Title : Love Rain
Genre : Romantic, Sad (maybe)
Length : One Shoot
Air Time : March 2012
Cast : Yuri, Minho, Yoona
Hari
ini aku kebagian tempat duduk dipojokan paling belakang. Aku tak dapat mencerna
apa yang diterangkan oleh guruku saat ini. Posisi dudukku terlalu strategis untuk menikmati keadaan di
luar jendela. Biasanya aku selalu penuh dengan
konsentrasi saat mendengarkan guru yang mengajar di kelas. Untuk kali ini aku
tak bisa melakukan hal itu, semua ini karena posisi dudukku yang tidak tepat. Pertama kalinya aku harus menyia-nyiakan ilmu yang kudapat
selama 2 jam ini. Aku melihat keluar ruangan ternyata pemandangan disana sangat
indah. Pikiranku kini sudah beralih ke sosok pria tampan yang sangat popular di
sekolah ini. Pria itu kini sedang memainkan bola dengan lincahnya. Dengan
kakinya yang jangkung dia mampu menerobos beberapa pertahanan di depannya. Satu
tendangan indah menoreskan gol bagi tim mereka. Umpan-umpan gol dapat dipatahkan
oleh lawan. Kini Ia masuk ke bagian pertahanan mencoba untuk meraih bola.
Dengan cekatan bola itu kembali diraih olehnya. Gol lagi, semua orang berdiri
dan bertepuk tangan. Permainan bola telah selesai diiringi oleh tepuk tangan
atas kemenangan laki-laki itu. Nafasnya masih tak beraturan, diusapnya peluh
yang menempel di wajah dengan punggung tangannya. “Ya tuhan, senyumnya manis
sekali.” Seorang wanita tengah menghampirinya, menyodorkan minuman kepadanya.
Dia meraihnya dengan senyum ramahnya. Wanita itu mengambil lap di tasnya dan
mengelap peluh di wajah laki-laki itu. Pria itu kembali tersenyum ramah, wanita
itu membalas senyumannya kemudian mengajak laki-laki itu pergi dengan
menggandeng tangannya. Terlihat dua pasangan yang amat bahagia.
Air
mukaku langsung berubah saat melihat kejadian itu. Kenapa aku seperti ini,
bukankah semua orang senang melihat mereka berpasangan. Mereka sangat cocok.
Laki-laki itu bernama Minho seorang laki-laki tampan, kaya, dan memiliki
segudang prestasi di bidang olahraga. Sedangkan wanita di sampingnya bernama Yoona seorang
perempuan yang popular dengan kecantikannya, kaya, dan memiliki banyak
penggemar di sekolah. Aku sepatutnya senang melihat mereka berdua. Ini semua
salahku, aku menyiksa diriku karena selalu iri melihat mereka berdua. Kenapa
aku harus seperti ini. Kuakui aku memang sangat mengagumi sosok Minho, dari
dulu saat pertama kali aku melihatnya. Namun tak ada yang tahu mengenai
perasaanku ini. Aku tak pernah sekalipun bercakap dengannya. Aku hanya bisa
mengaguminya dari jarak jauh.
Aku
menyadari diriku seutuhnya saat jam pelajaran telah selesai. Ya ampun…. apa yang telah aku lakukan. Aku menyia-nyiakan 2 jam
waktuku untuk
sesuatu yang tak penting. Aku mengemas barang-barangku. Langit sudah mendung
tertutupi oleh awan pekat, sepertinya sebentar lagi akan hujan. Aku segera
berlari keluar kelas. Sebelum hujan turun aku harus sampai di halte bis. Saat menyusuri lapangan sekolah, rasanya
ada mahluk hangat yang sedang merajam ke kakiku. Bulu romaku bergidik, ada perasaan jijik yang kurasakan saat ini. Aku melihat
ke arah samping melihat mahluk menjijikkan itu.
“Kodoooooook,” teriakku.
“Huaaaaaaa,”
teriakku kembali.
Melihat sang kodok
menggeliat di kakiku. Matanya yang lebar melihat kearahku. Kakinya dengan erat
menyangkut di kakiku. Aku menghentakkan kakiku namun tak berhasil. Aku meraih
tasku untuk mengusir kodok itu. Kodok itu kini menempel di tasku. Aku kembali
melempar-lempar kodok itu sampai akhirnya mahluk menjijikkan itu pergi. Tanpa
sadar aku telah melepaskan uang logam yang semenjak tadi kugenggam. Gawat!!! uang itu adalah uang terakhirku untuk naik bis. Aku harus menemukannya. Beberapa uang logam itu
masih bisa aku lihat berceceran di tanah, sebagian lagi aku tak tahu entah
kemana. Aku meraih logam yang tersisa. Tak peduli dengan butiran-butiran kristal kecil yang
tengah jatuh ke tanah. Air hujan kini berhasil memukul tubuhku, aku merekatkan
tubuhku memeluk tasku
namun aku masih tetap menggigil. Aku terus mencari uang logamku.
Aku hanya butuh satu uang logam saja supaya cukup untuk membayar bis. Aku
menghentikkan pencarianku saat menyadari hujan tak lagi mengguyur tubuhku. Aku
melihat ke arah belakang. Sosok laki-laki yang amat kukenal. Aku seharusnya
senang dengan keadaan sekarang ini namun aku masih heran dengan apa yang
kulihat sekarang ini. Laki-laki itu melambai-lambaikan tangannya ke arahku.
“Hey,” katanya lagi
Deg!!! Jantungku
berdetak kencang
“Kau,” aku mulai
bisa mengeluarkan suara
“Apa yang kamu lakukan disini, bukankah ini hujan kenapa kamu tidak pulang saja,” ujarnya kembali.
Ia tetap memayungi
tubuhku. Kini Ia mengambil posisi jongkok, mensejajari tubuhku. Ia kembali
menatapku, kali ini tatapannya begitu dekat.
Deg!!! Jantungku
tak bisa terkontrol lagi
“Kenapa kau tak
menjawabku,” tanyanya heran.
“Ehh. . eh.. aa ku
sedang mencari uangku,” jawabku terbata-bata. Dengan perasaan malu aku terpaksa
mengakuinya. Ia tak berkata apa-apa namun aku melihat wajahnya yang terlihat
heran.
“Aku harus mencari
uangku, kalau tidak aku tidak bisa pulang,” ujarku kembali. Kini Ia mulai
ngerti dengan apa yang aku ucapkan.
“Biar aku saja yang
mengantarmu,” ajaknya.
Siapa wanita yang
mampu menolak ajakan seorang laki-laki tampan dan popular seperti dia. Bahkan
laki-laki itu adalah orang yang kukagumi semenjak aku menginjakkan kakiku di
sekolah ini. Aku menepis kembali bayangan itu saat menyadari keadaanku sekarang
ini. Pakaianku basah kuyup, sepatuku sudah dihiasi dengan lumpur tanah. Aku
begitu kotor saat ini. Tak mungkin aku akan menaiki mobil mewah miliknya.
“Ee tidak usah.
Nanti mobil mewahmu kotor oleh badanku. Aku bisa pulang sendiri,” jawabku.
Miris sekali menolak
ajakannya. Inilah tindakan yang terbaik untukku dan dirinya. Dia melihat ke
arahku, dari lutut kaki sampai ujung kepala. Aku begitu malu dipandang olehnya
dengan keadaan seperti ini. *blush* menyadari hal itu Ia kembali berpikir.
“Kalau begitu,
pakai saja uangku,”
“Tidak usah, aku
bisa menemukan uangku,” tolakku kembali.
Apa yang aku
lakukan sekarang ini. Menolak kebaikan dia untuk kedua kalinya. Aku sungguh
bodoh!
“Ya sudah aku akan
bantu mencarinya,”
Aku mengangguk dan
melanjutkan pencarianku dan kini aku mencarinya bersama dia. Tidak sampai 10
menit kami menemukan apa yang dicari. Logam itu tergeletak dipinggir rumput,
dibasahi oleh rintik-rintik hujan.
“Wahhh kita
menemukannya,” ujarnya senang.
Aku hanya tersenyum
melihat wajahnya. Inilah waktu yang kutunggu-tunggu selama ini. Melihat
senyumannya dari jarak yang dekat. Kami berjalan menuju halte bis. Tangannya menarik tubuhku agar mendekat kepadanya.
“Jangan sampai kau
sakit, gara-gara kehujanan,”
Dia perhatian
sekali. Ya ampun kini kami berada dalam satu payung dan jarak kami.. jarak kami sangat dekat. Bahkan tak berjarak satu inchi pun.
Minho seorang laki-laki yang kini bersama denganku telah aku kagumi sejak dulu.
Memandangi senyumannya dari jarak kejauhan adalah kebahagiaan bagiku. Aku tak
pernah bertatap muka secara langsung. Aku tak memiliki keberanian untuk
menegurnya. Bagiku bisa melihatnya saja sudah cukup. Aku tahu dia pasti tidak
mengenalku tapi aku mengenalnya sangat baik. Aku sudah tahu juga tentang
hubungannya bersama Yoona. Mereka terlihat sangat cocok dan itu membuatku
sangat iri.
Kami telah sampai
di halte bis.
Sekarang aku duduk bersamanya
“Kenapa kau tidak
langsung pulang,” tanyaku heran.
Padahal aku sudah
sampai di halte bis tapi kenapa dia malah tetap disini. Bahkan lebih memilih duduk di
sampingku.
“Aku akan
memastikan kalau kamu baik-baik saja,”
Aku tersenyum
mendengar jawabannya. Perlahan tanganku memegang dadaku memeriksa detak
jantungku. Tidak!!! Jantungku berdetak kencang. Yakin, ini bukan jantungku yang
bermasalah, tapi karena kini dia berada di dekatku.
“Oya, kok kamu bisa
kenal aku ya?” tanyanya tiba-tiba
“Maksudnya?” aku
tak mengerti maksud pembicaraannya.
“Tadi kamu menolak ajakanku
untuk mengantarmu pulang karena
takut mengotori mobilku. Berarti kamu tahu dong kalau
aku ke sekolah naek mobil?” sudah
beberapa kali Minho melontarkan pernyataan yang tak kuduga.
Aku tertunduk malu.
“siapa sih yang tidak kenal dengan pria sepertimu Choi Minho. Seorang laki-laki
yang memiliki segudang prestasi di bidang olahraga,” aku bahkan menyebut namanya dengan
detail.
“Apakah aku begitu
popular di sekolah ini. Oke namaku Minho,” katanya sambil mengulurkan
tangannya.
“Namaku Yuri,”
jawabku membalas jabatan tangannya.
Biasanya orang yang
sedang jatuh cinta tangannya akan terasa dingin namun kali ini cuaca hujan
menyelamatkanku.
“Sekarang kita
sudah saling kenal,”
Aku hanya menunduk.
Takut sekali terus-terusan memandang wajahnya. Bisa-bisa aku jantungan.
Aku menatap bis
yang sudah terparkir di depan halte. Aku sebenarnya ingin berlama-lama
dengannya namun nasib berkata lain.
“Ini waktunya kita
berpisah, sampai jumpa.”
“Ok, hati-hati.”
Aku berjalan
memasuki bis. Aku membalas lambaian tangan Minho. Pandanganku tak pernah lepas
dari sosoknya hingga tertelan oleh jarak.
*****
Sudah
2 bulan ini aku tak pernah bertatap muka dengannya. Aku sama sekali tidak
memiliki keberanian untuk menyapanya. Aku memang tidak tahu diri seharusnya aku
mengucapkan terimakasih kepadanya. Diam-diam Mengintip Minho dari balik jendela
adalah rutinitasku. Aku sungguh gila karena cinta. Aku perhatikan gerak-geriknya, bagaimana Ia
menendang-nendang bola, memainkan bola di atas kakinya. Ini sungguh
mengasyikkan aku hanya bisa senyam-senyum sendirian. Senyumanku kini pudar saat
kedatangan wanita itu. Yah siapa lagi kalau bukan Yoona, cewek yang sedang
digosipkan berkencan dengan Minho. Aku tak mau melihat kalian seperti ini. Aku
ingin menerobos keluar untuk menghentikan kedekatakan kalian berdua. Tapi aku
tak punya keberanian, rasa takutku terlalu besar. Aku menggigit ujung jariku.
Menelan ludah pahitku. Kuakui aku memang CEMBURU.
*****
Sayup-sayup matahari mulai menyebar
ke seluruh ruang kamarku. Begitu berat rasanya tubuh ini untuk digerakkan. Tapi
mataku tak bisa kupejam lagi. Matahari terlalu ganas menghentakkan sinarnya ke
mataku. Aku bangun seketika, menyadari kalau hari ini adalah hari senin. Aku
meraih beker kecil di atas meja. Beker itu sudah berulangkali berbunyi namun dimatikan olehku. Aishhhh!!! Aku
terbelalak melihat arah jarum jam. Gawat aku terlambat. Aku bergegas menuju
kamar mandi. Dengan secepat kilat aku memakai seragamku. Mengambil sepatu yang baru dibelikan oleh Ibu, tanpa pikir
panjang aku melesat ke sekolah.
Sesampai di sekolah aku sudah
terlambat. Dengan wajah yang masih carut marut aku menjalani hukuman dengan
berlari keliling lapangan. Kakiku terasa sakit, amat sakit. Baru setengah
putaran namun aku sudah tak sanggup. Telapak kakiku sudah tak tahan lagi menahan rasa sakit.
“Pritttt” suara
peringatan berbunyi. Itu pertanda aku harus menyelesaikan hukumanku. Aku
berlari dengan penuh rasa takut. Aku memang benar-benar gadis penakut. Dengan
nafas tersengal aku kembali menuju kelas setelah menyelesaikan hukumanku. Aku
sama sekali tak memiliki gairah untuk belajar hari ini. Kurasa aku telah
menghancurkan hidupku hari ini akibat pengalaman buruk yang kudapat pagi hari.
Baiklah
sebentar lagi aku bisa menghabiskan waktuku di sekolah ini. Rasanya hari ini
begitu lama. Aku mengitari taman di sekolah menikmati kesendirianku. Aku
menghitung langkahku, sungguh perbuatan yang tak pantas. Aku merasakan kesakitan yang
sedari tadi kurasakan. Tidak!!!!! rasa sakit ini sudah klimaks. Aku melihat ke bawah
kakiku. Aku menyadari bahwa aku mengenakan sepatu baru tanpa lapisan kain.
“Auuuu,” erangku.
Aku merintih
kesakitan, sungguh sakit sekali. Kini aku duduk lemas sembari membuka sepatuku.
Luka-luka menempel diseluruh telapak kakiku. Aku menyentuh kakiku
dengan ujung jari. Rasa sakit
kembali menusuk hingga lapisan hatiku. Aku sudah tak punya daya lagi untuk
bergerak.
“Kamu tidak
apa-apa?” tanya seseorang menghampiriku.
Suaranya terdengar
tidak asing. Aku mengadah ke atas, memastikan sosok yang tengah menghampiriku. Tak salah
lagi, itu adalah Minho.
“Kau,” tanyaku
heran
“Iya, kenapa dengan
kakimu,” tanyanya dengan raut wajah penuh kehawatiran.
“Aku hanya luka
kecil,” jawabku kembali menunduk.
Dia memandang
telapak kakiku. Dengan raut wajah cemas dia perlahan memegang telapak kakiku.
“Auuu sakit,”
rintihku.
“Sepertinya lukamu
cukup parah. Ayo aku obatin ke UKS.” Aku hanya menjawabnya dengan menunduk.
“Apakah kau bisa
jalan,” tanyanya kembali
“Iya,” jawabku
dengan jawaban pasti.
Melihat wajahnya, memberikan sedikit obat terhadap luka di kakiku. Aku
berdiri tegak dan melangkahkan kakiku. Sepertinya dia kurang yakin denganku. Ia
meraih lenganku dan menaruhnya di pundaknya. Aku menyambutnya dengan senyuman.
Aku tak merasakan sakit apa-apa,
asalkan dia dihadapanku itu sudah cukup. Dia sungguh cekatan mengobati lukaku.
Aku sama sekali tak merintih kesakitan yang kulakukan adalah melihat wajah
tenangnya sambil tersenyum.
“Lain kali kamu
harus memakai kaos kaki,” ujarnya setelah membalut telapak kakiku dengan
perban.
“Iya lain kali aku
akan memakainya,” jawabku.
“Untuk sementara
waktu kamu gunakan sandal saja,” pintanya
Aku kembali
mengangguk. Seharusnya aku memiliki bahan perbincangan yang bisa kulontarkan
selagi bersamanya. Namun rasa takut itu lagi-lagi terus menghalangiku.
“Ayo pulang. Aku
akan mengantarmu.”
lagi-lagi Ia
menawarkan dirinya untuk mengantarku. Lagi-lagi aku juga menolaknya. Aku malu
jika dia melihat rumahku yang kecil dan reot.
“Sebelumnya
terimakasih atas kebaikanmu, tapi aku tak bisa menerimanya. Aku bisa pulang
sendirian,” jawabku
“Kamu memang
sungguh keras kepala,” terkesan dengan nada kesal.
“Kalau begitu aku
akan mengantarmu sampai halte bis,” ucapnya.
Aku hanya
menjawabnya dengan menunduk. Ia meraih tubuhku dan menempatkannya di
punggungnya. Dia menggendongku!!! Aku terkejut dengan perlakuannya yang tiba-tiba. Aku tak
bisa menolak karena momen inilah yang selalu kumimpikan sejak dulu. Langkahnya terhenti, Ia meraih payung yang menempel di tembok. Kini Ia
membentangkan payung tersebut dan melanjutkan langkahnya. Aku melihatnya dalam
diam. Kini tubuhku menempel di punggungnya. Kusadari jantungku berdetak amat
cepat. Aku mengendorkan tubuhku ke belakang agar membuat jarak dengannya. Aku
takut jika Ia merasakan detak jantungku.
“Kenapa kamu
menjauh. Ayo pegang yang erat biar kamu gak jatuh,” pintanya.
Sepertinya Ia sudah
merasa nyaman dengan posisiku sekarang ini.
Aku kembali
mengalungkan lehernya dengan tanganku. Aku mempererat peganganku sesuai dengan
sarannya.
“Hey.. jangan
terlalu erat. Aku tak bisa bernafas,” keluhnya.
“Hehee, maafkan
aku,” tersenyum nyengir. Minho berusaha tetap tersenyum.
Aku menoleh.
Menatap wajahnya yang fokus menghadap ke depan. Aku tersenyum dan menyandarkan daguku di pundaknya. Mataku tak beralih melihat wajah
tenangnya. Sungguh tampan.
“Sampai kapan kamu
akan melihatku seperti itu,” tanyanya risih melihat perlakuanku. Aku
mengabaikan pertanyaannya.
“Tahu tidak ini
sudah kedua kalinya kita bertemu dan lagi-lagi pada saat hujan,” Ujarku. Yahh
memang ini adalah pertemuan keduaku. Hujan ini telah mentakdirkan kami untuk bertemu. Aku sempat berpikir, mungkin jika
tidak hujan aku tak punya nasib bertemu dengannya. Ia hanya menanggapinya dengan
tersenyum. Suatu jawaban yang masih menggantung.
“Hati-hati ya,”
ujarnya. Setelah menurunkanku di bis.
“Ok, terimakasih,”
jawabku
Aku mendongak.
Senyumannya kini menghiasi wajahnya. Aku pun membalas senyumannya sampai kami
tertelan oleh jarak.
*****
Semalam
memang malam yang amat panjang. Aku tak bisa tertidur lelap, perasaan bahagiaku
terus menghiasi peraasaanku. Mengingat kejadian kemarin sambil senyam senyum
sendirian merupakan sesuatu kegilaan. Aku ingin masa-masa itu terulang kembali.
Kini aku kembali melangkahkan kakiku hendak menghampiri Minho. Aku telah
memiliki banyak keberanian untuk bertemu dengannya. Memulai berteman dengannya,
memainkan drama bersamanya. Aku berperan sebagai putri kecil yang selalu butuh
perlindungan dan Minho adalah pangeran yang selalu menyelamatkanku. Kami
membungkus rintangan, ketakutan, dan rasa sakit dengan cinta. Aku melangkahkan
kaki dengan amat riangnya. Sesekali aku melompat-lompat seperti kodok. Kodok???
gara-gara kodoklah aku bertemu dengan Minho, membuat suatu kisah yang aku
sendiri tidak tahu kelanjutan episodenya.
Langkahku
terhenti melihat sosok Yoona yang kini menghampiri Minho. Yoona tersenyum ramah
kepadanya,
Minho membalas senyuman itu.
Chuuuu
Apa yang dilakukan
Yoona. Dia mencium pipi Minho. Hatiku benar-benar hangus saat menyadari
kejadian ini. Aku seharusnya sadar dengan tindakanku selama ini. Aku seharusnya
sadar aku tak pantas untuk Minho. Yoona adalah milik Minho dan aku bukan
siapa-siapanya Minho. Aku telah berbuat kesalahan yang fatal. Mencintai
seseorang yang salah. Aku mengatupkan rahangku. Mengepalkan kedua tanganku. Aku marah terhadap diriku sendiri. Aku telah dibodohi
oleh cinta. Sepertinya saraf-sarafku sudah tak berfungsi lagi. Padanganku
buram, tak bisa berucap. tak bisa mencerna perkataan dan tak merasakan apa-apa
yang kurasakan hanyalah sakit hati. Aku merasakan pipiku mulai memanas.
Serpihan kaca mulai menghiasi mataku. Wajahku telah dikuasai oleh air mata dari
rasa sakit yang menyesakkan. Baru kali ini aku merasakan sakit yang amat dalam
bahkan lebih sakit saat kakiku lecet. Aku tak bisa lagi membendung air mataku.
“Kenapa kamu
menangis,” ujar seseorang.
Aku tak menoreh ke
belakang, aku tak salah lagi itu pasti Minho. Aku tak sanggup dan
tak mau melihat wajahnya. Aku terus menunduk membiarkan air mataku jatuh ke
tanah.
“Kenapa kamu
menangis,” tanyanya lagi.
Sekarang dia sudah
di hadapanku. Aku memberanikan diri menatap wajahnya. Dengan penuh rasa kecewa.
“Aku menangis
karenamu, bodoh,” teriakku tepat di wajahnya. Air mataku tak henti-hentinya
menetes.
Dia melihatku
lekat-lekat. Mata kami beradu. Pandanganku buram oleh air mata. Aku merasakan
tangan panjangnya menyentuh wajahku. Jari panjangnya mengusap lembut pipiku dan
mengusap air mataku. Jarinya mulai turun menuju ke bibirku mempermainkan
bibirku dengan jarinya. Aku mendorongnya dengan amat keras kemudian berlari sekencang-kencangnya tanpa tahu arah. Berani-beraninya dia
melakukan itu terhadapku setelah apa yang telah Ia lakukan bersama Yoona. Aku
tak bisa terus bertahan seperti ini, mempermainkan hatiku seenaknya. Aku terus
berlari tanpa memperdulikan tubuhku yang basah oleh hujan. Mungkin hujan mampu
mengobati rasa sakitku saat ini. Derasnya hujan seperti derasnya air mataku.
Aku
merasakan tubuhku dipeluk dari belakang. Kurang ajar berani-beraninya orang
memelukku seenaknya. Aku memberontak dengan sekuat tenagaku.
“Tolong!!!! jangan lepaskan pelukan ini. Aku mohon biarkan aku tetap
berada diposisi ini,” bisik Minho di telingaku. Tubuhku melemas saat mendengar bisikannya.
“Aku mencintaimu…
sungguh mencintaimu,”
Aku tak percaya
dengan ucapannya. Aku hanya diam masih tak percaya
“Saat pertama kali
kita bertemu, hatiku telah mengukir rasa terhadapmu. Aku ingin masuk ke
kehidupanmu tapi aku tak tahu bagaimana caranya mendekatimu. Aku sungguh takut bertemu denganmu. Aku takut kamu
akan menghindariku setelah kamu tahu perasaanku. Ini sungguh sulit bagiku,”
katanya.
Aku tertegun
mendengar pengakuannya.
“Lalu…Yoona??” aku
kembali terisak
“Aku tidak menyukai
Yoona. Dia yang selalu mendekatiku. Aku tidak enak menolaknya karena satu
sekolah telah melihat keserasian kami. Aku tak bisa menghindar darinya.
Semenjak aku menggendongmu hingga di bis perasaan sayang itu semakin membuncah
bahkan aku berani menolak ajakan Yoona, aku benar-benar telah menjauh darinya.
percayalah,” lirihnya
“Bukankah tadi
pipimu telah dijamah oleh bibir Yoona. Apa itu yang dikatakan menjauh,” hatiku
luluh saat menjelaskan penjelasannya namun aku teringat lagi kejadian tadi.
Emosiku semakin memuncak. Aku merasakan tenagaku kembali lagi. Aku berusaha
melepaskan tubuhku dengan sekuat tenaga. Namun aku tak kuasa, pertahanannya terlalu kuat.
“Kumohon percayalah
kepadaku. Itu hanya ciuman perpisahan dan Yoona-lah yang memulainya tiba-tiba,”
ujarnya. Kembali mempererat pelukannya.
“Apa….
Perpisahan??”
“Iya perpisahan. 2
hari lagi aku akan ke Jerman melanjutkan studiku. Untuk itu aku mohon berikan
aku kesempatan memelukmu untuk terakhir kalinya. Aku sungguh mencintaimu,”
Apa ke Jerman 2
hari lagi??? Kenapa dia harus pergi secepat itu disaat cinta kami hampir
beradu?
“Kenapa secepat itu kamu pergi, aku masih
menginginkanmu,” ujarku
“Maksudmu??”
tanyanya tak percaya.
Ia memajukan
wajahnya menatap wajahku. Derasnya hujan terus menyapu wajahnya.
“Aku mencintaimu.
Aku sangat mencintaimu bahkan sebelum kau mengenalku. Melihat wajahmu dari
jarak
jauh adalah suatu kesenangan
bagiku. Aku sangat mencintaimu melebihi cintamu kepadaku,” ungkapku.
Dengan lega aku
berani mengungkapkannya. Setelah 2 tahun aku memendamnya.
“Benarkah?”
“Harus berapa kali
aku mengatakannya,”
“Percaya! aku sungguh percaya denganmu!”
“Lalu kenapa kamu
pergi secepat itu disaat cinta kita mulai beradu?”
“Aku pasti akan
kembali untukmu, sanggupkah kau menungguku??” tanyanya. Ia menempelkan pipinya
di pipiku.
“Ya aku akan
menunggu. 2 tahun mencintaimu bukanlah waktu yang lama namun aku terus menunggu
dan berharap akan adanya balasan cinta darimu. Jadi menunggumu dengan sebuah
kepastian cinta kurasa tidak akan sulit bagiku,”
“Terimakasih
sayangku,”
“Sayang???”
“Bisakah kau
membalikkan badanmu agar aku bisa memelukmu seutuhnya,” pintanya. Turunnya
hujan terus menampar tubuh kami. Hujan adalah saksi percintaan kami.
“Turunnya hujan
adalah suatu anugerah. Kita pertama kali dipertemukan oleh hujan, kita diberi
kesempatan bertemu oleh hujan
saat kita mulai
membiarkan rasa cinta mengalir, kita mengungkapkan perasaan sayang lagi-lagi
karena hujan. Dan kita akan berpisah lagi oleh hujan air mata,”
Aku membalikkan
badanku dan menatapnya lekat-lekat. Ia kembali memelukku dengan erat aku
membalas pelukannya dengan penuh kasih. Bibirnya kini telah mendekat ke
telingaku sembari membisikkan, “Aku cinta kamu.”
~The End~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar