Sabtu, 09 Juni 2012

Love Rain



Title        : Love Rain
Genre     : Romantic, Sad (maybe)
Length    : One Shoot
Air Time : March 2012
Cast        : Yuri, Minho, Yoona



Hari ini aku kebagian tempat duduk dipojokan paling belakang. Aku tak dapat mencerna apa yang diterangkan oleh guruku saat ini. Posisi dudukku terlalu strategis untuk menikmati keadaan di luar jendela. Biasanya aku selalu penuh dengan konsentrasi saat mendengarkan guru yang mengajar di kelas. Untuk kali ini aku tak bisa melakukan hal itu, semua ini karena posisi dudukku yang tidak tepat. Pertama kalinya aku harus menyia-nyiakan ilmu yang kudapat selama 2 jam ini. Aku melihat keluar ruangan ternyata pemandangan disana sangat indah. Pikiranku kini sudah beralih ke sosok pria tampan yang sangat popular di sekolah ini. Pria itu kini sedang memainkan bola dengan lincahnya. Dengan kakinya yang jangkung dia mampu menerobos beberapa pertahanan di depannya. Satu tendangan indah menoreskan gol bagi tim mereka. Umpan-umpan gol dapat dipatahkan oleh lawan. Kini Ia masuk ke bagian pertahanan mencoba untuk meraih bola. Dengan cekatan bola itu kembali diraih olehnya. Gol lagi, semua orang berdiri dan bertepuk tangan. Permainan bola telah selesai diiringi oleh tepuk tangan atas kemenangan laki-laki itu. Nafasnya masih tak beraturan, diusapnya peluh yang menempel di wajah dengan punggung tangannya. “Ya tuhan, senyumnya manis sekali.” Seorang wanita tengah menghampirinya, menyodorkan minuman kepadanya. Dia meraihnya dengan senyum ramahnya. Wanita itu mengambil lap di tasnya dan mengelap peluh di wajah laki-laki itu. Pria itu kembali tersenyum ramah, wanita itu membalas senyumannya kemudian mengajak laki-laki itu pergi dengan menggandeng tangannya. Terlihat dua pasangan yang amat bahagia.
Air mukaku langsung berubah saat melihat kejadian itu. Kenapa aku seperti ini, bukankah semua orang senang melihat mereka berpasangan. Mereka sangat cocok. Laki-laki itu bernama Minho seorang laki-laki tampan, kaya, dan memiliki segudang prestasi di bidang olahraga. Sedangkan wanita di sampingnya bernama Yoona seorang perempuan yang popular dengan kecantikannya, kaya, dan memiliki banyak penggemar di sekolah. Aku sepatutnya senang melihat mereka berdua. Ini semua salahku, aku menyiksa diriku karena selalu iri melihat mereka berdua. Kenapa aku harus seperti ini. Kuakui aku memang sangat mengagumi sosok Minho, dari dulu saat pertama kali aku melihatnya. Namun tak ada yang tahu mengenai perasaanku ini. Aku tak pernah sekalipun bercakap dengannya. Aku hanya bisa mengaguminya dari jarak jauh.
Aku menyadari diriku seutuhnya saat jam pelajaran telah selesai. Ya ampun…. apa yang telah aku lakukan. Aku menyia-nyiakan 2 jam waktuku untuk sesuatu yang tak penting. Aku mengemas barang-barangku. Langit sudah mendung tertutupi oleh awan pekat, sepertinya sebentar lagi akan hujan. Aku segera berlari keluar kelas. Sebelum hujan turun aku harus sampai di halte bis. Saat menyusuri lapangan sekolah, rasanya ada mahluk hangat yang sedang merajam ke kakiku. Bulu romaku bergidik, ada perasaan jijik yang kurasakan saat ini. Aku melihat ke arah samping melihat mahluk menjijikkan itu.
“Kodoooooook,” teriakku.
“Huaaaaaaa,” teriakku kembali.
Melihat sang kodok menggeliat di kakiku. Matanya yang lebar melihat kearahku. Kakinya dengan erat menyangkut di kakiku. Aku menghentakkan kakiku namun tak berhasil. Aku meraih tasku untuk mengusir kodok itu. Kodok itu kini menempel di tasku. Aku kembali melempar-lempar kodok itu sampai akhirnya mahluk menjijikkan itu pergi. Tanpa sadar aku telah melepaskan uang logam yang semenjak tadi kugenggam. Gawat!!! uang itu adalah uang terakhirku untuk naik bis. Aku harus menemukannya. Beberapa uang logam itu masih bisa aku lihat berceceran di tanah, sebagian lagi aku tak tahu entah kemana. Aku meraih logam yang tersisa. Tak peduli dengan butiran-butiran kristal kecil yang tengah jatuh ke tanah. Air hujan kini berhasil memukul tubuhku, aku merekatkan tubuhku memeluk tasku namun aku masih tetap menggigil. Aku terus mencari uang logamku. Aku hanya butuh satu uang logam saja supaya cukup untuk membayar bis. Aku menghentikkan pencarianku saat menyadari hujan tak lagi mengguyur tubuhku. Aku melihat ke arah belakang. Sosok laki-laki yang amat kukenal. Aku seharusnya senang dengan keadaan sekarang ini namun aku masih heran dengan apa yang kulihat sekarang ini. Laki-laki itu melambai-lambaikan tangannya ke arahku.
“Hey,” katanya lagi
Deg!!! Jantungku berdetak kencang
“Kau,” aku mulai bisa mengeluarkan suara
“Apa yang kamu lakukan disini, bukankah ini hujan kenapa kamu tidak pulang saja,” ujarnya kembali.
Ia tetap memayungi tubuhku. Kini Ia mengambil posisi jongkok, mensejajari tubuhku. Ia kembali menatapku, kali ini tatapannya begitu dekat.
Deg!!! Jantungku tak bisa terkontrol lagi
“Kenapa kau tak menjawabku,” tanyanya heran.
“Ehh. . eh.. aa ku sedang mencari uangku,” jawabku terbata-bata. Dengan perasaan malu aku terpaksa mengakuinya. Ia tak berkata apa-apa namun aku melihat wajahnya yang terlihat heran.
“Aku harus mencari uangku, kalau tidak aku tidak bisa pulang,” ujarku kembali. Kini Ia mulai ngerti dengan apa yang aku ucapkan.
“Biar aku saja yang mengantarmu,” ajaknya.
Siapa wanita yang mampu menolak ajakan seorang laki-laki tampan dan popular seperti dia. Bahkan laki-laki itu adalah orang yang kukagumi semenjak aku menginjakkan kakiku di sekolah ini. Aku menepis kembali bayangan itu saat menyadari keadaanku sekarang ini. Pakaianku basah kuyup, sepatuku sudah dihiasi dengan lumpur tanah. Aku begitu kotor saat ini. Tak mungkin aku akan menaiki mobil mewah miliknya.
“Ee tidak usah. Nanti mobil mewahmu kotor oleh badanku. Aku bisa pulang sendiri,” jawabku.
Miris sekali menolak ajakannya. Inilah tindakan yang terbaik untukku dan dirinya. Dia melihat ke arahku, dari lutut kaki sampai ujung kepala. Aku begitu malu dipandang olehnya dengan keadaan seperti ini. *blush* menyadari hal itu Ia kembali berpikir.
“Kalau begitu, pakai saja uangku,”
“Tidak usah, aku bisa menemukan uangku,” tolakku kembali.
Apa yang aku lakukan sekarang ini. Menolak kebaikan dia untuk kedua kalinya. Aku sungguh bodoh!
“Ya sudah aku akan bantu mencarinya,”
Aku mengangguk dan melanjutkan pencarianku dan kini aku mencarinya bersama dia. Tidak sampai 10 menit kami menemukan apa yang dicari. Logam itu tergeletak dipinggir rumput, dibasahi oleh rintik-rintik hujan.
“Wahhh kita menemukannya,” ujarnya senang.
Aku hanya tersenyum melihat wajahnya. Inilah waktu yang kutunggu-tunggu selama ini. Melihat senyumannya dari jarak yang dekat. Kami berjalan menuju halte bis. Tangannya menarik tubuhku agar mendekat kepadanya.
“Jangan sampai kau sakit, gara-gara kehujanan,”
Dia perhatian sekali. Ya ampun kini kami berada dalam satu payung dan jarak kami.. jarak kami sangat dekat. Bahkan tak berjarak satu inchi pun. Minho seorang laki-laki yang kini bersama denganku telah aku kagumi sejak dulu. Memandangi senyumannya dari jarak kejauhan adalah kebahagiaan bagiku. Aku tak pernah bertatap muka secara langsung. Aku tak memiliki keberanian untuk menegurnya. Bagiku bisa melihatnya saja sudah cukup. Aku tahu dia pasti tidak mengenalku tapi aku mengenalnya sangat baik. Aku sudah tahu juga tentang hubungannya bersama Yoona. Mereka terlihat sangat cocok dan itu membuatku sangat iri.
Kami telah sampai di halte bis. Sekarang aku duduk bersamanya
“Kenapa kau tidak langsung pulang,” tanyaku heran.
Padahal aku sudah sampai di halte bis tapi kenapa dia malah tetap disini. Bahkan lebih memilih duduk di sampingku.
“Aku akan memastikan kalau kamu baik-baik saja,”
Aku tersenyum mendengar jawabannya. Perlahan tanganku memegang dadaku memeriksa detak jantungku. Tidak!!! Jantungku berdetak kencang. Yakin, ini bukan jantungku yang bermasalah, tapi karena kini dia berada di dekatku.
“Oya, kok kamu bisa kenal aku ya?” tanyanya tiba-tiba
“Maksudnya?” aku tak mengerti maksud pembicaraannya.
“Tadi kamu menolak ajakanku untuk mengantarmu pulang karena takut mengotori mobilku. Berarti kamu tahu dong kalau aku ke sekolah naek mobil?” sudah beberapa kali Minho melontarkan pernyataan yang tak kuduga.
Aku tertunduk malu. “siapa sih yang tidak kenal dengan pria sepertimu Choi Minho. Seorang laki-laki yang memiliki segudang prestasi di bidang olahraga,” aku bahkan menyebut namanya dengan detail.
“Apakah aku begitu popular di sekolah ini. Oke namaku Minho,” katanya sambil mengulurkan tangannya.
“Namaku Yuri,” jawabku membalas jabatan tangannya.
Biasanya orang yang sedang jatuh cinta tangannya akan terasa dingin namun kali ini cuaca hujan menyelamatkanku.
“Sekarang kita sudah saling kenal,”
Aku hanya menunduk. Takut sekali terus-terusan memandang wajahnya. Bisa-bisa aku jantungan.
Aku menatap bis yang sudah terparkir di depan halte. Aku sebenarnya ingin berlama-lama dengannya namun nasib berkata lain.
“Ini waktunya kita berpisah, sampai jumpa.”
“Ok, hati-hati.”
Aku berjalan memasuki bis. Aku membalas lambaian tangan Minho. Pandanganku tak pernah lepas dari sosoknya hingga tertelan oleh jarak.
*****
Sudah 2 bulan ini aku tak pernah bertatap muka dengannya. Aku sama sekali tidak memiliki keberanian untuk menyapanya. Aku memang tidak tahu diri seharusnya aku mengucapkan terimakasih kepadanya. Diam-diam Mengintip Minho dari balik jendela adalah rutinitasku. Aku sungguh gila karena cinta. Aku perhatikan gerak-geriknya, bagaimana Ia menendang-nendang bola, memainkan bola di atas kakinya. Ini sungguh mengasyikkan aku hanya bisa senyam-senyum sendirian. Senyumanku kini pudar saat kedatangan wanita itu. Yah siapa lagi kalau bukan Yoona, cewek yang sedang digosipkan berkencan dengan Minho. Aku tak mau melihat kalian seperti ini. Aku ingin menerobos keluar untuk menghentikan kedekatakan kalian berdua. Tapi aku tak punya keberanian, rasa takutku terlalu besar. Aku menggigit ujung jariku. Menelan ludah pahitku. Kuakui aku memang CEMBURU.
*****
            Sayup-sayup matahari mulai menyebar ke seluruh ruang kamarku. Begitu berat rasanya tubuh ini untuk digerakkan. Tapi mataku tak bisa kupejam lagi. Matahari terlalu ganas menghentakkan sinarnya ke mataku. Aku bangun seketika, menyadari kalau hari ini adalah hari senin. Aku meraih beker kecil di atas meja. Beker itu sudah berulangkali berbunyi namun dimatikan olehku. Aishhhh!!! Aku terbelalak melihat arah jarum jam. Gawat aku terlambat. Aku bergegas menuju kamar mandi. Dengan secepat kilat aku memakai seragamku. Mengambil sepatu yang baru dibelikan oleh Ibu, tanpa pikir panjang aku melesat ke sekolah.
            Sesampai di sekolah aku sudah terlambat. Dengan wajah yang masih carut marut aku menjalani hukuman dengan berlari keliling lapangan. Kakiku terasa sakit, amat sakit. Baru setengah putaran namun aku sudah tak sanggup. Telapak kakiku sudah tak tahan lagi menahan rasa sakit.
“Pritttt” suara peringatan berbunyi. Itu pertanda aku harus menyelesaikan hukumanku. Aku berlari dengan penuh rasa takut. Aku memang benar-benar gadis penakut. Dengan nafas tersengal aku kembali menuju kelas setelah menyelesaikan hukumanku. Aku sama sekali tak memiliki gairah untuk belajar hari ini. Kurasa aku telah menghancurkan hidupku hari ini akibat pengalaman buruk yang kudapat pagi hari.
Baiklah sebentar lagi aku bisa menghabiskan waktuku di sekolah ini. Rasanya hari ini begitu lama. Aku mengitari taman di sekolah menikmati kesendirianku. Aku menghitung langkahku, sungguh perbuatan yang tak pantas. Aku merasakan kesakitan yang sedari tadi kurasakan. Tidak!!!!! rasa sakit ini sudah klimaks. Aku melihat ke bawah kakiku. Aku menyadari bahwa aku mengenakan sepatu baru tanpa  lapisan kain.
“Auuuu,” erangku.
Aku merintih kesakitan, sungguh sakit sekali. Kini aku duduk lemas sembari membuka sepatuku. Luka-luka menempel diseluruh telapak kakiku. Aku menyentuh kakiku dengan ujung jari. Rasa sakit kembali menusuk hingga lapisan hatiku. Aku sudah tak punya daya lagi untuk bergerak.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya seseorang menghampiriku.
Suaranya terdengar tidak asing. Aku mengadah ke atas, memastikan sosok yang tengah menghampiriku. Tak salah lagi, itu adalah Minho.
“Kau,” tanyaku heran
“Iya, kenapa dengan kakimu,” tanyanya dengan raut wajah penuh kehawatiran.
“Aku hanya luka kecil,” jawabku kembali menunduk.
Dia memandang telapak kakiku. Dengan raut wajah cemas dia perlahan memegang telapak kakiku.
“Auuu sakit,” rintihku.
“Sepertinya lukamu cukup parah. Ayo aku obatin ke UKS.” Aku hanya menjawabnya dengan menunduk.
“Apakah kau bisa jalan,” tanyanya kembali
“Iya,” jawabku dengan jawaban pasti.
Melihat wajahnya, memberikan sedikit obat terhadap luka di kakiku. Aku berdiri tegak dan melangkahkan kakiku. Sepertinya dia kurang yakin denganku. Ia meraih lenganku dan menaruhnya di pundaknya. Aku menyambutnya dengan senyuman.
            Aku tak merasakan sakit apa-apa, asalkan dia dihadapanku itu sudah cukup. Dia sungguh cekatan mengobati lukaku. Aku sama sekali tak merintih kesakitan yang kulakukan adalah melihat wajah tenangnya sambil tersenyum.
“Lain kali kamu harus memakai kaos kaki,” ujarnya setelah membalut telapak kakiku dengan perban.
“Iya lain kali aku akan memakainya,” jawabku.
“Untuk sementara waktu kamu gunakan sandal saja,” pintanya
Aku kembali mengangguk. Seharusnya aku memiliki bahan perbincangan yang bisa kulontarkan selagi bersamanya. Namun rasa takut itu lagi-lagi terus menghalangiku.
“Ayo pulang. Aku akan mengantarmu.”
lagi-lagi Ia menawarkan dirinya untuk mengantarku. Lagi-lagi aku juga menolaknya. Aku malu jika dia melihat rumahku yang kecil dan reot.
“Sebelumnya terimakasih atas kebaikanmu, tapi aku tak bisa menerimanya. Aku bisa pulang sendirian,” jawabku
“Kamu memang sungguh keras kepala,” terkesan dengan nada kesal.
“Kalau begitu aku akan mengantarmu sampai halte bis,” ucapnya.
Aku hanya menjawabnya dengan menunduk. Ia meraih tubuhku dan menempatkannya di punggungnya. Dia menggendongku!!! Aku terkejut dengan perlakuannya yang tiba-tiba. Aku tak bisa menolak karena momen inilah yang selalu kumimpikan sejak dulu. Langkahnya terhenti, Ia meraih payung yang menempel di tembok. Kini Ia membentangkan payung tersebut dan melanjutkan langkahnya. Aku melihatnya dalam diam. Kini tubuhku menempel di punggungnya. Kusadari jantungku berdetak amat cepat. Aku mengendorkan tubuhku ke belakang agar membuat jarak dengannya. Aku takut jika Ia merasakan detak jantungku.
“Kenapa kamu menjauh. Ayo pegang yang erat biar kamu gak jatuh,” pintanya.
Sepertinya Ia sudah merasa nyaman dengan posisiku sekarang ini.
Aku kembali mengalungkan lehernya dengan tanganku. Aku mempererat peganganku sesuai dengan sarannya.
“Hey.. jangan terlalu erat. Aku tak bisa bernafas,” keluhnya.
“Hehee, maafkan aku,” tersenyum nyengir. Minho berusaha tetap tersenyum.
Aku menoleh. Menatap wajahnya yang fokus menghadap ke depan. Aku tersenyum dan menyandarkan daguku di pundaknya. Mataku tak beralih melihat wajah tenangnya. Sungguh tampan.
“Sampai kapan kamu akan melihatku seperti itu,” tanyanya risih melihat perlakuanku. Aku mengabaikan pertanyaannya.
“Tahu tidak ini sudah kedua kalinya kita bertemu dan lagi-lagi pada saat hujan,” Ujarku. Yahh memang ini adalah pertemuan keduaku. Hujan ini telah mentakdirkan kami untuk bertemu. Aku sempat berpikir, mungkin jika tidak hujan aku tak punya nasib bertemu dengannya. Ia hanya menanggapinya dengan tersenyum. Suatu jawaban yang masih menggantung.
“Hati-hati ya,” ujarnya. Setelah menurunkanku di bis.
“Ok, terimakasih,” jawabku
Aku mendongak. Senyumannya kini menghiasi wajahnya. Aku pun membalas senyumannya sampai kami tertelan oleh jarak.
*****
Semalam memang malam yang amat panjang. Aku tak bisa tertidur lelap, perasaan bahagiaku terus menghiasi peraasaanku. Mengingat kejadian kemarin sambil senyam senyum sendirian merupakan sesuatu kegilaan. Aku ingin masa-masa itu terulang kembali. Kini aku kembali melangkahkan kakiku hendak menghampiri Minho. Aku telah memiliki banyak keberanian untuk bertemu dengannya. Memulai berteman dengannya, memainkan drama bersamanya. Aku berperan sebagai putri kecil yang selalu butuh perlindungan dan Minho adalah pangeran yang selalu menyelamatkanku. Kami membungkus rintangan, ketakutan, dan rasa sakit dengan cinta. Aku melangkahkan kaki dengan amat riangnya. Sesekali aku melompat-lompat seperti kodok. Kodok??? gara-gara kodoklah aku bertemu dengan Minho, membuat suatu kisah yang aku sendiri tidak tahu kelanjutan episodenya.
Langkahku terhenti melihat sosok Yoona yang kini menghampiri Minho. Yoona tersenyum ramah kepadanya, Minho membalas senyuman itu.
Chuuuu
Apa yang dilakukan Yoona. Dia mencium pipi Minho. Hatiku benar-benar hangus saat menyadari kejadian ini. Aku seharusnya sadar dengan tindakanku selama ini. Aku seharusnya sadar aku tak pantas untuk Minho. Yoona adalah milik Minho dan aku bukan siapa-siapanya Minho. Aku telah berbuat kesalahan yang fatal. Mencintai seseorang yang salah. Aku mengatupkan rahangku. Mengepalkan kedua tanganku. Aku marah terhadap diriku sendiri. Aku telah dibodohi oleh cinta. Sepertinya saraf-sarafku sudah tak berfungsi lagi. Padanganku buram, tak bisa berucap. tak bisa mencerna perkataan dan tak merasakan apa-apa yang kurasakan hanyalah sakit hati. Aku merasakan pipiku mulai memanas. Serpihan kaca mulai menghiasi mataku. Wajahku telah dikuasai oleh air mata dari rasa sakit yang menyesakkan. Baru kali ini aku merasakan sakit yang amat dalam bahkan lebih sakit saat kakiku lecet. Aku tak bisa lagi membendung air mataku.
“Kenapa kamu menangis,” ujar seseorang.
Aku tak menoreh ke belakang, aku tak salah lagi itu pasti Minho. Aku tak sanggup dan tak mau melihat wajahnya. Aku terus menunduk membiarkan air mataku jatuh ke tanah.
“Kenapa kamu menangis,” tanyanya lagi.
Sekarang dia sudah di hadapanku. Aku memberanikan diri menatap wajahnya. Dengan penuh rasa kecewa.
“Aku menangis karenamu, bodoh,” teriakku tepat di wajahnya. Air mataku tak henti-hentinya menetes.
Dia melihatku lekat-lekat. Mata kami beradu. Pandanganku buram oleh air mata. Aku merasakan tangan panjangnya menyentuh wajahku. Jari panjangnya mengusap lembut pipiku dan mengusap air mataku. Jarinya mulai turun menuju ke bibirku mempermainkan bibirku dengan jarinya. Aku mendorongnya dengan amat keras kemudian berlari sekencang-kencangnya tanpa tahu arah. Berani-beraninya dia melakukan itu terhadapku setelah apa yang telah Ia lakukan bersama Yoona. Aku tak bisa terus bertahan seperti ini, mempermainkan hatiku seenaknya. Aku terus berlari tanpa memperdulikan tubuhku yang basah oleh hujan. Mungkin hujan mampu mengobati rasa sakitku saat ini. Derasnya hujan seperti derasnya air mataku.
Aku merasakan tubuhku dipeluk dari belakang. Kurang ajar berani-beraninya orang memelukku seenaknya. Aku memberontak dengan sekuat tenagaku.
“Tolong!!!! jangan lepaskan pelukan ini. Aku mohon biarkan aku tetap berada diposisi ini,” bisik Minho di telingaku. Tubuhku melemas saat mendengar bisikannya.
“Aku mencintaimu… sungguh mencintaimu,”
Aku tak percaya dengan ucapannya. Aku hanya diam masih tak percaya
“Saat pertama kali kita bertemu, hatiku telah mengukir rasa terhadapmu. Aku ingin masuk ke kehidupanmu tapi aku tak tahu bagaimana caranya mendekatimu. Aku sungguh takut bertemu denganmu. Aku takut kamu akan menghindariku setelah kamu tahu perasaanku. Ini sungguh sulit bagiku,” katanya.
Aku tertegun mendengar pengakuannya.
“Lalu…Yoona??” aku kembali terisak
“Aku tidak menyukai Yoona. Dia yang selalu mendekatiku. Aku tidak enak menolaknya karena satu sekolah telah melihat keserasian kami. Aku tak bisa menghindar darinya. Semenjak aku menggendongmu hingga di bis perasaan sayang itu semakin membuncah bahkan aku berani menolak ajakan Yoona, aku benar-benar telah menjauh darinya. percayalah,” lirihnya
“Bukankah tadi pipimu telah dijamah oleh bibir Yoona. Apa itu yang dikatakan menjauh,” hatiku luluh saat menjelaskan penjelasannya namun aku teringat lagi kejadian tadi. Emosiku semakin memuncak. Aku merasakan tenagaku kembali lagi. Aku berusaha melepaskan tubuhku dengan sekuat tenaga. Namun aku tak kuasa, pertahanannya terlalu kuat.
“Kumohon percayalah kepadaku. Itu hanya ciuman perpisahan dan Yoona-lah yang memulainya tiba-tiba,” ujarnya. Kembali mempererat pelukannya.
“Apa…. Perpisahan??”
“Iya perpisahan. 2 hari lagi aku akan ke Jerman melanjutkan studiku. Untuk itu aku mohon berikan aku kesempatan memelukmu untuk terakhir kalinya. Aku sungguh mencintaimu,”
Apa ke Jerman 2 hari lagi??? Kenapa dia harus pergi secepat itu disaat cinta kami hampir beradu?
“Kenapa  secepat itu kamu pergi, aku masih menginginkanmu,” ujarku
“Maksudmu??” tanyanya tak percaya.
Ia memajukan wajahnya menatap wajahku. Derasnya hujan terus menyapu wajahnya.
“Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu bahkan sebelum kau mengenalku. Melihat wajahmu dari jarak jauh adalah suatu kesenangan bagiku. Aku sangat mencintaimu melebihi cintamu kepadaku,” ungkapku.
Dengan lega aku berani mengungkapkannya. Setelah 2 tahun aku memendamnya.
“Benarkah?”
“Harus berapa kali aku mengatakannya,”
“Percaya! aku sungguh percaya denganmu!”
“Lalu kenapa kamu pergi secepat itu disaat cinta kita mulai beradu?”
“Aku pasti akan kembali untukmu, sanggupkah kau menungguku??” tanyanya. Ia menempelkan pipinya di pipiku.
“Ya aku akan menunggu. 2 tahun mencintaimu bukanlah waktu yang lama namun aku terus menunggu dan berharap akan adanya balasan cinta darimu. Jadi menunggumu dengan sebuah kepastian cinta kurasa tidak akan sulit bagiku,”
“Terimakasih sayangku,”
“Sayang???”
“Bisakah kau membalikkan badanmu agar aku bisa memelukmu seutuhnya,” pintanya. Turunnya hujan terus menampar tubuh kami. Hujan adalah saksi percintaan kami.
“Turunnya hujan adalah suatu anugerah. Kita pertama kali dipertemukan oleh hujan, kita diberi kesempatan bertemu oleh hujan saat kita mulai membiarkan rasa cinta mengalir, kita mengungkapkan perasaan sayang lagi-lagi karena hujan. Dan kita akan berpisah lagi oleh hujan air mata,”
Aku membalikkan badanku dan menatapnya lekat-lekat. Ia kembali memelukku dengan erat aku membalas pelukannya dengan penuh kasih. Bibirnya kini telah mendekat ke telingaku sembari membisikkan, “Aku cinta kamu.”

~The End~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar