. Cewek itu kembali membimbing Alwi dengan menggenggam
tas-nya. Keringat dingin terus menjalari tubuh Alwi.
“Maaf,
bisakah kamu melepaskan tas-ku. Aku bisa berjalan di belakang punggungmu.”
Perlahan
cewek itu memperhatikan sosok Alwi dengan kernyitan di dahinya. Sok banget ni laki, tampang sih kece tapi
kelakuannya ngece. Tidak terlalu mau berdebat dengan hal yang tidak
penting, cewek itu hanya tersenyum lalu kembali berjalan.
Terbukti
apa yang dikatakan cewek itu. Setelah orang-orang itu melihat id-card mereka,
satu persatu orang-orang itu membuka jalan bagi keduanya.
Di
tempat wawancara seramai itu, karena terlena mendengarkan obrolan orang-orang, Alwi
tidak sempat mengenal siapa yang menolongnya tadi. Gadis dengan kemampuan
mengukir senyumnya yang indah.
Mereka
sampai pada ruangan tempat wawancara. Hanya menunggu dua orang saja, maka mereka
akan langsung bisa diwawancarai. Syukurlah.
“Kamu
terlihat sangat kaku. Apa ini adalah kali pertama kamu melihat cewek sedekat
ini?
Alwi
tersentak kaget saat mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu. Suara cewek itu
terdengar merdu. Mendengar suaranya seperti tengah mendengar riak air sungai pada
saat langit menyelimuti matahari. Menyeramkan
dong…
“Oh,
ya. Benar.” Doi lagi salting ni.
Bener-bener songong ni ye
“Senang
bertemu denganmu. Sepertinya kamu berasal…”
“Senang
bertemu denganmu juga,” jawab Alwi cepat-cepat.
Doi
gak mau dong kelihatan salting di depan cewek. Men… ini pertama kalinya aku berani mengobrol dengan cewek. Coba dari
dulu aku bisa mengobrol sedekat ini. Astagfirullah sadar men, lo laki-laki yang
ingin mencari kebahagiaan di akhirat. Kalau sampai elu tidak menundukkan
pandangan lo, maka setan akan segera menyerambat masuk dalam diri lo.
Alwi
pun menata hatinya dan berusaha menunduk. Diam-diam sekali lagi kepalanya
melihat ke arah cewek manis itu. Dia tersenyum saat melihat wajah cewek itu
sebelum dia memutuskan untuk menunduk kembali.
Salah
satu dari senior Nuansa menunjuk Alwi, cewek itu, dan 3 peserta lainnya untuk
mengikuti ke arah dia berjalan. Nampak senior yang berdasarkan pendengaran Alwi
itu bernama Fikar. Wajahnya bulat dan berkulit putih. Jika dia tidak berwajah
seperti anak kecil, Alwi sudah beranggapan bahwa ia adalah seorang dosen karena
penampilannya yang gak update. Pakaian terlihat formal. Memakai kemeja bergaris
vertikal, celana kain longgar, dan sepatu kulit berwarna cokelat. Wajahnya yang
luwes nampak sekali bahwa orangnya pintar.
Peserta
diajak keluar ruangan. Agar terhindar dari sengatan matahari mereka berlindung dari
pohon. Senior itu menatap langit dan tersenyum. Tempat itu adalah tempat bagus
karena langit tidak terlihat. Pohon di samping gedung SC tidak terlalu lebat,
sedangkan pohon menuju Fakultas Kedokteran itu berdaun lebat. Mereka akan
terlindungi dari sengat matahari pada saat tengah hari.
Cewek
manis itu dan Alwi saling berpandangan. Cewek itu memperhatikan bulu matanya
yang lentik dan bola matanya yang bersinar terang. Saat berdiri berhadapan seperti
itu, diperhatikannya hidung lancip itu, hidungnya yang sebelah kiri lebih ke
atas dari pada yang di sebelah kanan, hampir sama dengan ukiran hidung artis
terkemuka Fedi Nuril, bibirnya yang tebal, wajah oval kecilnya yang tampak
bersih oleh air wudhu. Merasa dipandangi seperti itu, Alwi segera menoleh
pandangannya ke arah lain.
Dalam
waktu singkat cewek itu sudah menemukan jawaban bahwa Alwi berasal dari pondok
pesantren, dan tidak pernah bersentuhan dengan asmara. Jangankan untuk beradu
kasih, untuk sekedar ngobrol dengan dirinya saja dia sudah salting. Walaupun
pakain yang dikenakannya tidak seleluasa pakaian akhi-akhi penghuni surga, dengan
janggut yang sengaja ditumbuhkan, jika dilihat dari latar belakang pondok,
pakaian yang dipakai Alwi dibilang biasa saja. Cewek itu bisa merasakan ada
kedekatan dengan Alwi.
“Ini
memang pertama kalinya bagiku untuk bisa dengan leluasa berbaur dengan cewek.
Maafkan aku kalau ada sikapku yang kurang berkenaan. Aku berhutang budi
padamu,” aku Alwi.
Akhirnya
wawancara pun dimulai. Para peserta mulai berbaris dengan rapi. Saat Fikar
berjalan satu persatu ke arah peserta. Ia dengan enteng menunjuk peserta tanpa
melihat identitas masing-masing.
“Kamu…
coba jawab, apa saja yang kamu ketahui tentang dunia pers?” tanya Fikar
langsung menunjuk cewek manis itu.
Tidak
terlalu banyak berpikir, cewek itu langsung menjawab dengan bahasa yang lentur
dan benar sehingga membuat orang di sekitarnya terkagum. Isi dari jawaban cewek
itu singkat dan padat, disampaikan secara logis hingga usai ia berbicara,
membuat Alwi beranggapan bahwa cewek itu memiliki pengetahuan yang luas.
Analisanya berbeda jauh dengan apa yang di otak Alwi, bisa dikatakan seperti
Venus dan Mars. Sekujur tubuh Alwi sangat lemas. Dia berdiri dengan gelisah
setelah mengetahui saingannya sangat pintar. Semoga saja ada sebersit harapan,
dirinya lolos ujian. Meskipun nilainya di paling ujung. Tak apalah. Yang
penting bisa masuk Nuansa dan bisa lebih banyak waktu untuk bertemu dengan
cewek manis itu. Woiii tobat, masak hanya
karena melihat cewek manis seperti itu, iman lo jadi runtuh. Sorry ye, di surga
masih banyak cewek yang lebih manis. Lagi-lagi malaikat sebelah kanan Alwi
mengganggu kesenangannya memikirkan cewek itu. Alwi segera mengusir malaikat
surganya itu. Lo, kalau datang di saat
yang tepat dong. Gue lagi asyik ni… kapan lagi gue bisa merasakan perasaan
senang seperti ini. Sebelum gue keluarin jurus eyes center gue, lo buruan enyah
deh dari khayalan gue.
Giliran
Alwi kini yang ditanya mengenai penjelasan kode etik jurnalistik. Gila mamen, kok pertanyaannya sulit amit ya.
Songong ni ye, mentang-mentang tadi ane nyanjung senior ini terlihat pintar.
Sekarang giliran dia mau memamerkan kepintarannya.
Beberapa
kali Alwi mengulangi dan memperbaiki isi otak yang akan segera ia lontarkan di
hadapan senior berwajah panda China itu. Meski telah beberapa kali diperbaiki.
Mustahil dia bisa menyamakan kemampuannya dengan cewek manis itu. Alwi pun
mulai menyerah dan mulai berbicara, ditemani dengan keringat dingin yang terus
bercucuran di pelipisnya. Jawaban itu meluncur begitu saja. Seperti lancarnya
air susu yang sedang di tetek oleh seorang bayi. Setelah selesai menjawab,
Alwi sempat melirik ke arah cewek itu.
Dilihatnya cewek itu sedang tersenyum.
Saat
Fikar memberikan aba-aba untuk kapan adanya pengumuman kelulusan. Alwi segera
merapikan dirinya, bersiap pulang. Sebelum meninggalkan tempat ujian, Alwi pun
berkata, “Berkat kamu, aku bisa menempuh ujian dengan lancar. Jika aku tidak
bertemu denganmu, mungkin aku masih mengantri di dalam sana.”
“Kita
saling membantu, itu saja. Jika kita lulus, maka kita akan dipertemukan lagi,
di tempat ini.”
Alwi
merasa senang. Namun, dia berusaha menutupi perasaannya dengan memalingkan
wajah dan berpura-pura melihat ke tempat lain.
“Aku
merasa senang bertemu denganmu, tetapi kelihatannya kamu tidak seperti itu.”
“Bu,
bukan itu. Mana mungkin aku tidak senang bertemu denganmu cewek man…” Alwi
segera mengakhiri kalimatnya.
Sebelum
Alwi berhasil mengatasi saltingnya, temannya cewek itu sudah memanggilnya untuk
mengajak pulang. Sebenarnya Alwi masih ingin bersamanya, tetapi dia merasa
sungkan, dia pun melambaikan tangannya untuk berpamitan.
“Kalau
begitu, hati-hati di jalan.”
Cewek
manis itu melambaikan tangannya.
“Sampai
jumpa lain hari di tempat sejarah ini.”
Kata-kata
terakhirnya yang meyakinkan bahwa mereka akan bertemu lagi membuat Alwi
sumringah. Setelah melambaikan tangannya sekali lagi, Alwi pun berbalik dan
pergi.
“Cieee,
masih pagi sudah punya kecengan,” ujar temannya cewek itu.
“Hehh
biasa saja,” respon cewek itu.
“Namanya
siapa,” tanya temannya lagi.
“Astaga!”
Cewek
itu segera berlari menyusul Alwi. Temannya terkejut dan berlari menyusulnya.
Tak berapa jauh, bahu Alwi telah terlihat. Cewek itu segera meraih lengan Alwi.
Karena tiba-tiba lengannya dipegang, Alwi hampir saja marah. Mamen, gue ini laki-laki dan elu perempuan,
tak pantas kita bersentuhan, elu bukan mahrom gue. Songong dikit ye, gue itu
anak pondok asli tidak pake KW, gue itu tidak sudi dipegang oleh cewek meskipun
lo berwajah bidadari. Paling tidak kita memiliki jarak 5 km. eh salah ding 5
meter mamen.
“Aku
baru ingat,” kata cewek itu dengan nafas terengah-engah.
“Ingat
apa…?”
“kita
belum berkenalan.”
Setelah
berpisah dengannya tadi, Alwi juga memikirkan hal yang sama. Namun, entah
kenapa, hijab itu terus mengusiknya sehingga ia menahan diri untuk menyapanya.
“Meskipun
kamu memiliki aktivitas penting, aku baru sadar hal itu. Maaf, kelakuanku tadi
berlebihan.”
Setelah
mencegah dirinya agar tidak mengatakan hal-hal yang tidak berguna, dia pun
dengan sopan.
“Namaku
Awaliyah, dari jurusan PBI. Sekarang aku tinggal di unires.”
Awaliyah
segera menyodorkan telapak tangannya untuk minta berkenalan. Sesaat Alwi merasa
ragu. Akhirnya, perasaan Alwi yang dikalahkan oleh logika itu memperkenalkan
dirinya. Ia segera menyatukan kedua telapak tangannya mengarah di hadapan
wajahnya.
“Namaku
Alwi, jurusan Akuntansi.”
Awaliyah
yang merasa telapak tangannya tidak disambut olehnya hanya bisa tersenyum pahit
dan segera ia tepis tangannya dengan telapak kirinya.
Alwi
memperhatikan sosok yang di samping Awaliyah. Awaliyah segera memperkenalkan
temannya.
“Oh
ya, ini temanku juga…”
“Salam
namaku Nana, jurusan HI, tinggal di Unires sama seperti Awaliyah,” ujarnya.
Karena mengerti dengan tabiat Alwi, Nana menyalami Alwi dengan kedua telapak
tangannya tepat di depan wajahnya.
Setelah
berpamitan sambil tersenyum lebar, Alwi pun pergi menghampiri sepedanya.
Awaliyah memerhatikan sosoknya. Meskipun terlihat kecil, jika dilihat sekilas,
dia adalah cowok yang menarik. Badannya tidak terlalu tinggi, berperawakan
kurus, pinggang yang ramping, dan kaki yang kurus.
“Alwi….”
Saat
menyebut nama Alwi, bibir Awaliyah seolah terasa penuh dengan aroma wangi yang
menyejukkan.
*****
“Asalamualaikum. Salam redaksi.
Bagi yang mendapat SMS ini, selamat atas keberhasilan Anda lolos dari
interview. Untuk langkah selanjutnya, tolong kumpul di sekre Nuansa besok pukul
15.30. on time!!! Ttd Fikar”
Awaliyah
membaca inbox dari ponselnya. Riang gembira karena berhasil masuk bagian dari
pers. Babak baru telah dimulai. Babak mimpi bisa saja menjadi nyata. Lalu
bagaimanakah dengan Alwi, apakah dia juga lolos? Kenapa dia tiba-tiba langsung
memikirkan sosok itu. Jika memang takdir, pastilah mereka akan bertemu.
Bersama
Nana, Awaliyah berjalan menyusuri pekarangan kampus menuju sekre, semua peserta
yang lulus wawancara dikumpulkan di satu tempat untuk menghadiri silaturahmi.
Dari kejauhan ia melihat sosok Alwi. Dia pun duduk berdekatan dengan Alwi,
karena Alwi adalah satu-satunya teman yang dikenalinya selain Nana. Melihat
sosok Awaliyah di dekatnya, Alwi segera menggeser agak menjauh dari tempat
duduk Awaliyah. Ingat mamen, prinsip 5
meter, jarak minimal dari yang bukan muhrim. Alwi pun merasa canggung dan
bingung, hanya melihat ke arah selonjoran kaki senior yang di hadapannya, ia
memberikan diri berkata, “Maaf….”
Saat
matanya dan mata Awaliyah hendak beradu pandang, PU Nuansa segera menyapa
mereka dengan penuh semangat.
“Salam
Persma! Teman-teman yang berbahagia…..”
Senior
itu memperkenalkan dirinya bernama Ahlul. Senior itu tidak terlalu banyak
berkata. Hanya berkata seadanya saja, namun kata-katanya langsung menancap
jantung setiap orang yang mendengarnya. Syukurlah dia tidak memiliki banyak
pembendaharaan kata, jika iya, maka sepertinya kuping itu bagai di panggang
dalam open karena pilihan bahasanya yang pedas. Lain Ahlul, lain juga Fikar.
Dia memiliki banyak sekali pembendaharaan kata. Jika berkata A, maka ia akan
melanjutkan perkataannya sampai Z. Untungnya, bahasanya tidak pedas, saking
tidak pedas bahasanya. Terkadang orang akan bingung, inti dari perbincangannya.
Terakhir
Ahlul bertanya lagi.
“Apakah
kalian siap menjadi bagian dari keluarga Nuansa,” suaranya ini bisa
dikategorikan bervolume 50-an.
“Siap….”
Jawab yang lain dengan serentak.
Memasuki
babak baru, tentunya diselingi dengan tugas baru. Anggota Nuansa yang baru
disebut anggota magang. Dari anggota magang dibagi menjadi dua kelompok.
Mungkin takdir berkata sama, Alwi satu kelompok dengan Awaliyah, Said, dan
Ersa. Sedangkan kelompok lainnya terdiri dari Kiki, Rumantik, Nur Salsa, dan
juga Nana. Kelompok tersebut akan membuat redaksi bayangan yang akan dipandu
oleh senior. Untuk kelompok pertama akan langsung dipandu oleh Ahlul. Dengan
segera ia menyuruh anak buahnya untuk kumpul di ruang redaksi. Karena pemilihan
ruangan terbilang sempit. Keempat dari mereka harus duduk berdesakkan. Awaliyah
yang duduk di samping Alwi agak ragu untuk menaruh kakiya di lantai. Alwi
segera memyempitkan posisi duduknya agar memberikan ruang untuk Awaliyah. Alwi
yang tidak terbiasa melanggar prinsip 5 meternya bersikap malu-malu, wajahnya
memerah. Kalau ia sudah salting, maka ia akan menarik bawah bajunya.
Sentimental
Ahlul mengambil posisi duduk di depan layar komputer. Ia melingkarkan kakinya
sembari melipat kedua tangannya di atas perut. Sebelum tangannya beralih posisi
di atas perut. Tangan jangkung itu sempat menyisir rambutnya, memastikan apakah
rambutnya masih berbentuk zig-zag. Secara kan doi lagi menjajaki perempuan yang
siap mendampinginya sampai di surga kelak.
“Dari
formulir yang telah saya baca sebelumnya, dan saya telah putuskan posisi kalian
masing-masing. Bagi yang bernama Said akan ditempatkan sebagai redaktur
pelaksana, Ersa akan menjadi reporter, Awaliyah ditempatkan sebagai editor, dan
terakhir Alwi akan ditempatkan sebagai layouter. Jika ada sanggahan segera
sampaikan kepada saya.”
Dari
mereka sih ada keinginan untuk menyanggah atau pun sekedar bertanya, namun
karena melihat wajah ganas sang ketua terlebih menunjuk orang tepat seperti
gaya Hitler, tidak mengunakan satu jari namun kelimanya. Membuat mereka tak
berani bergeming.
Mereka
hanya menundukkan kepala, sembari mengiyakan perkataannya.
“Jika
tidak ada yang bertanya, besok sore kalian kumpul lagi di sini. Untuk kalian
semua, besok sore serahkan artikel untuk mengisi rubrik buletin. Khusus untuk
Ersa, kamu kumpulkan 3 berita sekaligus dan besok sore serahkan ke saya. Kamu
bukan anak kecil lagi kan, yang harus dibimbing mencari tugas segampang itu? sedangkan
untuk yang lainnya saya arahkan bagaimana cara editing dan nge-layout.”
Alwi
hanya menganggukkan kepala. Entah ia akan memenuhi permintannya atau justru
mengabaikannya. Yang jelas, perintah itu sudah memenuhi kuping kirinya. Selesai
mendengarkan perintah itu, Alwi segera keluar mencari tong sampah di depan
sekre. Tanpa pikir panjang, ia menepuk-nepuk kuping kanannya. Hendak membuang
isi pendengarannya di telinga kiri.
Seperti
yang sudah disepakati sebelumnya. Anak magang sudah terlihat berkumpul di
sekre. Ada yang berbeda dengan penampilan Alwi sekarang ini, karena tiba-tiba
saja dia memakai kaca mata. Baru sadar ternyata mata doi minus. Semua pada
protes dengan penampilan baru Alwi,tak terkecuali Awaliyah. Menurut Awaliyah,
saat Alwi memakai kaca matanya. Awaliyah merasa usianya bertambah dua puluh
tahun. Seperti lansia yang segar bugar. Tetapi bukankah doi tetap menjadi eyes center bukan?
Setelah
mendapat pengarahan dari Ahlul. Ersa memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Ahlul
dan Said memutuskan untuk mengobrol saja, seputar kepemimpinan. Sedangkan Alwi
masih sibuk dengan aktivitasnya mencari bacaan enak di rak buku. Setelah
mendapat buku yang diinginkan, pelan-pelan ia duduk di depan rak, membelakangi
posisi Ahlul.
Alwi
membuka buku dan meletakkannya di hadapannya. Saat membaca, dia mencuri pandang
ke arah Awaliyah yang sedang serius berkutat dengan laptopnya. Dia teringat
saat pertama kali melihat wajah manis Awaliyah, lalu dia pun tersenyum. Dia
mencari-cari bagian mana yang paling menarik dari Awaliyah. Matanya? Bukan. Apa
bola matanya? Atau mata pandanya yang selalu menampilkan kantung mata saat
tersenyum? Bukan, tepi hidungnya? Bukan juga, karena dia pesek. Berarti
bibirnya yang kemerahan. Betul, bibir manisnya, bibir yang ranum dan tipis.
“Kak
Ahlul, jika kalimatnya seperti ini…..” Awaliyah menggantungkan kata-katanya
saat menyadari Alwi memerhatikannya. Diabaikannya lagi tatapan itu dan
melanjutkan petanyaannya.
“Aku
gak jadi tanya. Sepertinya aku sudah menemukan jawabannya.”
Awaliyah
kembali menunduk menghadap ke laptopnya. Pikirannya sudah tidak konsen lagi.
Cewek itu hanya duduk terpaku sambil bertopang dagu mengingat kembali tatapan
mata itu. Merasa hawa panas yang tiba-tiba merasuk ke tubuhnya, Awaliyah izin
ke kamar mandi.
Di
dalam kamar mandi, akhirnya ia bisa leluasa menceritakan kepada bayangannya,
kejadian apa yang telah ia alami tadi.
“Apakah
dia benar menatap wajahku? Aku yakin dia memang menatap wajahku? Lalu kenapa
dia menatapku?” pertanyaan itu bertubi-tubi muncul. Ia berkali-kali membasuh
wajahnya, menepuk-nepuk pipinya agar ia tersadar dari mata teduh cowok itu.
Mungkin itu hanya kebetulan saja. Jangan sampai ia merasa GR.
Awaliyah
duduk dan kembali melanjutkan aktivitasnya. Awaliyah menyadari tatapan itu
lgi-lagi tertuju pada dirinya. Wajahnya semakin merona, sambil menarik bahunya,
dia kembali membaca layar laptopnya. Alwi pun kembali membaca buku. Lalu,
tiba-tiba saja Awaliyah tertuju kepada Alwi. Rambutnya menyapu awan terbawa
oleh arus kipas angin, kulitnya yang putih tampak mempesona. Cowok itu tampan.
Apa sebenarnya yang membuat ia tampan. Apakah itu karena kulitnya yang terang?
Atau, apa karena tepi hidungnya yang menjulang rapi? Kalau bukan keduanya,
apakah karena matanya. Tatapan matanya yang membuat para wanita tak sanggup
memandangnya terlalu lama, karena mata ituterlalu mempesona. Tanpa
disadarinyaAwaliyah yang terpaku menatap Alwi, tiba-tiba bertemu pandang
dengannya, lalu dengan kebingunan, dia segera mengeluarkan suara.
“Apakah
kamu sedang mencari kemiripan wajahku dengan wajahmu?”
Awaliyah
tersentak kaget. Dia menyembunyikan wajahnya yang merona dengan mengalihkan
pandangannya ke laptop, sambil berdalih, “Ak, aku hanya ingin melihat buku apa
yang kamu baca,”
“Baiklah,
bagaimana tulisannya. Sudah selesai di editnya?”
Awaliyah
hanya geleng-geleng kepala. “Tulisannya sulit dimaknai secara benar.”
“Haha
kan ini perdana mamen.”
“Tumben
sekali kamu tertawa?”
“Memang
selama ini aku tidak pernah tertawa?”
“Tanyakan
saja pada dirimu sendiri.”
Menyadari
ada perbincangan asyik di belakang punggungnya, Said membalikkan badannya
sambil mengukir senyum. Memperlihatkan gigi putihnya. Sumpah doi gak berniat
ngiklanin pasta gigi lo.
‘Ternyata
di balik punggungku, ada yang asyik berdiskusi.”
“Diskusi
antara editor dengan layouter sudah biasa bukan,” sanggah Awaliyah.
“Memang
benar kalian itu ada something wrong deh.
Di balik punggung aku kalian terlihat sangat akrab. Begitu pula di balik layar
dunia nyata alias dunia maya, kalian selalu kompak. Di mana ada Awaliyah di
situ pula ada Alwi. Sudah, mengaku saja kalau di antara kalian memang ada rasa
itu tuh…” meskipun perkataan Said benar adanya. Namun, suaranya yang gagap
terlebih karena cekikinnya lebih banyak dari pada omongannya membuat orang yang
di ruangan hanya bisa tertawa. Jeli dengan perkataan Said tadi, membuat kedua
aktor menunduk dan melanjutkan aktivitasnya seperti semula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar