Kamis, 29 September 2016

Because The Star is Exist on You




Di usia saya yang sudah tidak lagi receh dan tidak lagi dijuluki cabe2an di situ saya juga akan terus berucap thanks God I am alive. Alhamdulillah saya masih dikasih sumbangan oksigen di usia twentysomething ini. Sebagai wanita yang telah dua kali merasakan kelulusan universitas tentu bukanlah hal yang mudah ya. Habis waktu dipikul tidak dinikmati (mungkin). Sebentar… saya kecangkan volume MP3 saya dulu kebetulan HP nya lagi muterin soundtrack Iss Pyar Ko Kya Naam Doon Ek Baar Phir lagu favorit saya saat ini.
Saya lanjutkan menulisnya. Revolusi perabadan tentu memiliki tantangan sendiri setiap eranya. Saya akan menceritakan sedikit saja tantangan yang pernah dialami sesuai era individu. Sekilas saat saya melihat anak kecil menangis meminta permen kepada ibunya, tangisan anak kecil itu dikencangkan apabila benda yang diinginkan tak jua berada di tangannya, seolah anak itu adalah yang tersengsara di dunia. Tangisan anak itu akan berhenti saat sudah menikmati permen di mulutnya dan si anak akan berubah menjadi yang terlucu di dunia. Masalah anak kecil itu sudah selesai saat itu juga. Kita berlanjut ke era EsDe anak-anak akan memiliki masalah tersulit dalam hidupnya saat mendapatkan tugas matematika. Melihat buku itu saja sudah merinding. Kemudian masalah itu akan teratasi jika pelajaran itu sudah berlalu. Entah dilalui dengan mengerjakan soal Matematika secara mandiri, atau mencontek teman sebelah, atau tidak menyentuhnya sama sekali. Itu urusan siswa dengan guru ya, yang jelas masalah itu terselesaikan bukan?
Di era SMP justru beda lagi, saat di mana bentuk tubuh sudah mulai banyak perubahan. Ini khusus perempuan ya dan khusus penulis. Hal yang paling ditakutkan oleh saya saat masih MTs (dulu waktu SMP saya sekolah di Madrasah Tsanawiyah) adalah saat lagi haid lalu darahnya menyebar hingga rok saya. Aduh saya malu sekali diliatin siswa lain. di situ dengan remot kontrol otomatis siswa cowok akan mengejek saya sebagai orang yang sudah baligh. Saat itu juga saya menangis sejadi-jadinya. Ada siksaan mental yang saya alami berkat bully-an tersebut, sempat saya tidak mau datang ke sekolah lagi. Perlahan-perlahan kasus itu memudar. Masalah itu memang tidak terselesaikan dengan baik tapi cukup dilupakan saja, anggap saja angin telah berlalu. Senyum terukirpun bisa didapatkan setelah dua hari kejadian dan saya sudah berdamai dengan mereka termasuk menjadikan teman yang membully saya menjadi sohib.
Beralih ke jaman SMA ya. Ini jaman saya lagi bandel-bandelnya. Bayangkan saja beasiswa saya sampai dicabut hanya karena banyak melakukan kesalahan. Bolak-balik ruang konseling. Bahkan tidak pernah sekalipun mendapat peringkat di sekolah. Pernah juga sebenarnya dapat peringkat satu dari belakang (hihihi aib jaman dulu dan jika diingat-ingat akan menjadi yang terlucu). Jadi pemanjat tembok perempuan pertama di sekolah. Dulu saya gak berhasil manjat tembok keburu ketahuan. Hehee. Hal yang paling menyebalkan pada fase ini adalah adalah harus ya kebebasan saya diikat. Saya ingin begini ingin begitu cuma itu saja dan disambut dengan larangan.
Jaman kuliah adalah jaman anak rantauan. Awal-awal memang sulit dijalankan bahkan saya pernah merasakan culture shock pada saat itu, saya kebayang terus dengan suasana rumah and always feels homesick. Dengan berjalannya waktu saya menemukan banyak sekali teman. Teman kelas, teman organisasi, teman kosan. Semua teman itu sudah seperti saudara sendiri. Mereka merubah segalanya, bertemu teman selayaknya seperti berada di rumah. Kompetisi akademis juga menjadi ajang yang menggiurkan yang tidak boleh dilewatkan. To-be-the-biggest-one sangatlah penting pada saat itu. Sampai-sampai karena keasyikan bergelut dalam dunia itu, kemudian saya panik dengan usia saya dan masa depan saya. Saya mulai menimbang-nimbang akan dibawa ke mana sebenarnya jalan hidup saya ini?
Kemudian saya mengambil jurus yang paling aman dengan melanjutkan studi S2. Tidak seperti pada saat mengenyam pendidikan S1 ya, saya ternyata juga harus mengalami culture shock di sini. Bertemu dengan orang yang memiliki latar belakang yang berbeda dari rekan-rekan saya waktu S1. Tentu untuk mengikuti alur tersebut sebisa mungkin saya harus menyesuaikan diri. Di sini saya mulai belajar bagaimana saya bisa mendapat penerimaan atau bisa diistilahkan dengan acceptance theory (kapan-kapan kita bahas istilah ini ya) dari rekan-rekan saya. Pada fase ini saya pernah merasa jadi perempuan paling bodoh dalam urusan hati. Nyaris saya tidak dapat memusatkan perhatian studi yang saya tempuh. Alhamdulillah masalah hati secara tepat diatasi oleh kelulusan. Yeayy saya sudah lulus sekarang. Saya sebenarnya tidak bangga mendapatkan kelulusan namun yang dibanggakan adalah akhirnya saya berhasil memenangkan ego saya. Ego saya akan hal nyaman terhadap suasana malas, memerangi mood saya yang tiada habisnya berkata ‘tidak’.
Apakah saya akan puas dengan gelar yang sudah disematkan sekarang ini? Owhh tidak, akan banyak sekali tanggung jawab yang harus ditanggungkan pada saya. Pernah kan denger asumsi publik bahwa universitas adalah produk pengangguran artinya universitas mencetak sarjana pengangguran. Yuppp deretan sarjana pengangguran sama banyak seperti deretan jomblo ngenes di pinggir jalanan. Mereka memiliki popluasi yang tak terhingga sehingga jika menentukan sampel harus memiliki rumus khusus. Hiihihiii
Mari saya lupakan dulu sejenak predikat yang telah mengabaikan potensi dengan melalukan peng’hina’an terhadap diri saya. Ada beberapa fokus permasalahan yang coba saya ungkapkan dalam fase ini. Pada tahap ini saya tengah menjadi seorang yang bukan apa-apa, tak bisa apa-apa, dan mungkin tak bisa menjadi apa-apa? Dan dalam lubuk hati saya saya ingin menjadi apa-apa, ingin bisa apa-apa, dan mungkin bisa menjadi apa-apa. Setidaknya saya punya nilai plus dalam tahapan ini. Setidaknya saya masih punya keinginan. Bukankah tak ada orang biasa di dunia ini. Semua orang berpotensi untuk menjadi luar biasa. Yang ada hanyalah orang yang gagal menjadikan dirinya bintang. Meskipun bintang tidak bersaing pada saat siang namun bintang itu bersaing di malam hari, memperlihatkan cahanya. Masing-masing bintang memiliki kompetisi untuk memperlihatkan dirinya sebagai yang paling terang. Tentu kita bisa melihat berbagai jenis bintang. Ada bintang yang besar dan paling bersinar terang dan ada bintang yang bentuknya kerdil dan cahayanya remang-remang. Hal tersebut tentu saja disebabkan oleh jarak. Semakin dekat semakin telihat. Untuk itu jangan pernah gentar untuk mendekat, mendekatkan diri pada kemenangan.
Saya kini tengah membungkus tubuh saya dengan selimut tebal, udara di malam ini dingin sekali. Saya membuka jendela kamar dan merasakan hembusan angin. Bau tanah yang segar sehabis dilanda hujan menyempurnakan suasana malam ini. Tidak akan ada bintang yang terlihat malam ini disebabkan oleh hujan. Sembari menikmati malam saya mulai merenungkan perjuangan pasukan muslim dalam perang Mu’tah, itulah kejadian di mana pasukan Islam pertama kali bertempur melawan Romawi Byzantium pada Jumadil Awal tahun 629 M. Perang yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah dengan jumlah pasukan 3.000 prajurit yang akan menghadapi 200.000 pasukan bersenjata lengkap. Dalam soal angka pasukan Muslim kalah jauh namun mereka tetap mengobarkan semangat dan mengusir segala gentar dan kecemasan. Bayangkan saja tiga ribu melawan dua ratus ribu sama saja dengan bunuh diri. Nyatanya sejarah mencatat pasukan muslim yang terbunuh saat itu hanya dua belas orang. Kedua belah pihak sama-sama mundur dari medan perang. Bisa dibilang umat Islam belum mampu menang secara total, tapi bisa jadi itu merupakan isyarat kemenangan. Baginda Nabi saw. adalah pemimpin yang paling hebat dalam memotivasi umatnya. Yakin Mario Teguh kalah jauh.
Apa yang bisa saya petik dari ulasan cerita di atas? Saya menarik nafas dan melepaskannya perlahan. cerita ini saya hubungkan dengan fase sekarang ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa kaum Muslim pada perang Mu’tah dari yang tidak menjadi apa-apa menjadi apa-apa. Lalu kenapa saya tidak bisa seperti menjadi demikian. You can, if you think you can. Bintang yang itu ada pada diri kita biarkanlah bintang itu bersinar dengan usaha kita. Jangan biarkan diri kita kalah dengan kompetisi kerdil yang tidak akan pernah sebanding dengan perang Mu’tah. Selama sumbangan oksigen masih setia masuk ke lubang hidung saya yang maha besar ini segalanya bisa dilakukan. Saya percaya itu.
Pada fase ini pula saya telah memutuskan jalan hidup saya sebagai seorang pengajar, untuk sementara sekarang saya menjadi tenaga honorer di dua universitas swasta di Mataram. Kenapa saya memutuskan untuk mengajar? Profesi mengajar tidaklah profesi yang cemerlang dalam meraup sebongkah berlian. Lalu kenapa saya memutuskan memilih jalan itu? Karena saya hobi, sederhana bukan. Saya menikmati profesi saya sekarang ini. Saya menyiapkan materi dan menyalurkan materi itu kepada anak didik saya. Materi itu akan tertanam di benak mereka, dan Insya Allah akan bermanfaat dalam membangun karakter mereka ke depannya. Saya puas dengan pengalaman seperti itu. Bukankah ada lagu dengan lirik ‘engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa’, oh ya liriknya sudah berubah jadi engkau patriot pahlawan bangsa pembangun insan cendekia. Itu lirik untuk para guru ya, tapi bisa jugalah disematkan kepada para dosen. Xixixi. Ya saya memilih jalan hidup saya sebagai seorang pengajar, semoga ilmu yang saya berikan berkah. Kemudian bagaimana dengan jalan hidup Anda, bagaimana jalan Anda dalam menyinari bintang dalam diri Anda? Semoga jalan yang Anda putuskan menyamankan hidup rekan sekalian. Life is choice, enjoy your way and stop compare these and those from other thing, okkay!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar